Inspirasi – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Wed, 27 Sep 2017 02:47:28 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png Inspirasi – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Slamet Dan Inovasi Warna Ukiran Madura https://stg.eppid.perhutani.id/slamet-dan-inovasi-warna-ukiran-madura/ Wed, 27 Sep 2017 02:47:28 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=49453 Suara gergaji dan palu bukan hal yang asing bagi penduduk Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep. Dikenal sebagai desa ukir karena sebagian besar warganya berprofesi sebagai pengrajin kayu dan masyarakatnya percaya hal itu merupakan warisan turun temurun.

Ukiran pada kursi, meja, hiasan dinding yang berwarna-warni khas Sumenep tersebut salah satunya dihasilkan oleh Slamet Riyadi pemilik usaha kerajinan kayu di desa Karduluk.

Awalnya Slamet bekerja sebagai buruh pengrajin selama lima tahun dengan hasil karya yang terkenal unik dan rapi. Hingga tahun 1987 ia memberanian diri membuka usaha pembuatan furnitur dan handycraft dengan modal  Rp 40 juta dengan Rp 2 juta per bulan. Pesanan seringkali tidak dapat dipenuhi karena kurangnya modal untuk membeli bahan baku dari luar kota dan tenaga kerjanya kurang. Tantangan lain pesaing usaha ukiran sangat banyak di daerahnya.

Ditengah keputus-asaan itu, Slamet mendapat informasi bahwa Perhutani menyediakan pinjaman melalui Program  Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang saat itu bernama  Program Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK).  Pada tahun 1995 ia mendapat pinjaman modal Rp 5 juta melalui Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madura dengan bunga yang relatif kecil. Dari modal tersebut Slamet semakin mengembangkan usaha dan termotivasi membuka lapangan kerja bagi warga Desa Karduluk.

Upayanya membuahkan hasil, tahun 2002 usahanya mendapat penghargaan Mitra Binaan Teladan dari Kemeterian Kehutanan. Tidak itu saja, inovasi-inovasi mulai dilakukan dan ia kerap mengikuti pameran tingkat nasional.

Atas upayanya yang gigih dan disiplin mengembalikan pinjaman, Perhutani memberikan kembali pinjaman PKBL  sebesar Rp 20 juta tahun 2003 dan Rp. 25 juta pada tahun 2011.  Omset penjualannya kini mencapai Rp 410 juta dengan keuntungan bersih rata-rata Rp 55 juta per tahun.

Slamet mengakui bahwa bantuan modal dari PKBL Perhutani sangat bermanfaat bagi usahanya.  Selain menuai keuntungan, ia juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi warga di desanya sebagai pengrajin ukiran kayu.

” Usaha apa saja selalu ada pasang surutnya. Intinya harus banyak bersabar dan bertawakal, selain harus penuh inovasi dan selalu memastikan kualitas produk kita agar tidak kehilangan kepercayaan konsumen,” demikian Slamet menyampaikan resep suksesnya. (Kom-PHT/2017.9.2/Insp/Adl)

]]>
Cerita Denaldy Mulino Jadi Bos Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id/cerita-denaldy-mulino-jadi-bos-perhutani-2/ Wed, 17 May 2017 07:26:29 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=47004 Kepemimpinan Denaldy Mulino Mauna membawa angin segar di dalam di Perusahaan Umum (Perum) Perhutani. Setelah sembilan bulan menjadi direktur utama di perusahaan kehutanan pelat merah itu, kondisi keuangan Perhutani mulai sehat. Pengalaman mengelola keuangan merupakan modal Denaldy untuk membenahi Perhutani.

Industri kehutanan bukan bidang baru bagi Denaldy Mulino Mauna. Sebelum mengambil alih tongkat kepemimpinan di Perum Perhutani, ia sudah lama merintis karier di perusahaan kehutanan. Kepiawaiannya mengelola keuangan perusahaan merupakan nilai plus baginya untuk memimpin Perhutani.

Pengalaman bekerja di PT Triputra Agro Persada yang mengelola perkebunan kelapa sawit dan karet selama 11 tahun sangat berguna bagi Denaldy untuk memimpin Perhutani. Dengan jabatan terakhir sebagai Head of Group Finance Operation di Triputra Agro, Denaldy sudah siap menahkodai Perhutani dan membawanya bergerak lebih cepat.

Hal pertama yang dilakukan Denaldy saat ditunjuk menjadi orang nomor satu di Perhutani pada 24 Agustus 2016 adalah membenahi internal perusahaan, khususnya dalam pengelolaan keuangan. Ia langsung melakukan penghematan anggaran perusahaan.

Denaldy memutuskan melakukan penghematan anggaran operasional. Untuk menyehatkan keuangan perseroan, Denaldy pun menyimpan dana darurat yang ada.

Selain itu, pria kelahiran Paris ini memotong anggaran fasilitas yang dianggap berlebihan. Anggaran yang mengalami pemangkasan seperti biaya dinas luar kota. Kelas hotel yang dipilih tempat menginap pun diturunkan. Bahkan, ia rela satu kamar dengan karyawannya saat ada dinas ke luar kota untuk menghemat biaya. “Canggung pasti, tapi kita harus tunjukkan untuk bisa survive,” ujarnya kepada KONTAN belum lama ini.

Lulusan jurusan Akuntansi dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini sejak awal sudah berkomitmen untuk melakukan pembenahan internal, sebelum mendorong perusahaan meraih keuntungan. Sebab saat mengambil alih kepemimpinan perseroan, kondisi keuangan perusahaan masih merah.

Untuk memetakan persoalan yang ada dan memahami kondisi serta gaya kerja internal perusahaan yang menjadi holding perusahaan kehutanan tersebut, Denaldy berinteraksi langsung dengan karyawan. Melalui interaksi tersebut, Denaldy menyampaikan perubahan yang ingin diterapkannya. Ia mengakui proses ini memang tidak mudah dijalankan.

Ia mengaku sempat menghadapi penolakan. Bahkan, ia mendapat berbagai teror dari pihak-pihak yang merasa sudah nyaman dengan kondisi perusahaan. Namun ia tak menyerah. Ia menyadari tanpa perubahan, Perhutani tak akan pernah maju. Untuk itu, ia bersikeras mendobrak gaya kerja yang lama untuk kemajuan perusahaan.

“Dalam waktu dua minggu saya putar dan ubah budaya dan orangnya. Ada yang tidak terima soal surat pengangkatan, menganggap posisinya jelek, dan itu terjadi,” tutur Denaldy.

Pembenahan internal tersebut membawa hasil. Perhutani mampu mencetak keuntungan selama tiga bulan pertama tahun 2017. Kini, bisnis Perum Perhutani pun dibilang stabil.

Untuk memajukan perusahaan, ayah dua anak ini memilih fokus menggarap bisnis utama Perhutani yakni bisnis kayu, gondorukem, minyak kayu putih, agro foresty dan agro wisata. Untuk tiga lini bisnis utama, Denaldy terus melakukan kajian komprehensif sembari melakukan kerjasama dengan beberapa pihak.

Selain itu, Denaldy berniat mengembangkan agroforesty sebagai lini bisnis Perhutani. Dengan pengembangan agro foresty, Perhutani dapat mendukung program pemerintah untuk mencapai ketahanan dan swasembada pangan. Denaldy juga berjanji akan tetap mempertahankan fungsi hutan sembari memanfaatkannya dengan menanam komoditas pangan.

Pengembangan bisnis agro wisata juga terus dilakukan. Dalam bisnis Agro Wisata ini, Denaldy ingin membangun lahan wisata hutan seperti jurassic park. Rencananya, lahan Perhutani di Sentul seluas 600 hektare akan dikembangkan.

“Nantinya akan dijadikan hutan dengan model futuristic technology. Akan dilihat lagi apakah akan memasukkan games seperti mencari Pokemon. Atau, pengunjung diberikan gelang identitas yang di dalamnya ditaruh berbagai kamera untuk merekam kegiatan pengunjung,” jelas dia.

Fokus Kelola Keuangan

Kepiawaian Denaldy dalam mengelola perusahaan tak lepas dari pengalamannya di bidang keuangan. Selain menyandang gelar Sarjana Akuntansi, ia juga pernah menjadi direktur komersial dan direktur keuangan di Yudha Wahana Abadi Grup hingga menjadi deputi di PT Triputra Agro Persada. Pengalaman kerja itu yang membuat Denaldy paham betul menata keuangan perusahaan ketika memimpin Perhutani.

Pria yang pernah menjadi cover boy majalah Mode ini mengakui tak pernah menyangka akan menggeluti pekerjaan di bidang kehutanan. Setelah lulus kuliah pada tahun 1995, Denaldy sempat bekerja sebagai account executive di salah satu firma akunting swasta Bandung, Jawa Barat.

“Waktu itu tidak lama bekerja karena ada tawaran dari direktur keuangan dan informasi Bank Dunia mengenai scholarship. Bisa pilih sekolah di mana saja untuk lanjut S2,” ungkap dia.

Ujian untuk mendapat beasiswa pun berhasil ia lalui. Kemudian ia memilih menempuh pendidikan jurusan Master of Science in Finance dan Master of Business Administrasion in International Business di Universitas Maryland, College Park, USA.

Setelah lulus, Denaldy langsung magang di US Asean Business Council di Washington DC. Tidak lama setelah itu, Denaldy memilih untuk kembali ke Jakarta. Padahal, saat itu sedang terjadi krisis di Indonesia.

Namun Denaldy berpendapat tetap ada peluang dan jaminan dari pemerintah. Karena tidak rela berjauhan dengan sang istri, dia pun kembali ke Jakarta dan ditempatkan di Danareksa. Tetapi, tidak sampai satu bulan, Denaldy ditempatkan di Prakarsa Jakarta.

Untuk membereskan industri dalam negeri yang berantakan diterjang krisis moneter, pemerintah membentuk dua lembaga yaitu Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Prakarsa Jakarta. BPPN berfungsi sebagai lembaga restrukturisasi perbankan, sedang Prakarsa Jakarta berfungsi memfasilitasi restrukturisasi perusahaan.

Selama kurang lebih lima tahun, Denaldy menjalani pekerjaan sebagai case manager di Prakarsa Jakarta. Di sini, Denaldy belajar mengemban pekerjaan dari pemerintah. Ia juga mendapat peluang untuk mengurus persoalan sejumlah perusahaan yang bermasalah dan perlu direstrukturisasi.

Setelah lima tahun di Prakarsa Jakarta, pada tahun 2004, Denaldy memilih bekerja di US Agency for International Development sebagai project management specialist. Di lembaga milik Pemerintah Amerika Serikat yang mengurus pertumbuhan ekonomi itu, Denaldy banyak mengerjakan proyek pengembangan revitalisasi ekonomi. Selama setahun, Denaldy membantu pengadilan tata niaga sembari menyelesaikan master of law in business, di Universitas Padjajaran, Bandung.

Karena ingin mencari tantangan baru yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya, Denaldy pun tak melepaskan peluang untuk bergabung dengan Grup Triputra. Sejak bergabung di tahun 2005, Denaldy bekerja di berbagai anak perusahaan Triputra. Menurutnya, bekerja di mana pun dengan fundamental dan pengalaman soal aspek keuangan, organisasi, akan memberi proses pembelajaran yang baru.

Berkat kerja kerasnya, Denaldy pun diminta bekerja di PT Agro Maju Jaya. Posisi yang disematkan pada Denaldy tidak jauh dari beberapa pengalaman kerja sebelumnya, yaitu kepala grup operasional keuangan PT Agro Maju Jaya. Baginya tidaklah sulit untuk membawahi pembenahan dan pekerjaan tersebut. Sebab, melakukan pekerjaan yang sangat sulit di Jakarta Inisiatif saja bisa ia lalui.

“Di Prakarsa Jakarta, saya banyak melakukan pembenahan mulai dari buku merah, pinjaman tidak dikembalikan, rupiah depresiasi, investor kabur, kreditur kabur, sampai bisnis macet. Nah, masuk di Agro Maju, pengalaman pembenahan itu saya terapkan dan belajar lebih lagi,” tuturnya.

Menurut pengakuan Denaldy, berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain justru memberi pelajaran baru. Tak hanya menambah pengalaman, tetapi juga memberi bekal untuk masuk ke bidang pekerjaan yang lain. Ia mencontohkan di Agro Maju, ia belajar untuk membentuk orang dengan perubahan yang akan dilakukan perusahaan.

Mengarahkan dan membentuk orang bagi Denaldy adalah hal yang tak mudah. Selain proses rekrutmen yang dilakukan di awal, mengajak orang untuk berubah sesuai arah perusahaan tidak dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan dan memberi tahu apa yang diinginkan perusahaan. “Di situ mendorong konsep pemimpin ciptakan pemimpin,” kata Denaldy.

Awalnya, Denaldy berpikir apabila menciptakan pemimpin baru akan menggeser posisi pemimpin yang sudah ada. Namun, setelah mengikuti beberapa training, terbesit dalam benaknya bahwa proses pengembangan organisasi itu, yang membawa perusahaan semakin maju dan berkembang.

Sumber: kontan.co.id

Tanggal: 13 M017

]]>
Perputaran Hewan Ternak ala LMDH Wono Salam https://stg.eppid.perhutani.id/perputaran-hewan-ternak-ala-lmdh-wono-salam/ Tue, 05 Apr 2016 04:09:15 +0000 http://perhutani.co.id/?p=35409 webKerja sama dan gotong royong adalah budaya kita sejak zaman dulu. Itu adalah warisan leluhur. Tetapi, saat ini terkesan seolah-olah pola kerja sama, musyawarah, dan gotong royong itu kian sulit ditemukan di masyarakat kita. Maka, pola kerja sama pengelolaan hewan ternak yang dilakukan LMDH Wono Salam patut ditepuktangani. Seperti apa kerja sama peternakan ala LMDH yang berada di bawah koordinasi KPH Madiun itu?

Namanya Djumali. Lelaki paruh baya yang lahir di Madiun, 17 Desember 1949 itu sudah dua periode mengetuai LMDH Wono Salam. LMDH Wono Salam sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 2003. Tetapi, yang menarik dari LMDH Wono Salam ini adalah Koperasi dan Unit Peternakan yang mereka kelola sejak 2012. Jenis hewan yang mereka ternakkan adalah sapi dan kambing. Apanya yang menarik?

Djumali menuturkan, anggota LMDH Wono Salam berjumlah 103 orang. Untuk peternakan, hewan ternak mereka tidak dikumpulkan di satu tempat, atau dalam satu rumah atau satu area tertentu. Namun, masing-masing hewan ternak itu dipegang atau diperlihara oleh masing-masing anggota LMDH. Hewan-hewan ternak tersebut hanya dikumpulkan di satu tempat ketika ada acara penyuntikan vaksin atau pemberian vitamin. Selanjutnya, hewan-hewan ternak tersebut dikembalikan lagi kepada masing-masing peternaknya.

“LMDH Wono Salam ini anggotanya ada 103 orang, namun belum semua memiliki kambing dan sapi. Pemeliharaan hewan ternak itu akan di-rolling setelah membuahkan hasil,” kata Djumali.

Nah, inilah yang menarik. Pola pemeliharan hewan ternak yang mereka pilih adalah dengan kerja sama serta gotong royong. Semangat kebersamaan membuat mereka melakukan perputaran pemeliharaan hewan ternak di antara anggota LMDH setelah sang hewan ternak memberikan hasil. Sehingga, diharapkan semua anggota LMDH akan merasakan pemeliharaan hewan ternak tersebut.

LMDH ini punya koperasi yang memiliki pengerusan tersendiri. Nama koperasinya sama dengan LMDH. Kebetulan saat ini yang menjadi ketua adalah anak pertama Djumali. Oya, Djumali sendiri punya 6 anak, 2 orang putra dan 4 orang putri.

“Usaha ternak dan koperasi LMDH ini sudah berjalan 3 tahun, sejak sekitar tahun 2012. Bahkan sebenarnya sudah ada dari tahun 2003, namun waktu itu belum berbadan hukum. Di dalam mengelola ternak yang dilepas ke masing-masing Anggota LMDH ini kami memiliki sub unit dan pengurus tersendiri yang bertugas untuk mengontrol ke masing-masing anggota. Jadi, kalau ada hewan yang sakit, segera bisa dilaporkan dan nanti akan dilanjutkan ke mantri yang biasa memeriksa hewan di sini. Sehingga, hewan ternak yang sakit itu bisa segera ditangani dan diobati,” tutur suami dari Katira ini pula.

Digandeng Perhutani

Setelah dua tahun LMDH Wono Salam berdiri, Djumali dan rekan-rekannya merasa perlu untuk mengembangkan organisasi mereka ke arah yang lebih serius. Mereka berpikir untuk membentuk koperasi. Koperasi itu akan memberikan peluang bagi pengembangan usaha mereka menjadi kian besar.

Maka, mereka pun perlu tambahan modal. Juga pembinaan agar usaha mereka kian terarah. Pilihan pun jatuh kepada Perum Perhutani.

“Setelah 2 tahun berdirinya LMDH ini, kami mengajukan pinjaman kepada Perhutani. Lalu kami pun menerima pinjaman dari Perhutani. LMDH ini sudah 3 kali menerima pinjaman dari perhutani. Pinjaman pertama, kami mendapatkan 7,5 juta rupiah. Untuk yang kedua, kami mendapatkan 15 juta rupiah. Dan yang terakhir ini 20 juta rupiah. Tahun ini, kami akan mengajukan lagi pinjaman dana sekitar 50 juta rupiah, namun masih dalam peroses pengajuan,” kata Djumali.

Djumali mengisahkan, dana dari hasil pinjaman yang pertama tersebut sebagian dialokasikan ke pupuk bokashi dan sebagian lagi untuk usaha koperasi. Untuk alat pembuat pupuk bokashi, mereka mendapatkan bantuan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Madiun.

Sesungguhnya, pupuk bokashi merupakan awal mula usaha yang mereka rintis. Ini adalah jenis usaha mereka yang pertama. Namun, mereka mengalami kesulitan dalam hal pemasarannya. Sebab, menurut Djumali, harga jual pupuk bokashi ternyata tak menutup biaya produksi.

“Untuk pupuk bokashi ini, sebenarnya kalau kami sesuaikan secara kaku dengan formula yang kami buat, tidak menutup modal dengan harga di pasaran. Sementara pemerintah, dalam hal ini Pupuk Gresik yang memproduksi pupuk organik, bisa menjual pupuk organik itu dengan harga di bawah kita, karena mereka mendapatkan subsidi dari pemerintah. Seandainya subsidi itu beralih kepada kita sebagai rakyat kecil, mungkin pupuk bokashi ini akan terus berjalan sesuai dengan yang kami harapkan,” ujarnya.

Kesulitan memasarkan pupuk bokashi dengan harga yang pantas agar dapat menutup biaya produksi itulah yang membuat usaha tersebut mandek di tengah jalan. Tak putus asa, LMDH Wono Salam lalu mencoba usaha lain, yaitu koperasi dan ternak. Pilihan itu lalu dijalani bersama.

“Awal mulanya memang kami diberikan pembinaan oleh Perhutani untuk pupuk bokashi.  Waktu itu, pemasaran pupuk bokashi ini memang untuk Perhutani. Sebab, di sini kan terdapat tempat persemaian bibit. Seluruh wilayah se-KPH Madiun menggunakan pupuk bokashi produksi LMDH ini, bahkan sampai ke Ponorogo. Jadi, sebenarnya usaha pupuk bokashi ini tidak berhenti total, tetapi hanya untuk konsumsi di sekitar kita saja,” kata Djumali pula.

Rolling Usai Melahirkan

Menurut Djumali, koperasi LMDH Wono Salam ini untuk sementara masih dalam bentuk simpan-pinjam. Sedangkan peternakan, pola perputaran pengelolaan hewan ternak yang mereka jalankan telah berlangsung dengan baik.

“Untuk kambing, semula kita tidak membeli dalam jumlah banyak. Dulu kita beli 5 ekor, sekarang sudah sekitar 14 ekor. Yang sapi juga sama. Kebetulan belum lama ini baru saja lahir,” ujarnya.

LMDH mereka mengadakan perkumpulan di setiap satu bulan sekali. Tukar menukar informasi dan sumbang saran penyelesaian kesulitan dalam pengelolaan ternak mereka lakukan di pertemuan itu. Di dalam pertemuan tersebut, mereka secara rutin menghadirkan Asper dan Mantri untuk memberikan pembinaan kepada seluruh Anggota koperasi. Dari rangkaian pertemuan bulanan itulah mereka selalu menerima informasi terkait PKBL.

“Nah, dari perkumpulan bulanan itu, kami selalu mendapat informasi tentang PKBL ini. Sebab, Asper ataupun Mantri sering memberikan berita-berita terbaru,” ucapnya.

Khusus untuk peternakan, mereka sudah menerapkan aturan yang menarik. Jika pengurus LMDH memberikan sapi atau kambing kepada anggotanya untuk diperlihara, maka hewan ternak tersebut akan dibawa oleh anggota yang bersangkutan ke rumahnya untuk dirawat.

Tetapi, jika nanti kalau hewan tersebut hamil dan melahirkan, maka pengurus LMDH nanti akan mengambil kembali. Kepada anggota yang telah memelihara hewan tersebut, diharuskan untuk memilih, apakah mau mengambil anaknya yang baru dilahirkan itu atau induknya, untuk tetap mereka pelihara. Jika sang anggota yang telah memelihar hewan tersebut memilih untuk mengambil anaknya, maka pengurus LMDH akan mengambil induknya untuk kemudian akan mereka rolling atau putar ke anggota yang lain.

“Tetapi anggota yang sebelumnya memelihara hewan tersebut harus membayar uang kas dulu sebesar 25% dari harga jual hewan tersebut. Banyaknya 25% ini merupakan hasil musyawarah anggota dan selalu mengikuti harga pasar. Jadi kalau harga pasaran seekor sapi itu kisarannya 8 juta rupiah, berarti mereka harus bayar uang kas sekitar 2 juta rupiah. Seandainya 25% ini tidak ada, maka modal kita tidak akan bertambah terus,” kata Djumali.

Menurut Djumali, sebelum ada dana PKBL, masyarakat setempat menjalankan usaha tanam tumpang sari di lahan Perhutani. Tanaman yang ditanam dengan pola tumpang sari itu misalnya kacang, jagung, kedelai, dan ketela pohon. Hasilnya cukup lumayan juga.

“Untuk hasil dari tanaman tumpang sari ini, saya tidak bisa menghitung secara pasti besarannya berapa, tetapi semenjak kami bermitra dengan Perhutani, ada perbedaan yang jelas kami rasakan. Kalau dulu masih ada anggota LMDH yang anak-anaknya masih bersekolah hanya sampai tingkat SD atau SMP karena terkendala biaya, sekarang sepertinya sudah tidak ada. Sudah selesai semua sekolahnya minimal sampai lulus SMA. Jadi untuk kebutuhan sehari-hari, makan dan lauk pauk, itu sudah bisa dicukupi dari hasil tumpang sari lahan perhutani tersebut,” ujarnya.

Djumali pun menyebut, pihaknya sangat berbahagia dengan adanya dana PKBL. Menurut dia, dana PKBL sangat membantu mereka mengembangkan usaha dan mengejar harapan.

“PKBL ini bagus, karena bunga pinjamannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan bank-bank konvensional. Namun, kekurangannya adalah waktu turunnya dana ini yang lumayan lama, tidak seperti di bank yang langsung cair. Hal ini menjadi kekurangan PKBL, karena terkadang kita butuh dana cepat agar bisa mengembangkan usaha kita,” ujarnya sambil tersenyum.

Toh masih ada harapan yang terselip dari sela bibirnya. Apa itu? Harapan kita ke depan, semua anggota LMDH ini masing-masing bisa memelihara ternak itu. Sehingga, sistem rolling sudah tidak diperlukan lagi. Jadi kalau sudah tidak ada rolling, akan semakin besar nilai tambahnya,” kata Djumali.

Sebuah harapan sederhana, sebenarnya. Semoga segera terwujud. Dan Djumali pun kembali tersenyum. DR

]]>
Dari Hutan Salem, Batik Tulis Cicih Mendunia https://stg.eppid.perhutani.id/dari-hutan-salem-batik-tulis-cicih-mendunia/ Mon, 07 Sep 2015 04:22:58 +0000 http://perhutani.co.id/?p=26184 Batik CicihDi sudut kota panas utara Jawa, Cicih kecil sering melihat ibunya mengerjakan pesanan batik dari pembeli di wilayahnya, Cicih Darminingsih, demikian nama lengkapnya, adalah pewaris kerajinan batik tulis dari Kota Bawang-Brebes, Jawa Tengah.

Usaha batik tulis, turun temurun milik keluarga cicih memang terus bisa bertahan karena tiap orang dalam keluarganya mempunyai kemampuan membatik, Hingga Cicih dewasa dan memiliki suami, warisan batik keluarga ini masih berlanjut.

Tahun 2000 merupakan awal kelanjutan usaha batik Cicih. Bermodalkan uang pribadi sebesar lima juta rupiah, Cicih memulai usaha dengan bahan baku seadanya. Wilayah pemasaran batiknya pun masih terbatas. Kegigihannya dalam melanjutkan usaha bati warisan keluarga memang berbuah manis. Lokasi usaha batiknya yang berada di sekitar hutan Salem mengundang ketertarikan Perhutani.

Tepatnya pada pertengahan tahun 2000, Ciich menjadi anggota LMDH Bentar Lestari. Dari diskusi ala kampung yang sering dilakukan, akhirnya petugas Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah dan Perhutani Pekalongan Barat menawarkan Cicih untuk menggunakan pinjaman.

Usaha batiknya juga mulai dikenal berkat kegiatan dan pameran lokal yang diadakan Perhutani, di Kota Brebes dan sekitarnya. Dan tepatnya tahun 2012, Cicih pun mendapatkan pinjaman lunak dari Program PKBL Perhutani, karena pemangku hutan ini melihat keseriusan Cicih, dan produk batiknya yang laku di pasaran terutama di wilayah Perhutani Pekalongan Barat.

Dana pinjaman lunak dari PKBL diberikan dengan jangka waktu penngembalian selama tiga tahun. Persyaratan yang cukup mudah dan bungb arendah, membuat Cicih tertarik untuk mengambil pinjaman tersebut. Dengan nilai pinjaman sebesar 25 juta ruriah, Cicih sekarang sudah mampu memproduksi batik dalam jumlah besar. Bahan bakunya yang semula hanya didapat di daerah terdekat, sekarang sudah mencapai kota Pekalongan yang memang terkenal dengan pusat kota batik Nusantara.

Harga batik tulis yang diproduksi cicih pun semakin bervariasi, dari yang termurah 10 ribu rupiah hingga 250 ribu rupiah. Selain dipasarkan di kota-kota seperti Brebes, Semarang, Jakarta, wilayah pemasaran batiknya pun meluas hingga ke Palembang.

Karena semakin dikenal, batik Cicih sering diajak mengikuti pameran Inacraft di Malaysia, dan akhirnya permintaan pesanan pun berdatangan dari Malaysia bahkan Amerika Serikat.

Jika dahulu, pendapatan Cicih per bulannya berkisar 20 juta rupiah dengan jumlah tenaga kerja hanya dari lingkungan keluarga. Setelah mendapat dana pinjaman lunak Perhutani, omset penjualan batik tulis Cicih meningkat dua kali lipatnya yaitu mencapai 40 juta rupiah perbulan. Demikian pula dengan tenaga kerjanya yang bertambah mencapai 25 orang dan tidak hanya berasal dari keluarga, tetapi penduduk sekitar rumahnya.

Meningkatnya omset penjualan Cicih ini berdampak semakin gencarnya perbankan, menawarkan berbagai bentuk dana pinjaman, dari yang bersuku bunga rendah hingga tinggi. Akan tetapi Cicih mengaku belum terbiasa dengan proses panjang yang berbelit-belit dari perbankan dan hanya tertarik dengan pinjaman lunak dari PKBL.

Cicih selama ini hanya mengidamkan pinjaman lunak PKBL, seperti milik Perhutani karena pinjamnya mudah, jangka waktu pengembalian pinjaman lumayan panjang, persyaratannya tidak rumit, dan yang lebih penting hatinya tidak ‘cenat-cenut’ dikejar penagih utang.

Saat ini, motivasi Cicih sebagai pengrajin batik tulis hanya ingin membuka cabang toko batik miliknya sendiri di berbagai daerah, selalu memperbarui motif batiknya setiap tiga bulan sekali, dan ingin segera memasarkan produknya sendiri ke luar negeri.

Cicih pun berterima kasih kepada Perhutani berkat pinjaman lunaknya, dan berharap Perhutani ke depan lebih meningkatkan lagi penyuluhan tentang kawasan hutan agar semakin berkurang kerusakan yang dapat menimbulkan berbagai bencana alam. Selain itu Perhutani juga semakin banyak memberi dana pinjaman lunak PKBL ke mitra binaanm, sehingga semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka bagi masyarakat dan meningkatkan daya kreatifitas, serta inovasi masyarakat.

]]>
Sutego dan Kerupuk Rambak “Cipta Rasa” https://stg.eppid.perhutani.id/sutego-dan-kerupuk-rambak-cipta-rasa/ Wed, 13 May 2015 05:27:12 +0000 http://perhutani.co.id/?p=21048 cover rimba dayaKerapkali orang tua perlu menurunkan usaha yang telah mereka rintis kepada anak-anaknya. Hal itu untuk menjaga kelangsungan usaha. Tetapi, yang lebih penting lagi adalah warisan keahlian. Sebab, dengan keahlian yang dimiliki, anak-anak yang menerima warisan itu akan sanggup bertahan dan bahkan mengembangkan usaha orangtuanya.
Hal itu pulalah yang dialami Sutego. Lelaki paruh baya yang tinggal di Desa Penanggulan, Kecamatan Pegandon, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sejak tahun 1985, anak ketiga dari lima bersaudara itu mewarisi usaha pengolahan kerupuk rambah dari orangtuanya, Almarhumah Ibu Sumiyah, yang semasa hidupnya dulu merupakan perajin krupuk rambak.
Meski kini telah memasuki usia separuh baya, Sutego beserta istri tetap gigih menjalankan usaha pembuatan kerupuk rambak atau kerupuk kulit itu. Sehari-hari, dalam menjalankan usaha kerupuk rambak, Sutego dan istri dibantu salah satu putra mereka, serta lima orang karyawan.
Yang unik, sejak mengambilalih usaha ibunya yang meninggal dunia tahun 1985, Sutego tetap memertahankan cara manual dan tradisional. Cara tradisional dan manual dalam menjalankan usaha pembuatan kerupuk rambak yang menggunakan bahan dasar kulit kerbau ini ditekuni Sutego sejak proses pembersihan kulit, pemotongan sesuai bentuk dasar kerupuk rambak, sampai dengan proses pengeringan, hingga kerupuk siap untuk digoreng.
“Pembuatan kerupuk rambak dengan cara tradisional membuat mutu lebih terjaga,” tuturnya.
Sutego pun melanjutkan, sampai saat ini ia belum pernah menemui atau melihat di antara para perajin kerupuk rambak – baik di daerah sekitar tempat tinggalnya maupun di luar Desa Penanggulan – yang membersihkan kulit untuk bahan pembuatan kerupuk rambak dengan menggunakan peralatan yang lebih modern. Sehingga, ia tidak bisa memerkirakan, apakah cara modern akan lebih mudah dan lebih cepat dalam proses pembersihan kulit kerbau tersebut. Baik pembersihan dari kulit paling luar, sisa daging, dan lain-lain.
“Yang saya tahu ya dengan cara tradisional tadi. Jika kita rasakan, memang proses pembuatannya agak sedikit rumit, namun seimbang dengan harga jual kerupuk rambak yang kami hasilkan,” ujarnya.
Padahal menurut Sutego, sebetulnya ada beberapa kekurangan yang didapat dari metode tradisional dengan menggunakan cara manual seperti yang ia lakoni sehari-hari. Misalnya, dalam hal pemotongan yang menurut dia kurang rapi, ukuran tebal dan tipisnya berbeda, serta kurang cepat. Sehingga, proses pembuatan kerupuk rambak membutuhkan waktu yang agak lama.
Padahal, proses pembuatan kerupuk rambak ini dituturkannya sangat membutuhkan panas matahari. Di dalam proses menjemur bahan kerupuk rambak sampai siap goreng, biasanya membutuhkan waktu 3-4 hari di bawah terik matahari yang sempurna. Jika belum siap untuk disimpan, kerupuk-kerupuk rambak itu harus tetap berada di bawah sinar matahari. Sebab, bahan kerupuk rambak harus diusahakan dalam keadaan kering. Tidak boleh menyimpan bahan rambak dalam keadaan basah atau lembab, karena hal itu akan menyebabkan bahan kerupuk rambak menjadi rusak, bahkan busuk, dan tidak bisa dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Kulit Kerbau
Di banyak tempat, kerupuk rambak menggunakan bahan dasar kulit sapi yang dikeringkan. Tetapi, Sutego menggunakan kulit kerbau. Begitu pula perajin kerupuk rambak lain yang terdapat di Desa Penanggulan. Oya, di Desa Penanggulan terdapat sekitar sepuluh perajin yang masing–masing menggunakan bahan dasar kulit kerbau.
Sutego menyebut, alasan dia menggunakan kulit kerbau, karena lebih tebal dan bisa mengembang. Hal itu berbeda jika menggunakan kulit sapi. Sehingga, menurut Sutego, di daerah tersebut kulit sapi biasa digunakan sebagai rambak sayur.
“Memang proses pembuatan rambak dari kulit kerbau ini bisa dibilang cukup rumit. Karena dari proses pembersihan kulitnya saja harus sampai bersih dan berwarna putih. Kita harus betul-betul menghilangkan lapisan yang berwarna hitam pada kulit kerbau. Jika proses pembersihan kulit tidak sampai bersih, akan menimbulkan bercak warna dan rasanya kurang ‘nyus’,” jelas Sutego.
Mencari bahan dasar kulit kerbau juga tidak semudah mendapatkan kulit sapi. Dulu, Sutego kerap kali mendapatkan kulit kerbau dari Pekalongan. Sebab, ketika itu di kota batik Pekalongan masih banyak kerbau yang dipotong karena masyarakatnya masih banyak yang membutuhkan daging kerbau. Namun, sekarang masyarakat di Pekalongan bisa dikatakan tidak lagi memotong kerbau. Sebab, mereka lebih banyak memotong sapi.
“Sehingga, untuk mendapatkan kulit kerbau kita pindah ke daerah Demak. Karena di Demak banyak masyarakat yang memotong kerbau. Namun, Demak juga menjadi tempat tujuan para perajin rambak dari daerah lain untuk mendapatkan kulit kerbau. Jadi, kita harus pintar-pintar melobi rumah potong hewan atau para pedagang yang biasa melaksanakan pemotongan kerbau, untuk mendapatkan kulit kerbau. Biar nanti pas ada acara tertentu yang banyak memotong kerbau, mereka akan menghubungi kita,” kata Sutego.
Maka, di acara-acara yang melibatkan kerbau, Sutego kerap mendapatkan pasokan bahan baku yang lumayan banyak. Misalnya, jika ada acara hajatan atau kenduri, hari raya Idul Adha, dan momen-momen tertentu lainnya. Di saat-saat seperti itu, kata dia, banyak orang yang memotong kerbau.
“Di waktu-waktu seperti itu, kita tidak boleh sia-siakan kesempatan. Sebisa mungkin kita mendapatkan kulit sebanyak–banyaknya, kemudian kita proses sampai benar–benar kering dan siap untuk digoreng. Selanjutnya, kulit yang sudah kering dan siap goring itu kita simpan sebagai tandon atau cadangan kerupuk rambak yang siap goreng dan kita keluarkan saat kita mau menggoreng,” kisahnya.
Harapkan Bimbingan
Kendati tetap menjalankan usaha pengolahan kerupuk rambak kulit kerbau dengan cara tradisional, sebagai bagian dari peninggalan orang tua, Sutego tak menampik bahwa mereka butuh masukan dari sesama perajin ataupun pengusaha yang sudah sukses. “Untuk ke depannya, para perajin kerupuk rambak di daerah Penanggulan ini sebetulnya sangat membutuhkan bimbingan dari para pengusaha atau instansi yang ada di Kabupaten Kendal khususnya, agar kita bisa berkembang, maju, dan dikenal oleh masyarakat di luar Kendal,” kata Sutego.
Kesadaran akan pentingnya terus menambah wawasan demi kemajuan usaha membuat Sutego kerap mencari pengetahuan baru. Kerap kali, untuk mengembangkan usaha, bapak tiga anak ini mengajak para perajin kerupuk rambak untuk membuat kelompok dan mengajukan permohonan bimbingan atau modal kerja kepada instansi-instansi yang bisa memberikan bimbingan atau mengucurkan pinjaman kepada kelompok pengusaha kecil.
Namun, diakuinya, kadang para perajin sulit untuk diajak membentuk kelompok. Mereka lebih memilih untuk berjalan sendiri-sendiri. Hal yang menurut Sutego adalah kurang pas.
“Karena kalau berjalan sendiri, kadang kita mendapatkan hasil tetapi kadang juga mengalami kerugian. Saat mengalami kerugian itu, jika kita punya kelompok kan ada yang membantu berpikir dan mencari cara untuk membangkitkan kembali, bukan semakin terpuruk,” kata Sutego.
Berkali-kali Sutego mengajak rekan-rekannya sesama perajin kerupuk rambak untuk membentuk kelompok, tetapi tidak mendapatkan hasil. Tetapi, Sutego tidak menyerah. Ia bertekad untuk mencoba dan memberikan contoh kepada rekan-rekannya tentang perlunya bermitra. Seiring dengan itu, Sutego sendiri juga mencari mitra.
“Kemudian, pada tahun 2003 saya mendapat informasi dari seorang karyawan Perum Perhutani KPH Kendal, bahwa di Perhutani ada pinjaman yang diperuntukkan bagi para perajin dan pengusaha kecil, khususnya yang tinggal di sekitar hutan, dengan bunga yang rendah. Setelah saya mendapatkan informasi tersebut, saya coba datang ke Kantor KPH Kendal dan menanyakan persyaratan untuk menjadi mitra binaan di KPH Kendal,” kisahnya.
Sutego tertarik akan informasi tersebut. Ia merasa sangat membutuhkan modal untuk menambah biaya pengadaan bahan baku bagi usaha kerupuk rambak, yaitu pembelian kulit kerbau yang semakin tahun semakin bertambah mahal harganya. Ia lantas membuat proposal pengajuan pinjaman. Proposal disetujui. Ia diberi pinjaman sebesar Rp 3.000.000 (Tiga juta rupiah) yang lagsung dibelanjakan untuk bahan baku kerupuk rambak.
Mitra Perhutani
Di masa awal menjadi mitra Perhutani, dalam satu bulan Sutego mampu membuat sekitar 150 kg kerupuk rambak. Jumlah itu membutuhkan 15 lembar kulit kerbau. Setelah menjadi mitra Perhutani KPH Kendal dan mendapatkan pinjaman modal, Sutego pun kerap ikut pameran.
“Alhamdulillah, kalau ada pameran-pameran yang diikuti Perum Perhutani KPH Kendal, produk saya selalu diikutkan. Alhamdulillah banyak yang laku. Bahkan sampai habis. Bahkan pameran yang diadakan di Madiun saat ulang tahun ke-52 Perum Perhutani. Jadi, ada keuntungan buat saya karena saya tidak perlu repot–repot membawa atau menyetor barang tersebut,” katanya.
Di tahun 2006, pinjaman Sutego lunas, dan usaha rambak kelompok mereka semakin dikenal masyarakat hingga ke luar Kendal, semisal Semarang, Salatiga, Pekalongan, dan daerah lain. Jadi, bagi masyarakat yang ingin mencicipi hasil kerajinan Sutego dan kelompoknya, silakan coba kerupuk rambak merek “Cipta Rasa” Pegandon, Kendal.
“Kenapa kami beri label Cipta Rasa? Nama Cipta Rasa kami maksudkan untuk menciptakan rasa yang digemari para konsumen. Karena kami sudah dikenal masyarakat di luar Kendal, permintaan pun semakin bertambah. Dalam satu hari saya harus bisa membuat 10 kg kerupuk rambak yang kami kemas dalam kardus kecil, karena konsumen lebih banyak membeli kerupuk rambak yang dikemas dalam kardus berukuran kecil dengan harga tiga puluh lima ribu rupiah,” katanya.
Demi memajukan usahanya, tahun 2011 Sutego mengajukan kembali pinjaman modal kerja PKBL ke Perum Perhutani KPH Kendal. Ia mendapat pinjaman modal sebesar Rp 8.000.000 (Delapan juta rupiah) yang digunakan untuk perputaran usaha mereka, serta mempercepat proses usaha agar dapat memenuhi kebutuhan pasar dan pesanan dari toko-toko dan rumah makan yang biasa menjadi konsumen produk rambak mereka.
“Tahun 2013, saya mencoba membeli mesin pegering atau oven seharga sekitar Rp 8.000.000 untuk mengeringkan bahan rambak tanpa mengandalkan panas matahari. Sebab, kalau sudah masuk musim hujan, tanpa mesin pengering atau oven, produksi kerupuk rambak sangat kacau. Permintaan banyak – karena musim hujan permintaan meningkat dibandingkan musin kemarau – sedangkan proses pembuatannya terganggu, terutama dalam penjemuran,” ujarnya.
Kini, Sutego dan kelompok usaha kerupuk rambak Desa Penanggulan kian melangkah maju. “Saya mengucapkan terima kasih kepada Perhutani KPH Kendal yang telah membimbing kami dan ikut mempromosikan produk kami,” ujarnya sembari tersenyum.
Sutego pun melanjutkan, “Semoga dengan apa yang sudah kami contohkan kepada para perajin kerupuk rambak di daerah kami khususnya, mereka akan mau membentuk kelompok dan mau bermitra dengan instansi-instansi atau pengusaha. Dan semoga usahanya dapat lebih berkembang maju.” Amin. DR

]]>
Pecel, Lele Dan Katidjo https://stg.eppid.perhutani.id/pecel-lele-dan-katidjo/ Wed, 07 Jan 2015 08:27:13 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17078 Dok.Kom-PHT“Lelene mati digepuk, gepuk nganggo walesane. Suwe ora petuk ati sido remuk.Kepetuk mung suwarane.. e yak e yak o.. jangkrik genggong..” Alunan lagu jawa ini memecah gerah di dusun Tumang, Jenggrik, Ngawi. Pohon-pohon hutan di tepian dusun Tumang ikut berbisik-bisik, meniupkan angin, mendamaikan siang. Katidjo adalah bagian dari dusun Tumang. Menikmati hutan, mendengarkan jangkrik genggong dari muda menjadi bagian ritme hidup.
Hutan bagi Katidjo adalah sebuah kehidupan. Kayu bakar, air, pakan ternak, semua diperoleh dari hutan. Ia merasa manfaat ini harus dikelola dengan baik. Bersama warga ia membentuk kelompok Wonodadi Lestari delaapan tahun lalu. Ditunjuk sebagai sekretaris kelompok, ia usul mengembangkan ternak. Meski dua tahun mencoba tapi gagal.
Gagal itu berhasil. Berhasil mengetahui sebab gagal. Berhasil belajar dan berhasil mikir langkah lain. Sejak tahun 2009 itu, Katidjo dan kelompoknya beralih mencoba ternak ikan lele. Pilihan itu murah, praktis, pemeliharaan mudah, pakan lele satu paket dengan bibitnya.
Katidjo membangun empat kolam sederhana. Kolam ukuran 3×5 satu buah untuk pembibitan bibit lele satu bulan. Kolam ini menampung 12 ribu bibit. Ia kemudian memisahkan lele sesuai ukuran, kecil, sedang, besar dan memindahkannya ke kolam lain ukuran 8×10 m. Di kolam ini lele leluasa bergerak dan diberi pakan cukup sampai bisa dipanen.
Pembedaan ukuran sebenarnya memudahkan perlakuan. Lele kecil lebih diperhatikan pakannya supaya pertumbuhan bagus dan menyamai lele besar. Ketika panen, kualitas lele akan menjadi sama bagusnya. Lele juga jarang terserang penyakit. Apabila ada beberapa lele mulai muncul ke permukaan air kolam, Katidjo punya cara, segera mengganti air kolam dengan bersih.
Kini, sekali panen omzetnya Rp 15 juta selama 2,5 bulan. Ia mengaku untungnya cuma Rp 3,5 juta. Setahun bisa panen minimal 4-5 kali bergiliran secara terus menerus. Pembeli umumnya  langsung ke kolam dan Katidjo menjual paketan atau borongan, per kilo Rp 16 ribu. Para pembeli langganan akan menjual lele-lele tersebut ke pasar-pasar atau ke rumah makan.
Dari mana Katidjo dapat modal? Selain modal pribadi, ia mendapat bantuan PKBL Perhutani Ngawi Rp 5 Juta dan Rp 20 juta tahap dua. Pendampingan dan pelatihan diperoleh dengan baik. Bahkan ia pernah diikutkan seminar pengembangan usaha di Yogyakarta tahun 2012.
Informasi awal program pemberdayaan dan PKBL yang diterima dari Heri Sujianto, Mandor Perhutani Sidowayah, bagi Katidjo tidak mudah ia lupakan. Meskipun ia mendapat nominal kecil, bantuan-bantun cepat seperti PKBL manfaatnya nyata dirasakan lelaki lulusan smp berusia setengah abad ini.
Sukses ternak lele Katidjo di desa hutan, memang bukanlah ukuran sukses petambak ikan salmon. Sukses Katidjo adalah cermin semangat pergulatan ekonomi rakyat kecil, yang mampu menarik gerbong ratusan pedagang pecel lele di belakangnya.
Oleh: Soesi Sastro
Sumber: Majalah PKBL Action, No. 24, Th. II, September 2014

]]>
Sriyatin Dihatiku https://stg.eppid.perhutani.id/sriyatin-dihatiku/ Sat, 01 Nov 2014 08:49:15 +0000 http://perhutani.co.id/?p=15459 syiatin

Kom-PHT/Kanpus @2014

Sriyatin. Nama itu bagi pedagang ayam pasar Ngawi, penjual sayuran keliling, bahkan pemilik resto, tidak asing. Sebuah poster “Sriyatin Ayam Potong” ukuran lumayan panjang menurut teras sebuah rumah di Dusun Pancuran, Padas, Kabupaten Ngawi. Nyamiran, pria 34 tahun yang bertempat tinggal di RT 01 RW 04, Dusun Pancuran, Desa Pancing, Padas, Ngawi adalah pemiliknya.

Sebagai peternak ayam potong yang ulet dan ramah, ia merintis usaha sejak 2004. Sepuluh tahun lalu bersama sepuluh orang warga desa usaha kelas kampong itu dimulai. Bermodal awal Rp 2 juta, Nyamiran mulanya “nebeng” peternak lain dengan cara menitipkan 500 ekor ayamnya. Ketika beberapa peternak mulai ambruk dan gulung tikar, Nyamiran justru mampu bertahan dan semakin maju. Bahkan ia bisa mendirikan kandang di tanah milik keluarga seluas 1 ha.

Alasan menggeluti ternak ayam potong sederhana. Lebih cepat menghasilkan uang. Ayam petelur butuh enam bulan menghasilkan telur. Ayam potong hanya butuh 30 hari sampai 45 hari siap potong dan dijual. Bibit ayamnya dibeli dari Magetan. Pakannya jagung digiling dan dicampur dengan pur. Untuk 100 ekor ayam dibutuhkan enam sak atau 300 kg pakan. Tiga minggu sekali Nyamiran membeli sedikitnya 150 kg sak pakan ayam masing-masing berisi 50 kg seharga Rp 50 juta.

Harga ayam potong kini Rp15 – 22 ribu per kg. Dalam sehari, Nyamiran menerima pesanan ayam potong rata-rata dua sampai lima kuintal. Pada hari-hari besar atau musim hajatan pesanan mencapai delapan sampai sepuluh kuintal. Dalam satu tahun, sedikitnya Nyamiran panen ayam potong 20 kali dengan jumlah 2.000 ekor ayam sekali panen. Omzetnya mencapai Rp 180 juta. Apabila dirata-rata keuntungan bersihnya Rp 9 juta setiap kali pane. Dibantu dua orang pekerja tetap dengan upah Rp 1,2 juta per bulan. Ia juga mempekerjakan pekerja lepas dua sampai empat orang yang membantu pemotongan ayam dengan upah Rp 40 ribu per hari.

Info-info PKBL terbatas saat itu. Kebetulan saja ayah mertuanya adalah Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sehingga ia bisa mendapat informasi yang cukup. Pinjaman dari Perhutani Ngawi itu termasuk kecil untuk usaha ternak ayam, tetapi menurutnya sangat membantu. Mendirikan sebuah kandang saja diperlukan biaya Rp 20 – 30 juta. Namun tanpa bantuan PKBL maka usaha yang dibangun dari nol ini akan semakin kekurangan modal dan tidak mampuberkembang seperti sekarang.

Nyamiran mengakui bahwa PKBL sangat berperan membantu permodalannya sejak tahun 2007 sampai sekarang. Sebagai mitra Perhutani, ia memperoleh pinjaman awal sebesar Rp 5 juta, lunas 2010. Pinjaman kedua Rp 20 juta yang pelunasannya masih berjalan hingga akhir 2014. Mengaku pernah meminjam bank sebesar Rp 40 juta, ia harus menerima konsekuensi bunga angsuran per bulannya lebih berat dibandingkan pinjaman dari Perhutani Ngawi. Harapannya, dana PKBL dapat memberikan pinjaman lebih besar dari yang sekarang ini. Supaya peternak kecil di kampong-kampung terbantu semua dari BUMN.

Kini, Nyamiran punya lima kandang. Tiga dibangun sebelum mendapat PKBL, dua kandang setelah mendapat PKBL. Usahanya makin berkembang. Nama “Sriyatin Ayam Potong” setia digunakan untuk usaha. Terpampang di depan rumah. “Nama Sriyatin itu ada di hati saya. Dia mitra kerja sekaligus isteri saya”, demikian Nyamiran mengakhiri wawancara sambil menimbang ayam potong.

Oleh : Soesi Sastro

Sumber : Majalah PKBL Action, No. 25, Th II Oktober

]]>
Serba Cantik Dari Tasik https://stg.eppid.perhutani.id/serba-cantik-dari-tasik/ Mon, 15 Sep 2014 01:05:03 +0000 http://perhutani.co.id/?p=13918 10-PKBL-Serba cantik tasik

Dok.Kom-PHT @2014

Tasik identic dengan border. Sulaman pada ujung kebaya, mukena, taplak meja dan semua bahan kain itu tidak asing bagi perempuan Indonesia. Kreativitas warga Tasik ternyata lebih dari itu. Kita bisa menemukan anyaman bamboo, rotan, pandan, dan sebagainya di sudut-sudut kota sampai pinggiran dan pelosok.

Sebut saja di Rajapolah Tasikmalaya ada Nia Yuliani. Sarjana Pertanian ini adalah contoh wirausahawan yang sukses mengelola kerajinan Tasik dari nol.

Dimulai tahun 1991, Nia dan Dadan suaminya, hanya coba coba-coba berdagang barang kerajinan. Awalnya ia membuat sendiri untuk buah tangan (handycraft). Karena ulet dan selalu mempertahankan kualitas barang, maka toko Nia selalu diserbu pelanggan. Perajin lain tak mau ketinggalan. Tokonya menjadi incaran perajin untuk menitipkan barang-barang kerajinan handycraft. Tentu saja, kualitas menjadi persyaratan penting bagi calon pemasok toko Nia.

Handycraft di toko Nia tidak saja diminati turis domestic tetapi juga turis asing. Ia bahkan pernah ekspor tas dan sandal daun pandan ke Jepang dan Prancis. Baru- baru ini juga ekspor alat music angklung ke Australia.

Dibantu tiga karyawan, dengan upah minimal Rp. 1.250.000. Nia bekerjasama dengan 40 orang perajin handycraft di Tasikmalaya. Mereka pemasok barang ke “Yukka handycraft” toko milik Nia. Bermacam barang kerajinan kini tersedia. Tas anyaman, sandal, tempat tisu, dan peralatan rumah tangga berbagai model tersedia. Harga handycraft dipatok mulai Rp. 3.000 sampai Rp. 120.000. Penghasilan bersih tokonya belum termasuk cabang di Garut dan Cirebon mencapai minimal Rp. 20 juta per bulan.

Memberikan manfaat kepada orang lain adalah keinginan Nia dari dulu. Minimail ia bisa menjadi wadah pengrajin desanya dalam memasarkan produk. Selain ada nilai tambah barang kerajinan buatan local, ada lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Ditanya resep suksesnya, perempuan dua putri ini tersipu buka rahasia. “Ini kontribusi Perhutani. Saya Mitra Binaan Perhutani Tasikmalaya. Saya dapat pinjaman murah meriah PKBL tahun 2009, Rp. 7 juta. Setelah lunas dapat pinjaman lagi Rp. 10 juta. Sudah lunas tahun 2012. Terakhir saya pinjaman agak besar, Rp. 25 juta. Ini masih jalan sampai 2015. PKBL Itu enak, tidak repot ngurus macam-macam. Modalnya kepercayaan saja. Memang saya layak dipercaya, makanya dapat beberapa kali”.

Sebelum mendapat PKBL, Nia mengaku usahanya belum berkembang seperti sekarang. Pinjaman Perhutani digunakan untuk pengembangan usaha. Ia mumbuka cabng di Asia Plaza Tasikmalaya, Asia Toserba Garut, dan Asia Toserba Cirebon. Karena permintaan mengalir terus, Nia mengaku ingin melebarkan sayap ke Sumedang dan kota lain apabila memungkinkan, tetapi hitung-hitungan musti matang.

Nia berharap melalui PKBL bisa ikut pelatihn-pelatihan praktis dan pameran-pameran untuk menambah pengalamannya berwirausaha. Syukur-syukur suatu saat bisa bertemu Bapak/Ibu Presiden, duh senangnya ya bisa memamerkan yang serba cantik dari Tasik,” demikian Nia menutup perjumpaan.

Penulis  : Soesi Sastro

Sumber : PKBL Action No. 23 Tahun II Agustus 2014

]]>
Minyak Cengkeh, Gugur Daun https://stg.eppid.perhutani.id/minyak-cengkeh-gugur-daun/ Fri, 08 Aug 2014 02:50:34 +0000 http://perhutani.co.id/?p=13315 9-PKBL-Cengkeh-web

Dok.Kom.PHT/Kanpus

Aromatherapy. Kalimat itu pastilah membawa pikiran pada suasana wangi, harum, tenang, rilex. Aromatherapy minyak cengkeh, apalagi satu ini. Penggemar spa, dan penyuka pengharum ruangan alami taka sing lagi. Aromatherapy ini diyakini mampu memulihkan rasa lelah tubuh dan mengurangi stress setelah lelah bekerja.

Bahkan dalam dunia pengobatan, minyak cengkeh dikenal bermanfaat untuk obat infeksi kulit, gigi, sakit kepala, selain berfungsi sebagai antibody, antibakteri, hingga anastesi. Cengkeh (Syzygiumaromaticum, syn) adalah tanaman asli Indonesia. Banyak digunakan sebagai bumbu masakan dan campuran bahan rokok. Tumbuh di ketinggian 10-20 meter dari permukaan laut, daunnya berbentuk lonjong. Tangkai buah berwarna hijau, dan berubah merah bila bunga sudah mekar.

Bunga cengkeh dipanen ketika panjangnya sudah 1,5 – 2 cm. Kuntum bunga mengandung minyak atsiri, senyawa kimia seperti eugenin, asam olenolat, asam galatanat dan vanillin. Selain bunga, daun cengkeh juga bermanfaat.

Di tangan seorang Armin, daun cengkeh bisa memuliakan desanya, desa panjang jaya, Pandeglang, Propinsi Banten. Sebuah industry kecil rumahan nekat dirakit tahun 2006. Satu buah ketel berkapasitas 1 ton per hari ditambah tungku perapian, gudang simpan daun cengkeh, tempat pengeringan daun, beberapa wadah cairan dan pipa penampung minyak hasil penyulingan.

Teknologinya sederhana. Daun cengkeh dimasak dalam ketel. Ampas daun dikeringkan untuk bahan baku tungku perapian. Campuran air dan minyak dalam ketel dialirkan ke wadah penampungan, tiga kali dilakukan proses penyaringan. Hasilnya biang minyak cengkeh asli siap dikemas dan didistribusikan ke pelanggan.

Minyak cengkeh asli, beberapa tahun lalu dijualnya seharga Rp 60-70 ribu per kg. Kini harga melangit hingga Rp 150 ribu per kg. Dua kali lipat. Menurut Armin, omset usahanya dapat menembus miliaran. Dia tidak tahu berapa penghasilannya, hanya sorot matanya memancarkan kesejahteraan. Keberuntungan Armin dimulai ketika bergabung dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Panjang Harapan. Organisasi yang difasilitasi Perhutani itu beranggotakan 100 orang. Ia terpilih sebagai ketua. Ia mengaku mendapat pembinaan kewirausahaan rutin dari Perhutani Banten. Dengan modal awal dari dana PKBL sebesar Rp. 5 juta tahun 2006, Armin mulai mengembangkan industry rumahannya, penyulingan daun cengkeh.

Meskipun total peralatan mesin dan alat-alat kini mencapai Rp 190 juta, tetapi modal awal usaha itu penting menurutnya. Orang-orang desa kerap sulit dapat pinjaman modal awal ini. Menurut Armin, jangan meremehkan modal awal bernilai kecil. Meskipun modal awal besar kalau kita tidak serius dan gigih, usaha sebesar apa pun tidak akan sukses.

Kini, sebagai warga desa hutan sukses, ia siap melebarkan usaha. Unit penyulingan minyak cengkeh lain miliknya akan dibangun di Cigeulis Pandedglang. Yang pasti usahanya tidak merusak lingkungan. Bahan baku bukan dari pohon produktif tetapi memanfaatkan rontokan daun cengkeh. Ketika daun cengkeh menua, jatuh berguguran lalu berserakan ditanah, Armin dan keluarga menuai limpahan rejeki minyak cengkeh.

Sumber : PKBL Action, No. 22, Tahun Juli 2014

]]>
Gurame Sang Guru https://stg.eppid.perhutani.id/gurame-sang-guru/ Fri, 18 Jul 2014 04:04:43 +0000 http://perhutani.co.id/?p=13200 8-Gurame3-web

Dok.Kom.PHT@2014

Nazir duduk di tepi kolam ikannya. Hari sudah sore. Sinar matahari tampak indah menembus hutan sengon di kejauhan. Seorang lelaki datang menghampiri lalu duduk di sebelahnya. Mereka berbincang rencana panen ikan. Juga persiapan mengangkut ikan ke pasar esok hari sebelum siang beranjak pergi. Lelaki itu adalah pedagang ikan langganannya. Siapa Nazir?

Tak banyak guru menggunakan waktu senggang untuk bertani ataupun berternak. Ribet, bau amis, berbecek-becek, dan butuh ketekunan. Tak lebih bergengsi dibandingkan buka toko kelontong atau counter hape. Nazir berani beda. Guru sekolah dasar SD di daerah Gua Jatijajar, Kebumen, ini menggeluti budidaya ikan gurame (Osphronemus goramy) sejak 1995.

Awalnya hanya untuk mencukupi konsumsi keluarga kini semua berubah. Sejak bergabung dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mulya Jati binaan Perhutani Kedu Selatan, Nazir banyak belajar kewirausahaan. Ia dipercaya sebagai ketua kelompok yang punya 150 orang anggota itu. Hutan memang sumber pangan dan pakan ternak bagi kelompoknya. Tak cukup kegiatan itu. Ia mengajak 10 anggotanya mengembangkan kolam ikan seluas 200 m2. Selain ingin meningkatkan pendapatan, ia melihat banyak tumbuhan liar bawah tegakan hutan bisa jadi pakan ikan.

Mulailah Nazir mengais modal. Sebuah proposal sederhana yang ditulis seadanya. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan besutan BUMN menjadi pilihannya. Tahun 2008, Perhutani KPH Kedu Selatan meluluskan pinjaman Rp. 10 juta kepada kelompok, LMDH Mulya Jati. Ia mengaku, uang tersebut dibelikan bibit gurame 300 kg untuk ditebar dikolam.

Ikan gurame dipilih karena harga lebih baik disbanding budidaya lele didaerahnya. Daun talas-talasan yang tumbuh liar di hutan-hutan Perhutani bisa dimanfaatkan untuk campuran pellet pakan ikan. Harga pakan jadi murah meriah. Sebuah teknologi sederhana ala LMDH Mulya Jati. Pernah diiming-iming budidaya ikan lainnya, ia tak tergoda. Meski membesarkan gurame hasilnya baru bisa dipanen setiap 5 sampai 6 bulan sekali.

Setiap kali panen, Nazir mengaku bisa memperoleh 450 kg ikan gurame. Pemasarannya tidak repot. Pedagang ikan dari Cilacap, Kebumen, dan Banyumas datang sendiri ke kolamnya. Hasil bersih minimal mencapai Rp 5 juta setiap panen. Nilai yang lumayan sebagai usaha sampingan. Selain itu ia dan keluarganya bisa mendapatkan gizi gratis.

Risiko usaha selalu saja ada. Bila musim hujan tiba, gurame bisa terjangkit penyakit kulit. Ia dan anggotanya rajin membersihkan lumpur di kolam. Menabur kapur kapur untuk keseimbangan PH air. Kolam harus menghasilkan makanan alami ikan. Biasanya 15 hari setelah isi air, plankton-plankton muncul. Baru benih gurame dimasukkan ke kolam.

Lelaki dua putra itu snagat ingin menambah jumlah kolam-kolam ikan untuk kelompok di desanya. Bukan bermiliar modal yang dibutuhkan, bukan pidato yang berbusa-busa, tetapi perhatian nyata seperti PKBL dirasa baik untuk rakyat desa hutan sepertinya. Pinjaman yang terbayar dengan senyum kemenangan usaha kelompoknya. Pikiran cerdas.

Itulah Nazir. Lelaki yang memberikan pengetahuan dan pengalaman praktisnya pada anggota kelompok selepas mengajar disekolah. Ia betah berlama-lama di tepi kolam. Berkeliling, tangannya melambai-lambai menebar pakan ikan. Menikmati loncatan-loncatan indah gurame. Ikhlas, tekun melakukan usaha. Bahkan, ia merasakan alam semesta telah memberikan segala kebaikan ketika ia mengurus ikan-ikan guramenya.

Sumber: PKBL Action, No. 21 Tahun II Juni 2014.

]]>