CSR PERHUTANI – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Sun, 31 May 2015 03:51:16 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png CSR PERHUTANI – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Perhutani Banyuwangi Selatan Lakukan Pelepasliaran Penyu https://stg.eppid.perhutani.id/perhutani-banyuwangi-selatan-lakukan-pelepasliaran-penyu/ Sun, 31 May 2015 03:51:16 +0000 http://perhutani.co.id/?p=21820 2015-5-29-Berita Pht-Radar Bwi-BSTF Pelepasliaran Tukik_logoBANYUWANGI SELATAN, PERHUTANI (31/5) | Perhutani Banyuwangi Selatan bersama Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF) atau Yayasan Penyu Banyuwangi melakukan kegiatan pelepasliaran anak penyu dalam rangka memperingati hari anti tembakau internasional, Minggu.

Administratur Perhutani Banyuwangi Selatan,  Agus Santoso menyatakan bahwa Perhutani Banyuwangi Selatan sangat mendukung  kegiatan pelepasliaran tukik/penyu yang bertujuan melindungi keberadaan penyu (save turtle), dengan kegiatan pelepasliaran ini diharapkan keberadaan dan kelestarian penyu di bumi Blambangan (nama lain Banyuwangi) akan tetap terjaga dan terus berkembang biak dengan baik

Wiyanto Haditanojo Pembina BSTF memaparkan kegiatan ini adalah upaya pelestarian keberadaan satwa langka yang dilindungi untuk jenis penyu serta gerakan cinta lingkungan, Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF).

Beliau juga menjelaskan bahwa ada 6 jenis penyu yang ada di Indonesia ada 4 jenis diantaranya berada di Banyuwangi yaitu penyu jenis lekang, sisik, belimbing dan hijau. Dan sampai sekarang jumlah telur yang berada tempat penetasan berjumlah 3500 butir yang terbagi atas 37 sarang dan untuk pelepasliaran tukik/penyu sekarang berjumlah 63 ekor.

Hadir dalam kegiatan ini Radar Banyuwangi, Radar Bali, Camat Banyuwangi, Jema’at Gereja Kristen Jawi Wetan Banyuwangi, Yayasan Kesehatan Welas Asih Banyuwangi, Mahasiswa ITS Surabaya dan Mahasiswa Untag Banyuwangi, komunitas Ninja Rider club Banyuwangi, SMK Negeri Kalibaru dan elemen masyarakat lainnya. (Kom-PHT/Bws/Didik N)

Editor    : A. Irfan Setiawan

Copyright © 2015

]]>
Petani Penderes Getah Karet Di Semarang Diimunisasi Anti Bisa Ular https://stg.eppid.perhutani.id/petani-penderes-getah-karet-di-semarang-diimunisasi-anti-bisa-ular/ Sun, 22 Mar 2015 01:02:10 +0000 http://perhutani.co.id/?p=19209 UNGARAN, KOMPAS.com – Sejumlah petani penderes karet dan tanaman pinus di Ungaran, Jawa Tengah, mendapatkan suntikan imunisasi khusus anti bisa ular dari Perum Perhutani dan Snake Hunter Club (SHC). Kegiatan dilakukan selama dua hari di dua tempat yang berbeda, yakni di halaman Kecamatan Pringapus, Sabtu (21/3/2015) kemarin dan di Alun-alun Bung Karno, Ungaran, Minggu ini.
“Untuk antisipasi masyarakat yang beraktivitas di hutan seperti penderes getah karet dan pinus,” kata Asisten Perhutani BKPH Jembolo Selatan KPH Semarang, Ari Kurniawan, disela kegiataan di Alun-alun Bung Karno, Ungaran, Minggu.
Perwakilan SHC, Imam Suharwiyantho menjelaskan, imunisasi serum selain dapat menumbuhkan kekebalan tubuh dari virus, imunisasi juga memberikan kekebalan tubuh dari gigitan ular berbisa.
Sumber    : http://www.kompas.com/
Tanggal    : 22 Maret 2015

]]>
Pecel, Lele Dan Katidjo https://stg.eppid.perhutani.id/pecel-lele-dan-katidjo/ Wed, 07 Jan 2015 08:27:13 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17078 Dok.Kom-PHT“Lelene mati digepuk, gepuk nganggo walesane. Suwe ora petuk ati sido remuk.Kepetuk mung suwarane.. e yak e yak o.. jangkrik genggong..” Alunan lagu jawa ini memecah gerah di dusun Tumang, Jenggrik, Ngawi. Pohon-pohon hutan di tepian dusun Tumang ikut berbisik-bisik, meniupkan angin, mendamaikan siang. Katidjo adalah bagian dari dusun Tumang. Menikmati hutan, mendengarkan jangkrik genggong dari muda menjadi bagian ritme hidup.
Hutan bagi Katidjo adalah sebuah kehidupan. Kayu bakar, air, pakan ternak, semua diperoleh dari hutan. Ia merasa manfaat ini harus dikelola dengan baik. Bersama warga ia membentuk kelompok Wonodadi Lestari delaapan tahun lalu. Ditunjuk sebagai sekretaris kelompok, ia usul mengembangkan ternak. Meski dua tahun mencoba tapi gagal.
Gagal itu berhasil. Berhasil mengetahui sebab gagal. Berhasil belajar dan berhasil mikir langkah lain. Sejak tahun 2009 itu, Katidjo dan kelompoknya beralih mencoba ternak ikan lele. Pilihan itu murah, praktis, pemeliharaan mudah, pakan lele satu paket dengan bibitnya.
Katidjo membangun empat kolam sederhana. Kolam ukuran 3×5 satu buah untuk pembibitan bibit lele satu bulan. Kolam ini menampung 12 ribu bibit. Ia kemudian memisahkan lele sesuai ukuran, kecil, sedang, besar dan memindahkannya ke kolam lain ukuran 8×10 m. Di kolam ini lele leluasa bergerak dan diberi pakan cukup sampai bisa dipanen.
Pembedaan ukuran sebenarnya memudahkan perlakuan. Lele kecil lebih diperhatikan pakannya supaya pertumbuhan bagus dan menyamai lele besar. Ketika panen, kualitas lele akan menjadi sama bagusnya. Lele juga jarang terserang penyakit. Apabila ada beberapa lele mulai muncul ke permukaan air kolam, Katidjo punya cara, segera mengganti air kolam dengan bersih.
Kini, sekali panen omzetnya Rp 15 juta selama 2,5 bulan. Ia mengaku untungnya cuma Rp 3,5 juta. Setahun bisa panen minimal 4-5 kali bergiliran secara terus menerus. Pembeli umumnya  langsung ke kolam dan Katidjo menjual paketan atau borongan, per kilo Rp 16 ribu. Para pembeli langganan akan menjual lele-lele tersebut ke pasar-pasar atau ke rumah makan.
Dari mana Katidjo dapat modal? Selain modal pribadi, ia mendapat bantuan PKBL Perhutani Ngawi Rp 5 Juta dan Rp 20 juta tahap dua. Pendampingan dan pelatihan diperoleh dengan baik. Bahkan ia pernah diikutkan seminar pengembangan usaha di Yogyakarta tahun 2012.
Informasi awal program pemberdayaan dan PKBL yang diterima dari Heri Sujianto, Mandor Perhutani Sidowayah, bagi Katidjo tidak mudah ia lupakan. Meskipun ia mendapat nominal kecil, bantuan-bantun cepat seperti PKBL manfaatnya nyata dirasakan lelaki lulusan smp berusia setengah abad ini.
Sukses ternak lele Katidjo di desa hutan, memang bukanlah ukuran sukses petambak ikan salmon. Sukses Katidjo adalah cermin semangat pergulatan ekonomi rakyat kecil, yang mampu menarik gerbong ratusan pedagang pecel lele di belakangnya.
Oleh: Soesi Sastro
Sumber: Majalah PKBL Action, No. 24, Th. II, September 2014

]]>
Batik Gatot dan Cinta Pertama Leni https://stg.eppid.perhutani.id/batik-gatot-dan-cinta-pertama-leni/ Sat, 21 Jun 2014 07:57:43 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17076 Tuban, kota pesisir laut utara Jawa identik dengan terasi, ikan asin dan aneka hasil laut. Terletak 120 km sebelah barat kota Surabaya, Tuban menyimpan sejarah dan budaya perpaduan tradisi Jawa dan China. Bahkan kekayaan alam hasil hutan dan laut menginspirasi cerita cinta dan wirausaha.
Pada sebuah masa, Leni anak pembatik Tuban digandrungi pemuda desanya. Mencuri hati Leni bagi seorang Gatot sulitnya luar biasa. Gadis itu acuh tak acuh bila sang pemuda menemuinya. Ibarat hewan-hewan air yang sigap berenang di lautan, Gatot mengubah haluan. Ia menemui Emi Supangesti yang tidak lain adalah ibunda Leni. Membeli batik adalah kepura-puraannya seolah ingin belajar membatik.
Ketika tangannya asyik menari-nari di atas kain inilah Gatot berangan-angan bisa memiliki usaha batik sendiri dan menuangkan ide-ide kreatifnya membatik motif hewan air, daun jati atau ranting-ranting pohon di atas kain.
Ketika Gatot menyampaikan idenya, hati Leni luluh. Akhirnya ia bersedia dipinang pencuri hati yang baik itu. Pasangan Agus Gatot Wiyanto dan Leni Sugiharti bertekad mengawali usaha Batik gatot di jalan Majapahit Karang, Tuban, Jawa Timur.
Bermodal tiga juta rupiah dari orangtua, Gatot hanya bisa membeli kain dari yang lain maka banyak orang penasaran ingin membeli. Tanpa disangka pesanan batik motif hewan laut pun melonjak drastis. Bank lokal dan lembaga kreit berdatangan menawarkan utangan termasuk beberapa BUMN di wilayah Tuban.
Gatot menjatuhkan pilihan pada tawaran Perhutani Tuban. Ia memperoleh pinjaman PKBL sebesar Rp 15 juta rupiah dari Perhutani Tuban tahun 2005. Selain modal uang, ia juga difasilitasi mengikuti pelatihan cara membuat batik tulis di kota batu, Malang. Fasilitas PKBL sangat membantu usahanya selama ini. Mudah murah meriah katanya.
Usai pelatihan membatik, pucuk dicinta ulam tiba. Gatot dan leni banjir order batik dari beberapa kota termasuk dari luar negeri seoerti Malaysia dan Eropa. Motif-motif Gatot unik dan menarik banyak kalangan. Contohnya adalah batik tulis motif hewan air seperti gurita, cumi-cumi, dan kerang. Juga motif ranting dan daun jati yang terinspirasi dari hutan jati di tuban.
Proses pembuatan batik tulis umumnya sama. Pemilihan bahan sesuai keinginan pembeli, membuat pola, pembatikan hingga pencelupan warna. Tetapi, ciri kahs batik Gatot adalah teknik pencelupan warna. Batik tulis yang warnanya cenderung lebih tajam, teknik pencelupan warna empat kali proses dari yang paling muda hingga tua. Sedangkan proses pencelupan warna umumnya hanya dilakukan sekali bahkan maksimal dua kali saja.
Menurut Gatot, kebanyakan bahan batiknya yang mahal memiliki warna yang lembut,elegan dan menenangkan atau teduh. Bahan kain batik yang dijual pun beragam dari bahan Cotton, Paris hingga Sutera.
Harga batik yang ditawarkan bervariasi dari Rp. 180.000,- hingga Rp. 600.000,- per potong kain sepanjang 2 meteran. Omzet awal di bawah Rp. 5 juta per bulan, sekarang ia mengaku pendapatan bersihnya mencapai lebih Rp. 20 juta sebulan. Karyawan yang dahulu hanya 10 orang, kini tidak kurang 30 orang orang perempuan bekerja pada usaha keluarga ini.
Gatot ingin buka cabang toko batik dimana-mana selain memasarkan batik via online pesanan dari luar negeri. Ia mengaku belum paham akan hal ini, tetapi ia harus terus belajar. Pikirannya penuh fantasi, idenya sangat jujur berjalan kemana-mana. Bahkan kejujuran cinta telah mengantarnya menemukan hati Leni dan kreativitas karyanya sebagai anak bangsa.
Oleh: Soesi Sastro

]]>
Hutan Pati, Mengukir Logam Menghilir Harapan https://stg.eppid.perhutani.id/hutan-pati-mengukir-logam-menghilir-harapan/ Sat, 31 May 2014 05:07:27 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17051 Riuh suara logam bersahutan sepanjang siang, nyaring indah berhamburan dari desa hutan, ibarat anak-anak riang menabuh genderang.  Logam alumunium berbagai ukuran bersinar diukir tangan-tangan terampil. Awam tak pernah menduga bahwa logam keemasan berukiran kaligrafi yang menghiasi dinding masjid atau mungkin di sudut rumah kita adalah satu dari karya putra-putri desa Sentul, Cluwak, Pati wilayah pesisir Jawa Tengah.
Dalam perjalanan panjangnya, kerajinan ukir logam alumunium desa Sentul tidak dapat dipisahkan dengan pelestarian hutan di kaki Gunung Muria. Bermula ketika Perhutani Pati memfasilitasi terbentuknya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mitra Tani tahun 2003. Lembaga yang anggotanya adalah warga desa hutan Sentul, terutama mereka yang bermatapencaharian sebagai petani hutan atau bergantung pada hasil hutan seperti daun jati, kayu bakar, pakan ternak, dan pangan itu sangat diharapkan untuk memperbaiki kehidupan ekonomi.
Adalah Mohammad Suryadi. Pemuda asli Magelang kelahiran tahun tujuhpuluhan dan mengenyam pendidikan Sarjana IKIP Semarang itu ikut membidani kelahiran kelompok petani hutan sekaligus guru sekolah di Madrasah dan mengajar paket B dan C.   Sebagai warga desa hatinya tersayat-sayat ketika melihat banyak anak-anak desa hutan tidak bersekolah. Pekerjaan menyawah atau menanam pohon di hutan dianggap tidak menarik.  Ada kecenderungan hanya para orangtua yang masih setia dengan kegiatan pertanian.
Lama Suryadi merenung. Memberikan ceramah lewat mengajar saja tidak cukup ampuh untuk menghijaukan hutan sekitar desanya.  Melalui kelompok Mitra Tani, Suryadi bersama petugas Perhutani mulai mengadakan pelatihan-pelatihan praktis.  Mencintai hutan dan lingkungan apalagi untuk warga desa Sentul harus dimulai dari sisi lain. Suryadi akhirnya menjatuhkan pilihan pada seni ukiran logam kuningan ‘kriya logam sedet’.  Sejak tahun 2008, ia belajar secara otodidak. Dengan alat sederhana hammer dan paku, ia mulai memukul-mukul logam tembaga menjadi ukiran apa saja. Gambar wayang, kaligrafi tulisan arab, gambar hutan, sampai pesanan gambar bunda Maria dari gereja dikerjakan dengan baik.
Suryadi mulai mengajak anak-anak yang belajar di paket B dan C untuk belajar mengukir logam kriya.  Sembari mendengarkan pelajaran, Suryadi bercerita tentang pentingnya melestarikan hutan untuk kebaikan desa mereka yang indah di kaki gunung Muria.  Tentu saja para orangtua di desa Sentul senang melihat anak-anak mereka mempunyai kesibukan baru mengukir kriya daripada sekedar nongkrong di pasar-pasar atau ke terminal.    Hutan-hutan di kaki Muria juga mulai ditanami. Anak-anak kecil punya kesadaran baik akan pentingnya tanaman bagi kehidupan. Meskipun ada saja yang menyerobot menanam sengon dan kopi. Bagi Suryadi, menanam keyakinan menghargai alam dipikiran anak-anak lebih berharga daripada tanaman kopi itu sendiri.
Pucuk ditimpa ulam tiba, tahun 2012, Mitra Tani mendapat bantuan modal PKBL mmelalui Perhutani Pati sebesar Rp. 20.000.000,-( Dua puluh juta rupiah ). Modal ini diinvestasikan untuk membuat galeri sederhana di jalan Tayu Jepara. Sebagian lagi digunanakan untuk membeli bahan baku logam kuningan dan tembaga.
Produksi ukiran logam kriya perbulan yang mampu dibuat Suryadi dan anak-anak didiknya sebanyak 15 unit, dengan aneka motif sesuai pesanan. Setiap ukiran memerlukan waktu rata-rata satu sampai delapan jam untuk penyelesaian. Dengan nilai jual berkisar antara Rp.100.000. sampai Rp. 600.000,-  maka sudah dapat dihitung barapa pendapatannya per bulan.
Saat ini pemasaran masih terbatas di kota-kota di Jawa, dan ada beberapa yang dikirim ke Thailand dan Malaysia.  Usaha ukiran kriya ini membutuhkan banyak tenaga kerja. Saat ini sekitar 18 orang ada di galerinya belum termasuk anak-anak yang bekerja sambil belajar di rumah masing-masing.  Bahan baku juga tidak terlalu sulit karena bisa dibeli dari toko-toko sekitar Tayu, Pati dan Jepara.
Mimpi Suryadi tidak begitu membumbung.  Koperasi Mitra Tani yang dirintisnya dari usaha simpan pinjam dan usaha ukiran kriya logam dapat memberi manfaat bagi kehidupan warga desanya.  Memang demikian adanya, coba saja kita simak ketika kita menembus udara panas desa Sentul siang hari, sayup suara alunan logam tak beraturan indah menemani.  Dari jauh tampak kaki Gunung Muria, kaki dimana kekeringan selalu menampakkan wajahnya meski anak-anak telah menanami.  Dan di hutan Pati itulah Suryadi mengukirkan logam menghilirkan harapannya.
Oleh: Soesi Sastro

]]>
Tempe Jiyah, Asli Hutan Kedungjati https://stg.eppid.perhutani.id/tempe-jiyah-asli-hutan-kedungjati/ Thu, 08 May 2014 05:49:15 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17054 Makan tempe dan tempe lagi. Kenapa tidak! Makanan berbahan dasar fermentasi ragi jamur Rhizopus sangat termasyhur kandungan gizinya. Sumber Wikipedia menyebutkan, tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai kandungan tempe mempunyai fungsi sebagai antibiotik penyembuh infeksi dan antioksidan pencegah penyakit degeneratif.
Produksi dan konsumsi tempe bukan monopoli orang-orang kampung Indonesia, tetapi merambah beberapa negara, bahkan diteliti khusus di jerman, Jepang dam Amerika Serikat. Tempe Jiyah dari desa kedungjati, Grobogan yang berjarak 40 km arah timur Semarang misalnya, adalah tipikal produksi tempe lokalan. Tempe asli kedelai tanpa campuran apapun ini sangat diminati Sujiyah sejak awal.
Adalah Sujiyah, perempuan pemilik usaha kecil tempe “JIYAH” yang ditekuni turun temurun dari orang tuanya. Ibu dua anak ini meneruskan usaha keluarga sejak sepuluh tahun lalu dengan modal awal Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Modal pinjaman bank dengan bunga lumayan tinggi itu persyaratannya tergolong rumit bagi seorang sujiyah. Putus asa ? Tidak! Setelah lelah mengembalikan pinjaman bank, ia hampir saja menghentikan usahanya. Beruntung, Jiyah dan Purwadi suaminya yang pensiunan Perhutani adalah salah satu anggota kelompok Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Jati binaan Perhutani. Salah satu kegiatan produktif LMDH yaitu meningkatkan usaha melalui Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Melalui program tersebut Jiyah mendapat bantuan dana sebagai modal kerja lebih besar daripada pinjamannya terdahulu pada bank sebesar Rp. 5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu rupiah) dengan jangka waktu tiga tahun untuk pelunasannya, Sujiyah pun meneruskan usaha turunan itu.
Sujiyah dibantu anak-anaknya mengolah bahan baku kedelai yang didapatkan dari pedagang-pedagang di beberapa desa. Setelah diolah menjadi tempe, dipasarkan di tetangga-tetangga terdekat.
Ternyata keripik tempe keluarga Sujiyah mendapat sambutan luar biasa. Banyak para tetangganya membeli tempe mentah Sujiayh dan mulai ikut-ikutan membuat keripik tempe. Keripik tempe bungkus plastik mulai populer di kedungjati, bahkan dipasarkan ke berbagai daerah melalui Koperasi Perhutani. Yang lebih menggembirakan lagi bagi Sujiyah adalah, ia bisa menambah tenaga kerja dan mengurangi pengangguran di desanya.
Hitung-hitungan kasar, penghasilan awal Jiyah rata-rata Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) perbulan, meningkat menjadi Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah) perbulannya. Usaha keripik tempe ini pun perlahan-lahan meningkatkan mata pencaharian beberapa warga desa.
Dukungan PKBL melalui Perhutani telah menguatkan pengusaha kecil seperti Sujiyah. Pinjaman lunak yang menurut rakyat kecil banyak manfaatnya ini menjadikan usahanya merambah ke usaha lain seperti pupuk organik, pupuk kandang dan ia bisa memperbesar usaha kelontongan di kios miliknya.
Ia pernah mengikuti pelatihan mitrabinaan di Bogor, Jawa Barat yang diselenggarakan Perhutani saat itu. Kini, usaha keripik tempe “Jiyah” diincar beberapa perbankan untuk medapat kucuran kredit. Puluhan juta rupiah ditawarkan, tetapi perempuan perkasa itu belum bergeming dari PKBL Perhutani yang membantu dengan bunga yang sangta rendah dan proses yang tidak berbelit-belit. Hal inilah yang diidam-idamkan pengusaha kecil di kampung seperti dirinya.
Pemikiran wajar, ketika sebuah usaha berbuah, maka siapapun ingin mengembangkan usahanya hingga ke berbagai daerah bahkan luar negeri. Meski hanya pengusaha kecil keripik tempe, tempe Jiyah asli dari Kedungjati.
 
Oleh: Soesi Sastro
 

]]>
Antara Empon-empon Dan Hutan Jati https://stg.eppid.perhutani.id/antara-empon-empon-dan-hutan-jati/ Mon, 21 Apr 2014 09:23:11 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17082 “Suwe ora jamu, jamu godong telo, suwe ora ketemu, ketemu pisan ojo gelo..” (red:lama tak minum obat, minum obat daun ketela, lama tidak jumpa, jumpa sekali jangan kecewa). Lagu Jowo tersebut sayup-sayup terdengar dari dalam hutan jati di Randublatung, Jawa Tengah. Terlihat beberapa laki-laki dengan sigap memanen kunyit, temulawak, dan kunci pepet dari lahan kawasan hutan. Empon-empon itu mereka tanam di bawah tegakkan pohon jati tua. Dengan areal panen yang cukup luas, saya yakin bahwa panenan tersebut bukan untuk dikonsumsi sendiri sebagai bumbu masak, tetapi dapat dipastikan bagian dari usaha kelompok yang sangat menjanjikan.
Benar saja, tumpukan kunyit dan temulawak itu sudah dipesan Sulastri. Siapa sih, Sulastri? Ia adalah perempuan di daerah Randublatung yang gigih berbisnis empon-empon. Ketika Perhutani memberikan akses untuk menanam lahan hutan di bawah tegakkan, empon-empon adalah salah satu pilihan masyarakat desa hutan. Dan, Sulastri termasuk salah satu warga desa yang cukup jeli membaca peluang pasar empon-empon ini.
Lebih dari dua puluh tahun Sulastri menekuni usaha bahan baku jamu-jamuan ini. Modal awalnya diperoleh dari tahun 1993 melalui dana Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi dari Perhutani Randublatung, sebuah mekanisme cikal bakal PKBL. Pinjaman berbunga rendah itu mampu membantu usaha Sulastri tetap langgeng sampai sekarang. Ia mengakui bahwa bukan besar kecilnya nilai pinjamanyang membuat sebuah usaha sukses atau tidak sukses, tetapi nilai pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan usaha dan kepedulian lembaga yang membantunya.
Sulastri selain sebagai pedagang pengumpul empon-empon, mulai melakukan upaya disverivikasi berupa pembuatan bahan dasar jamu-jamuan. Ia dibantu Perhutani untuk ikut serta pelatihan manajemen usaha, pengenalan tanaman obat-obatan dan pengolahan pasca panen.
Menurut Sulastri, usaha tanaman obat-obatan perlu pengetahuan cukup, paham bahan tanaman apa yang dibutuhkan para agen tanaman jamu-jamuan dan tentu saja kualitas harus terjaga. Sebagai pemasok, klasifikasi tanaman obat yang masuk standar kebutuhan pabrikan jamu kualitas maupun kuantitas harus selalu sama.
Berkat kerja keras, bahan baku jamunya merambah beberapa kota di Jawa tengah, terutama untuk bahan baku jamu rebusan. Beberapa pabrik jamu di Jawa Tengah memesan produknya.
Dirumahnya yang penuh tumpukan empon-empon, ia melakukan sortasi dengan hati-hati sekali. Empon-empon yang banyak dipesan saat ini adalah temulawak, jahe, kunyit, kunci pepet, serta serutan kayu secang.
Untuk melakukan proses pengolahan sederhana tersebut, ia dibantu lebih jauh dari sepuluh orang pekerja, belum termasuk para petani empon-empon yang banyak tersebar di desa hutan Randublatung. Ketika ditanya mengenai pendapatan yang diperoleh, Sulastri tidak bersedia menjawab langsung, tetapi bisik-bisiknya tidak kurang dari Rp 30 juta per bulan bisa dia kantongi.
Mendapat kepercayaan dari agen pabrik jamu di beberapa kota besar di Jawa Tengah, Sulastri tentu saja ingin sumber-sumber lokasi tanaman bahan baku jamunya tetap terjaga dan lestari. Ia bersama keluarga dan warga desa mampu hidup sejahtera karena keberadaan sumberdaya hutan jati Perhutani. Hutan tidak saja memberikan manfaat memenuhi kebutuhan pangan, air, kayu bakar dan bahan ternak.
Bagi Sulastri, empon-empon dan hutan jati adalah kehidupan sejati yang tak terpisahkan lagi.
Oleh: Soesi Sastro
Sumber: Majalah PKBL Action, No. 19, Th. II, April 2014

]]>
Ketika Tunggak Jati Dipahat Dan Hati Terpikat https://stg.eppid.perhutani.id/ketika-tunggak-jati-dipahat-dan-hati-terpikat/ Mon, 31 Mar 2014 05:01:59 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17049 Turis masuk hutan jati, siapa, dimana. Lizbeth de Koening adalah turis asal Belanda yang minta pemandunya berhenti di hutan jati Saradan, tepat 40 kilomater arah timur Madiun menuju Nganjuk Jawa Timur. Mobil wisata tujuan Malang itu berhenti. Bersama tiga koleganya ia berdiri di pinggir jalan dan berdecak kagum pada barisan pohon jati kokoh menjulang. Lebih heboh lagi, mereka melongo melihat pahatan berornamen garuda, naga, harimau, dan hutan pada tunggak-tunggak jati tak beraturan yang dipajang dan didagangkan pengrajin disitu.  Mata para turis itu berbinar antusias dan mulutnya tak absen dari kata “amazing….fantastic”.   Siang itu Soejarwo Efendi ditemani istrinya Murtini, menerima turis itu dengan senang. Tak henti ia menjelaskan proses pembuatan pahatan tunggak jati, dan Lizbeth antusias mendengar terjemahan pemandunya.
Soejarwo Efendi, 52 tahun, akrab dipanggil Jarwo adalah satu pengrajin tunggak jati terlama di Saradan. Sosoknya yang keras dan ulet mengantarnya pada kehidupan mandiri, mandiri ukuran perdesaan. Krisis moneter memaksa Jarwo meninggalkan Ngawi, desa kelahirannya. Anak kelima dari tujuh saudara ini menekuni usahanya sejak 1999.  Berbekal alat pahat seharga Rp 175.000,- yang dia beli dari uang jatah makan keluarganya, Jarwo harus rela melihat isteri dan anaknya puasa sebulan.
Pahatannya pertama berornamen garuda dan iguana diselesaikan dalam waktu delapan hari, tak sengaja terjual seharga satu juta rupiah. Sejak itu ia bertekad maju. Jarwo mulai mencari tunggak kayu jati di hutan Saradan dan Madiun. Gayung bersambut, pada tahun 2001, Perhutani Saradan memberinya bantuan empat juta rupiah melalui dana USKOP (Usaha Kecil Koperasi) dana bergulir program BUMN waktu itu.
Usaha Jarwo tentu saja tidak mulus. Saingan banyak, harga bersaing, bahan baku harus didapatkan sesuai aturan. Menurut Jarwo, pengambilan tunggak pohon jati dari hutan secara berlebihan dapat menyebabkan erosi tanah. Itulah sebabnya Perhutani rutin memberikan arahan konservasi kepada para pengrajin. Untuk lokasi hutan dengan kemiringan tertentu, tunggak kayu jati tidak boleh diambil.
Jarwo mendapat suntikan dana PKBL senilai duapuluh juta rupiah dari Perhutani Saradan tahun 2008.  Dana tersebut lunas dalam waktu satu tahun. Dengan tujuh karyawan ia memproduksi rata-rata lima sampai delapan pahatan sebulan tergantung besar kecil tunggak kayu jati dan kerumitan pahatan.  Harga termurah berupa tempat buah-buahan dari tunggak jati senilai delapan puluh ribu rupiah.  Sedangkan pahatan tunggak jati besar harganya antara Rp. 2 juta sampai Rp. 30 juta rupiah.
Jarwo telah empatbelas tahun menggeluti usahanya, omset Rp. 30 juta hingga Rp. 50 juta sebulan.  Dengan mata berbinar ia mengaku hasil bersih usahanya setahun mencapai Rp. 80 juta sampai Rp. 150 juta.  Sebuah nilai yang membuatnya bangga.  Pembeli tunggak jati umumnya adalah turis, atau pedagang perantara yang membawa produknya ke Bali atau diekspor ke Jepang, Belanda, dan Italy.
Dari usahanya itu, dua anak bisa sekolah. Bahkan anak pertamanya mulai membuka usaha yang sama dengan bantuan modal perbankan senilai Rp. 10 juta rupiah.  Bagi Jarwo, kemudahan bantuan PKBL tetap yang terbaik bagi orang desa seperti dia. Ia sangat rasakan manfaatnya. Selain bunga rendah, jangka pengembalian cicilan berselang mulai bulan ketiga. Jadwal pengembalian tidak kaku.
Jarwo mendapat angin segar dari Setiawan Administratur Perhutani Saradan untuk mengembangkan usahanya.  Untuk itu Jarwo ingin kembali mengajukan pinjaman PKBL dengan nilai lebih besar. Menurutnya, Rp 50 juta rupiah adalah modal minimal yang membuat usahanya bergerak leluasa mencukupi pesanan pembeli. Karena kurang dari itu akan alot mengembangkan stok barang.  Seperti alotnya negosiasi antara Jarwo dan Lizbeth yang tak henti tawar menawar harga siang hari itu di tengah kokohnya hutan jati  Perhutani dusun Petung, desa Pajaran, Saradan.
Bagaimanapun juga, keberhasilan usaha Jarwo sangat tergantung pada selera dan citarasa pembelinya. Ketika tonggak jati dipahat dan hati pembeli terpikat maka barulah sang rupiah bisa di dapat.
Oleh: Soesi Sastro

]]>
Antara Lovebird, Murai Batu dan Cintaku Padamu https://stg.eppid.perhutani.id/antara-lovebird-murai-batu-dan-cintaku-padamu/ Mon, 31 Mar 2014 04:53:46 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17047 Hutan tanpa kicau burung, mana mungkin.  Bisa jadi derasnya modernitas yang menelusup ke desa-desa hutan telah melupakan orang desa menikmati suara kicau burung pagi hari. Mereka lebih memanjakan telinga dengan music dangdut, music india, campursari sampai music Lady Gaga barangkali.  Itu situasi desa Tahunan dan desa Sale Kabupaten Rembang tiga tahun lalu, sebelum Agus Suyanto, Suprapto dan Imam Dwitanto jatuh cinta pada burung Murai Batu dan Lovebird.
Sejak Perhutani Kebonharjo mempersiapkan sertifikasi pengelolaan hutan lestari berstandar internasional FSC (Forest Stewardship Council), program PKBL menjadi andalan Perhutani untuk menggerakkan ekonomi desa hutan.  Pilihan Perhutani untuk memfaslitasi masyarakat berusaha budidaya burung Murai Batu dan Lovebird sempat menjadi perdebatan internal karena burung-burung tersebut termasuk satwa CITES II dengan habitat asli Sumatera. Artinya apabila ditangkarkan di Jawa atau di luar habitatnya akan semakin bagus dari aspek konservasi.
Adalah Agus Suyanto yang mengawali berternak burung Murai Batu (Copsychus malabaricus) tahun 2010.  Dari satu kandang berkembang menjadi 8 pasang indukan Murai Batu. Setiap bulan rata-rata indukan beranak 10 sampai 15 ekor. Setiap pasang menghasilkan anakan 2 sampai 3 ekor. Satu ekor burung Murai Batu anakan rata-rata dijual Agus seharga  Rp 500 sampai  Rp. 750 ribu per ekor, bahkan bisa mencapai Rp. 1,7 juta sepasang bila dipelihara lebih satu bulan. Pemasaran anakan Murai Batu sangat mudah, pembeli langsung mendatangi rumah Agus di desa Tahunan, bahkan sering calon pembeli harus inden, menunggu dan rela antri. Usaha Murai Batu Agus memberi keuntungan sekitar  Rp 8 juta sampai Rp. 10 juta per bulan, setelah dikurangi biaya pakan kroto dan jangkrik Rp 40 ribu perhari.
Lain Agus Suyanto, lain pula Imam Dwitanto yang memilih Lovebird untuk dibudidayakan. Dengan modal Rp. 6 juta untuk empat pasang indukan, Imam memulai usahanya. Dia menyukai Lovebird asal Afrika ini karena bulunya yang halus, warna yang beraneka ragam, bentuk paruh mungil seperti paruh kakaktua dan kicauan yang merdu.
Untuk budidaya, Iman menghabiskan Rp 1.000 per hari atau Rp.120.000 untuk pakan dan pengasuhan empat pasang Lovebird-nya. Pada usia 7 samapi 8 bulan, Lovebird mulai berproduksi menghasilkan telur. Kualitas produksi Lovebird yang baik umumnya pada saat induk berusia 1 sampai 3 tahun. Melewati usia 3 tahun, kualitas akan berkurang. Lovebird bertelur setelah 4 hari usai kawin. Terlur yang menetas, setelah waktu 7 sampai 8 minggu anak Lovebird bisa dipisah.  Sedangkan induk kembali produksi setelah 2 minggu kemudian. Menurut Iman, produksi bisa juga lebih panjang dari waktu normal. “Kalau lama tidak bertelur, menu makan Lovebird diubah, diberi asupan sayur-sayuran yang bisa menaikkan birahi seperti taoge dan sawi,” jelasnya.
Lovebird cukup unik pemasarannya yaitu dengan lelang.  Anakan Lovebird jenis Lutino misalnya, saat baru menetas sudah diminta calon pembeli,  Imam tidak segera mau menerima pembayaran tetapi ia akan menunggu tawaran tertinggi dari peminat lain. Demikian juga Lovebird jenis Ficheri yang biasa dijual seharga Rp 400.000 itu bisa naik mencapai Rp 12 juta dalam lelang, jika kualitasnya baik. “Memang Ficheri yang paling murah. Tapi, kalau menang kontes, harganya melambung. Jenis ini yang suaranya paling kuat,” ungkap Iman. Imam tidak pernah kuatir memasarkan Lovebird, pembelinya adalah agen-agen burung, pencinta burung dan masyarakat biasa. Harga burung Lovebird akan semakin tinggi jika sudah berpasangan. Harganya pernah mencapai Rp 4 juta sampai Rp 6juta bahkan Rp. 10 juta per pasang.
Mereka tentu saja sangat terbantu dengan dana PKBL yang digulirkan Perhutani Kebonharjo Jawa Tengah senilai Rp. 25 juta  tahun 2012. Proses sangat mudah dan digulirkan dengan system klustering. Usaha budidaya Burung Murai Batu dan Lovebird ini layaknya mesin ATM bagi Agus, Iman dan Prapto dan keluarganya.  Kini Kicau burung begitu marak di setiap sudut hutan di wilayah Rembang, banyak yang mulai mengikuti jejaknya. Wajah para isteri mereka berbinar dengan lompatan nilai pendapatan yang tak pernah terduga untuk ukuran orang desa.  Dan para isteri itu berbisik kepada suami mereka:” tak terpilah lagi antara  Perhutani, Lovebird, Murai Batu dan cintaku padamu”.
Oleh: Soesi Sastro

]]>
Hutan Cepu Dan Semprong Waluh Nikmat Menggebu https://stg.eppid.perhutani.id/hutan-cepu-dan-semprong-waluh-nikmat-menggebu/ Tue, 31 Dec 2013 04:45:09 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17044 Cepu kota kecamatan di tengah hutan jati Perhutani, selain memikat wisatawan mancanegara karena Locotour dan hutan alam Gubug Payungnya, ternyata Cepu punya makanan khas Ledre Pisang pemikat lidah. Nyamikan berbentuk semprong atau roll tersebut sangat dikenal sebagai buah tangan atau oleh-oleh.
Di sela acara pilih memilih oleh-oleh itulah, mata saya menabrak kotak bertuliskan ‘Egg Roll Waluh’. Tentu ini membuat saya penasaran, rasanya seperti apa sih? “..krepes…krepes…krepes”…begitulah gigitan demi gigitan semprong waluh ludes satu kotak sudah saya coba. Enak nikmat menggebu.
Ide semprong waluh berasal dari Ani Santoso. Awalnya Ani mendapat resep semprong waluh atau egg roll (red: semprong bertekstur lembut) dari kursus membuat kue ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desanya.
Ketika PKK Kabupaten Blora mengadakan lomba memasak kue, Ani memilih membuat Semprong Waluh untuk kue yang dilombakan.  Selain bahan dasarnya murah, cara membuatnya relative mudah dan tidak rumit. Lomba PKK itu akhirnya mengantarkan ‘Semprong Waluh’ Ani Santoso keluar sebagai Juara Pertama. Tidak itu saja, semprong berbahan dasar Waluh atau Labu Kuning juga mendapat Piagam Penghargaan dari Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 2010.
Ani berpikir, piagam kejuaraan yang diperoleh tidak akan memberi manfaat apapun apabila hanya menggantung di dinding rumah. Percuma katanya. Ia kemudian berusaha membuat kue setiap hari dan menjual pada tetangga. Selalu saja habis dibeli orang sebelum petang datang. Situasi ini mendorongnya mencari pinjaman ke Bank, agar ia bisa membuka usaha, meskipun ia tidak berhasil mendapat pinjaman.
Ani mengetahui ada dana PKBL di Perhutani yang bisa dimanfaatkan oleh usaha kecil, tetapi ia tidak berani meminjam karena kuatir ditolak. Melalui petugas PKBL, akhirnya Ani bersiskusi dan memberanikan diri mengajukan proposal pinjaman. Setelah menunggu dua tahun, Perhutani Cepu akhirnya memberi pinjaman PKBL sebesar Rp 5 juta akhir 2012. Sungguh ia bersyukur mendapat pinjaman itu. Nilai nya cukup untuk membeli mixer besar sebagai modal usaha.
Sejak itulah, usaha Ani Santoso perlahan berubah. Sebelumnya ia hanya menghasilkan 20 resep per hari atau 100 bungkus kemasan 250 gram. Kini bisa membuat 35 resep atau 175 bungkus kemasan 250 gram perhari.  Usahanya dibantu 12 orang tetangga sekitar sebagai karyawan, dulu dikerjakan sendiri.  Keuntungannya melambung, omsetnya mencapai Rp 65 juta per bulan.
Bahan baku waluh atau labu kuning di peroleh dari petani-petani hutan di Cepu dan Randublatung.  Rata-rata dibutuhkan 40-50 buah per hari. Kita tahu kandungan gizi waluh kuning terutama vitamin A, Vitamin C, betakaroten dan alpha hydro-acid sangat tinggi sehingga sangat baik untuk kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Semprong Waluh ini dikategorikan sebagai snack sehat karena kandungan gizinya, dan tentunya juga mengantongi Sertifikat dari Dinas Kesehatan setempat. Berbahan dasar tepung terigu, telur, susu bubuk, santan, pengembang kue, mentega dan bahan campuran (waluh, ketela, nangka), semprong waluh ini mudah membuatnya. Telur, gula dan pengembang kue diaduk menggunakan mixer, kemudian ditambah santan, tepung terigu, susu dan bahan campuran yang terakhir mentega.
Selain rasa waluh, Ani juga memproduksi semprong rasa ketela rambat, nangka, durian, kacang hijau, pisang, susu, pandan. Kata Ani kuenya tahan tiga sampai empat bulan tanpa bahan pengawet.
Dengan label “Ngudi Roso–Egg Roll”, jajanan sehat ini pasarnya menembus Cepu, Blora, Semarang, Solo, Salatiga, Bojonegoro, Jombang, Kediri, dan Surabaya. Ani ingin pinjaman PKBLnya segera lunas, sehingga bisa meminjam ke dua kali untuk meningkatkan produksi dan memperluas pasar. Malang dan Lumajang adalah dua kota yang permintaannya tinggi namun belum bisa dipenuhi.
Desa Ngroto, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora adalah desa hutan. Tak ubahnya desa hutan lainnya dimana perempuan bekerja nyata tanpa perlu berita atau dipuja. Hutan tetaplah sumber kehidupan, di antara pohon dan ranting hutan jati desa Ngroto ada sebait nikmat Semprong Waluh ‘Ngudi Roso’ a la Ani Santoso.
Oleh: Soesi Sastro
Sumber: Majalah PKBL Action, No. 15, Th. II, Desember 2013

]]>