HCVF – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Thu, 20 Aug 2015 01:19:30 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png HCVF – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Persiapkan Controlled Wood, Perhutani Jatirogo Adakan Konsultasi Publik https://stg.eppid.perhutani.id/persiapkan-controlled-wood-perhutani-jatirogo-adakan-konsultasi-publik/ Thu, 20 Aug 2015 01:19:30 +0000 http://perhutani.co.id/?p=26406 Dok. Kom-PHT/JTR @2015

Dok. Kom-PHT/JTR @2015

JATIROGO, PERHUTANI (20/8) | Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Jatirogo mengadakan konsultasi publik bersama seluruh stakeholder Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro di aula kantor KPH Jatirogo.

Konsultasi publik dilakukan untuk menampung masukan dan saran atau keluhan masyarakat dalam rangka perbaikan pengelolaan dan pemantauan High Conversation Value Forest (HCVF) atau Kawasan bernilai Konservasi Tinggi (KBKT).

Sesuai dengan standar controlled wood FSC maka dalam pengelolaan hutan Perum Perhutani tidak akan melakukan segala aktifitas yang dilarang oleh regulasi FSC yaitu tidak melakukan pemanenan dan penjualan kayu secara illegal, tidak melanggar hak-hak tradisional dan hak-hak asasi manusia dalam pengelolaan hutan, tidak merusak kawasan dengan nilai konservasi tinggi dalam pengelolaan hutan, tidak secara nyata mengkonversi hutan alam untuk tanaman atau untuk penggunaan bukan hutan dan tidak mengintroduksi pohon transgenik dalam pengelolaan hutan.

Administratur Perhutani  Jatirogo, Achmad Basuki menyampaikan bahwa seluruh aspek kelengkapan dokumen pemanenan hasil hutan yang proseduran dan sah, kepastian areal dan batas-batas areal dalam proses sertifikasi akan dinilai oleh lembaga internasional pengelolaan hutan lestari. Dan yang terpenting dalam penilaian diantara aspek lingkungan dan perlindungan terhadap sumber mata air, dan aliran sungai, cagar budaya dan situs. Adminstratur berharap KPH Jatirogo bisa mendapatkan sertifkat controlled wood. (Kom-Pht/Jtr)

Editor : A. Irfan S.

Copyright ©2015

]]>
Kayu Perhutani Sumedang Segera Bersertifikat FSC https://stg.eppid.perhutani.id/kayu-perhutani-sumedang-segera-bersertifikat-fsc/ Tue, 27 Aug 2013 00:51:55 +0000 http://perhutani.co.id/?p=8730 INILAH.COM, Sumedang – Kayu hasil produksi Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perum Perhutani Sumedang sebentar lagi akan mengantongi sertifikat FSC (Forest Stewardship Council).

Label khusus itu diterapkan pada kayu asli produksi Perum Perhutani yang ditebang dengan memperhatikan konservasi di lahan hutan tersebut.

Dengan begitu, kayu yang dijual dijamin keberadaan dan proses penebangannya tanpa merusak adat setempat, kehidupan sipil, dan adanya konversi hutan serta transgenik kayu.

Dengan sertifikat FSC ini, ada jaminan penebangan kayu tidak mengganggu kehidupan atau habitat satwa di hutan. Maka, harga jualnya pun bisa lebih tinggi. Apalagi jika dijual ke pasar Eropa yang sangat membutuhkan kayu dengan sertifikat FSC.

“Sebentar lagi kayu hasil produksi KPH Sumedang akan bersertifikat FSC, ini merupakan upaya kami dalam menambah kualitas kayu hasil Perhutani di seluruh Indonesia sehingga menaikkan posisi tawar dan harga jual kayu dari Indonedia, khususnya produksi Perhutani,” kata Sudrajat, Wakil Administratur KPH Sumedang Wilayah Selatan, Senin (26/8/2013).

Sudrajat menyatakan hal itu dalam Konsultasi Publik bersama Stakeholder tentang High Conservation Value Forest di Kantor KPH Sumedang.

Saat ini, ada 7 KPH di Indonesia yang sudah mengantongi sertifikat FSC, di antaranya KPH Ciamis di Jawa Barat. Sejak 2011, KPH Sumedang sudah mencoba menempuh prosedur dan tahapan dalam perolehan sertifikat yang dapat menambah penjualan kayu naik sekitar 5-10%.

Sudrajat menyebutkan, selama ini, penjualan kayu hasil produksi KPH Sumedang memang masih diserap habis oleh pasar lokal saja. Meski masih dirasakan kurang untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal, Perhutani menginginkan ada penjualan ke pasar luar bahkan ekspor ke luar negeri.

Tujuannya, untuk meningkatkan pendapatan. Sayang, ketiadaan sertifikat menjadi kendala penjualan kayu.

“Nanti kita akan meningkatkan hasil produksi dengan berbagai cara yang ditunjang konservasi, sebagian masih dilepas ke pasar lokal namun target kami juga dijual ke pasar luar negeri,” kata Sudrajat.

Pada 2012, jumlah produksi kayu di KPH Sumedang 4.300 meter kubik. Jumlah ini direncanakan sesuai Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH).

Jumlah produksi bisa ditingkatkan sesuai dengan tahapan-tahapan tertentu sepanjang memenuhi pedoman pengelolaan hutan lestari. [gin]

Inilah Koran | Senin, 26 Agustus 2013 | 17:58 WIB
Jurnalis : Vera Suciati

]]>
Kantongi Sertifikat FSC, Lahan Perhutani Jadi HCVF https://stg.eppid.perhutani.id/kantongi-sertifikat-fsc-lahan-perhutani-jadi-hcvf/ Tue, 27 Aug 2013 00:31:43 +0000 http://perhutani.co.id/?p=8727 INILAH.COM, Sumedang – Untuk mengantongi sertifikat FSC (Forest Stewardship Council) pada kayu hasil produksi KPH-Perhutani Sumedang, lembaga ini perlu melakukan konservasi serius di lahan hutan yang mempunyai nilai konservasi tinggi atau High Conservation Value Forest (HCVF).

HHCF dinilai dengan enam kriteria yaitu wilayah hutan yang mengandung konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati penting secara global, wilayah hutan yang memiliki tingkat bentang alam hutan luas yang dianggap penting secara global, wilayah hutan yang memiliki tipe ekosistem unik yang langka, terancam atau hampir punah, wilayah hutan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan dalam situasi kritis, wilayah hutan sebagai sumber kehidupan dasar bagi masyarakat lokal, dan wilayah hutan sebagai identitas budaya.

Dengan penilaian ini, maka ada ratusan lokasi hutan di kawasan hutan pengelolaan Perhutani Sumedang yang harus di konservasi.

“Kami sebelumnya melakukan identifikasi HCVF dengan enam penilaian, maka ternyata ada ratusan kawasan yang perlu mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan konservasi,” kata Sudrajat, Wakil Administratur KPH Sumedang Wilayah Selatan, Senin (26/8/2013).

Disebutkan Sudrajat, HCVF hampir ada di semua kawasan pemangku hutan, yaitu Tampomas, Manglayang, dan juga Gunung Jagat. Kawasan lainnya juga ada di tiga hutan lindung yang sudah ditetapkan negara yaitu Taman Buru Masigit, Gunung Jagat, Manglayang.

“Hampir lebih dari setengah kawasan hutan Perhutani teridentifikasi HCVF dengan adanya enam kriteria di antaranya masih adanya hewan langka seperti macan tutul dan buruk paok pancawarna,” kata Sudrajat.

Sementara itu, menurut pendamping Perhutani Asep Budi, jika nanti ada ratusan HCVF yang sudah teridentifikasi maka akan membentuk kawasan biodiversity atau keanekaragaman hayati.

Dia menjelaskan tindakan konservasi yang nanti akan dilakukan harus mendapat masukan dan dukungan dari semua stakeholder seperti pemerintahan di tingkat kabupaten hingga desa dan forum musyawarahah di semua tingkat pemerintahan serta unsur organisasi masyarakat atau kepemudaan yang terkait.

“Untuk itu kami melakukan konsultasi publik kepada semua pihak agar memberikan masukan terhadap kegiatan konservasi yang kami lakukan pada kawasan-kawasan HCVF,” kata Asep.[jul]

Inilah Koran | Senin, 26 Agustus 2013 | 19:43 WIB
Jurnalis : Vera Suciati

]]>
Situs Dalem Cageur Menunggu Investor https://stg.eppid.perhutani.id/situs-dalem-cageur-menunggu-investor/ Mon, 06 May 2013 01:55:34 +0000 http://perhutani.co.id/?p=7118 KUNINGAN, (PRLM).- Pembangunan obyek wisata ziarah situs Eyang Dalem Cageur yang digagas sejak 2010, kembali tertunda karena tidak termasuk dalam kegiatan anggaran tahun 2013 sehingga masih menunggu adanya investor yang bersedia menanamkan modalnya, untuk membangun dan mengembangkan hutan tropis yang ditumbuhi ratusan pohon langka berumur ratusan tahun itu menjadi tujuan wisata.
“Keberadaan situs Eyang Dalem Cageur bakal terus dipertahankan karena mampu melestarikan hutan tropis bahkan perlu dikembangkan sebagai potensi wisata budaya. Namun, untuk mengembangkan situs itu belum juga masuk pada tahun ini,” tutur Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan, Drs.Tedi Suminar, Minggu (5/5/13).Disebutkan Tedi, Kabupaten Kuningan memiliki 141 situs yang sudah didata serta banyak potensi alam dan budaya yang menarik, sehingga menjadi andalan dalam sektor pariwisata. Potensi alam dan budaya tersebut sebagian sudah dikembangkan, namun sebagian lagi masih dalam tahap inventarisasi dan eksplorasi.
Namun, dia tidak menyebutkan alasan ditundanya kembali rencana pembangunan tersebut. Diakuinya, Pemerintah Kabupaten Kuningan saat ini sedang merencanakan dengan menggali seluruh potensi yang ada secara bertahap dengan cara meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, melakukan promosi serta menggali dan mengembangkan potensi objek wisata.
Berdasarkan data yang diperoleh, objek dan daya tarik wisata yang tengah dijajagi untuk dikembangkan berada di wilayah bagian selatan Kuningan, yakni objek wisata ziarah Eyang Dalem Cageur yang berlokasi di Desa Cageur Kecamatan Darma Kabupaten Kuningan, sekitar 15 km dari Kuningan Kota kearah Cikijing Majalengka.
Sarana infrastruktur jalan berhot-miks dapat dilalui kendaraan roda empat dan lokasinya dinilai sangat strategis.
Berada di bawah pengawasan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, Kesatuan Pemangkuan Hutan Kuningan, memiliki luas 12,70 Hektare dan di dalamnya terdapat makam Eyang Dalem Cageur yang oleh penduduk setempat dikeramatkan.
Penjajagan dari potensi tersebut, kata Tedi, direncanakan bakal dibuat Gapura masuk dan keluar jalan menuju objek, area parkir, Saung, Gapura menuju situs, Mushola, Toilet, tempat mandi/wudhu dan penataan sarana pendukung lainnya, seperti kolam pancing, kolam renang, tempat kemping dan sarana Outbond yang diperkirakan perlu dana sebesar Rp 4 miliar.
Eyang Dalem Cageur nama aslinya Eyang Satariah (Satari), ia seorang pejuang Islam dan sebagai abdi dalem Keraton Kesultanan Cirebon yang mendapat tugas dari Sunan Gunung Jati. Eyang Cageur bersama pasukan pimpinan Syech Rama Haji Irengan, bertugas untuk menyebarkan Agama Islam di wilayah Kabupaten Kuningan sekaligus menjaga serangan dari Pasukan Galuh Ciamis yang saat itu beragama Hindu. Disebut cageur (sehat), karena konon dia juga akhli dalam pengobatan.
Situs Eyang Dalem Cageur mampu mempertahankan hutan tropis dengan dipenuhi ratusan bahkan ribuan jenis pepohonan langka dan berumur ratusan tahun. “Ini salah satu bukti pendukung dalam mewujudkan Kuningan sebagai kabupaten konservasi, sekaligus sebagai obyek wisata yang bisa menguntungkan daerah,” paparnya. (A-164/A-108)***
Pikiran-rakyat.com, 06 Mei 2013

]]>
Makam Sultan Minang di Hutan Kebonharjo https://stg.eppid.perhutani.id/makam-sultan-minang-di-hutan-kebonharjo/ Thu, 07 Jun 2012 09:46:07 +0000 http://perhutani.co.id/?p=4758 Legenda sultan dari Minangkabau yang pergi ke timur untuk menunaikan pesan sang ayah hingga akhirnya menjadi murid Sunan Bonang.

KEBONHARJO – Di kawasan hutan petak 1a RPH Kajar, BKPH Gunung Lasem, Perhutani KPH Kebonharjo, atau masuk wilayah Desa Binangun, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, terdapat sebuah makam kuno yang dikeramatkan masyarakat sekitar. Penduduk sekitar menyebut tokoh yang dimakamkan adalah seorang raja dari Minangkabau, bernama Sultan Mahmud. Saat ini Perum Perhutani menjadikan kawasan tersebut sebagai lokasi High Value Conservation Forest (HCFV) dan memasukannya ke dalam daftar situs budaya.

Lalu siapa Sultan Mahmud? Begini ceritanya:

Konon, sekitar abad XV, Raja Minangkabau yang sudah sepuh memberi wasiat untuk putranya sebuah kotak berisi kitab. Pesannya, kitab di dalam kotak tersebut hanya boleh dibuka setelah sang raja meninggal.

Sang anak, yang bernama Sultan Mahmud, patuh. Setelah sang sultan sepuh mangkat, kotak yang berisi kitab tersebut dibuka. Namun ternyata kitab tersebut tidak bisa dibaca dan setelah diminta kepada segenap orang-orang pandai di kerajaan tak ada satu pun yang mampu menerjemahkannya. Ini membuat sultan penasaran.

Gundah karena belum mampu melaksanakan perintah sang ayah, Sultan Mahmud pun terus berdoa pada yang Maha Kuasa. Tidak berapa lama ia mendapat petunjuk. Di dalam mimpinya dikatakan bahwa yang bisa menterjemahkan kitab tersebut tinggal di sebelah timur dari kesultanan Minangkabau.

Maka bersama patihnya, sang sultan berlayar ke arah timur. Sesampainya di wilayah Kesultanan Banten, ditunjukkanlah kitab tersebut. Tetapi tetap tak ada yang bisa menterjemahkan isinya. Begitu pun ketika sampai dan berlabuh di kesultanan Cirebon. Hasilnya nihil. Kemudian Sultan melanjutkan perjalanannya berlayar terus ke arah timur. Namun malang, di tengah laut Jawa kapalnya dihantam badai dan tenggelam. Semua isinya hilang. Beruntung sang sultan bersama patihnya selamat dan terdampar di tepi laut Bonang.

Pada saat kebingungan di tepi pantai Bonang, Sultan bertemu dengan seseorang yang sedang mencari ikan dengan membawa kepis (tempat ikan). Kepadanya, Sultan menceritakan apa yang terjadi sekaligus maksud dan tujuan perjalanannya. Si pencari ikan menyarankan untuk menemui seseorang pandai di wilayah tersebut yang bernama Sunan Bonang. Bahkan akhirnya ia mengantar langsung ke kediaman sang Sunan yang di depannya terdapat pohon kemuning. Setelah itu, ia langsung pamit tanpa mengenalkan nama.

Sesampai di depan rumah, Sultan Mahmud ragu apakah rumah yang ditunjukkan benar kediaman Sunan Bonang, karena rumah itu terlihat jelek. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya. Namun setelah dibujuk oleh sang patih ia bersedia untuk bertamu. Setelah mengucapkan salam, mereka dipersilahkan masuk oleh tuan rumah. Sang Sultan pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan ia merasa takjub. Karena tiba-tiba saja ia melihat keadaan di dalam rumah indahnya menyamai istana kerajaan Minangkabau. Bahkan lebih bagus.

Sultan Mahmud diterima langsung oleh Sunan Bonang. Ia pun menceritakan maksud dan tujuannya berlayar ke arah timur sampai akhirnya berada di tempat itu. Bahwa sesuai wasiat sang ayah, ia ingin mempelajari kitab yang diwariskan namun tidak ada yang bisa menterjemahkan isi tulisan. Dan sesuai firasat yang diperoleh dia harus pergi ke sebelah timur. Ia juga menceritakan musibah yang terjadi di tengah laut, kapalnya diterjang badai hingga semua barang yang ada di dalamnya hilang termasuk kitab yang di bawanya.

Setelah mendengarkan cerita dari Sultan, Sunan Bonang mengambil benda dari dalam kepis. Sambil menunjukkan sesuatu, ia bertanya apa betul itu kitab yang Sultan maksud. Ternyata benar. Kitab itu merupakan kitab yang hilang ketika kapal Sultan tenggelam. Dengan rasa heran dan tak percaya, Sultan bertanya bagaimana benda itu bisa sampai di tangan Sunan Bonang. Sunan Bonang pun bercerita bahwa orang yang mencari ikan itu adalah beliau sendiri dan ketika mencari ikan itu ia menemukan kitab tersebut dan dimasukkan ke dalam kepis.

Singkat cerita, dengan bantuan Sunan Bonang, kitab tersebut bisa diterjemahkan dan dipelajari oleh Sultan Mahmud. Selanjutnya Sunan Bonang membawa Sultan Mahmud ke sebuah hutan untuk bertapa dengan berdiri dan terdiam. Di tempat itu Sang Sultan pun ditinggalkan sendiri oleh Sunan Bonang. Sebelum pergi, Sunan menanam 2 buah biji asem di antara tempat Sultan Mahmud berdiri dengan pesan agar Sultan tidak boleh beralih atau pergi sebelum beliau kembali. Selang beberapa waktu, Sunan Bonang kembali menemui Sultan Mahmud. Pada saat itu biji Asem yang ditanam telah tumbuh besar dan berbuah. Tetapi anehnya Sultan hanya merasa ditinggalkan antara waktu dhuhur sampai ashar akhir mendekati Maghrib atau sekitar 5 jam.

Selesai bertapa Sultan Mahmud diperintahkan kembali ke Minangkabau. Tetapi Sultan Mahmud menolak karena merasa betah tinggal di Bonang. Selanjutnya sang patih diperintahkan untuk menjemput istri Sultan yang bernama Siti Asiyah dari Minangkabau untuk tinggal mendampingi suaminya di Bonang sampai akhir hayatnya.

Setelah meninggal, Sultan Mahmud dan Istrinya dimakamkan berdampingan di dekat pertapaan diantara kedua pohon asem, yang saat ini dikenal dengan Jejeruk berasal dari kata Jejer=berdiri dan teruk-teruk =terdiam.

Cerita itu dituturkan Mbah Ahmad sang juru kunci situs Sunan Bonang. Sunardi (50) warga setempat menambahkan bahwa situs tersebut sangat dihormati oleh penduduk setempat dan warga senantiasa menjaga hutan sekitarnya tetap lestari.

“Di sana ada pantangan yang harus ditaati, yaitu pengunjung tidak boleh mengganggu tanaman atau lingkungan. Dan untuk perempuan yang sedang datang bulan tidak diperkenankan untuk naik dan masuk di lokasi makam Jejeruk”, ujarnya. (Humas Kebonharjo/DJ).

]]>