inspirasi – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Wed, 27 Sep 2017 02:47:28 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png inspirasi – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Slamet Dan Inovasi Warna Ukiran Madura https://stg.eppid.perhutani.id/slamet-dan-inovasi-warna-ukiran-madura/ Wed, 27 Sep 2017 02:47:28 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=49453 Suara gergaji dan palu bukan hal yang asing bagi penduduk Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep. Dikenal sebagai desa ukir karena sebagian besar warganya berprofesi sebagai pengrajin kayu dan masyarakatnya percaya hal itu merupakan warisan turun temurun.

Ukiran pada kursi, meja, hiasan dinding yang berwarna-warni khas Sumenep tersebut salah satunya dihasilkan oleh Slamet Riyadi pemilik usaha kerajinan kayu di desa Karduluk.

Awalnya Slamet bekerja sebagai buruh pengrajin selama lima tahun dengan hasil karya yang terkenal unik dan rapi. Hingga tahun 1987 ia memberanian diri membuka usaha pembuatan furnitur dan handycraft dengan modal  Rp 40 juta dengan Rp 2 juta per bulan. Pesanan seringkali tidak dapat dipenuhi karena kurangnya modal untuk membeli bahan baku dari luar kota dan tenaga kerjanya kurang. Tantangan lain pesaing usaha ukiran sangat banyak di daerahnya.

Ditengah keputus-asaan itu, Slamet mendapat informasi bahwa Perhutani menyediakan pinjaman melalui Program  Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang saat itu bernama  Program Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK).  Pada tahun 1995 ia mendapat pinjaman modal Rp 5 juta melalui Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madura dengan bunga yang relatif kecil. Dari modal tersebut Slamet semakin mengembangkan usaha dan termotivasi membuka lapangan kerja bagi warga Desa Karduluk.

Upayanya membuahkan hasil, tahun 2002 usahanya mendapat penghargaan Mitra Binaan Teladan dari Kemeterian Kehutanan. Tidak itu saja, inovasi-inovasi mulai dilakukan dan ia kerap mengikuti pameran tingkat nasional.

Atas upayanya yang gigih dan disiplin mengembalikan pinjaman, Perhutani memberikan kembali pinjaman PKBL  sebesar Rp 20 juta tahun 2003 dan Rp. 25 juta pada tahun 2011.  Omset penjualannya kini mencapai Rp 410 juta dengan keuntungan bersih rata-rata Rp 55 juta per tahun.

Slamet mengakui bahwa bantuan modal dari PKBL Perhutani sangat bermanfaat bagi usahanya.  Selain menuai keuntungan, ia juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi warga di desanya sebagai pengrajin ukiran kayu.

” Usaha apa saja selalu ada pasang surutnya. Intinya harus banyak bersabar dan bertawakal, selain harus penuh inovasi dan selalu memastikan kualitas produk kita agar tidak kehilangan kepercayaan konsumen,” demikian Slamet menyampaikan resep suksesnya. (Kom-PHT/2017.9.2/Insp/Adl)

]]>
Perputaran Hewan Ternak ala LMDH Wono Salam https://stg.eppid.perhutani.id/perputaran-hewan-ternak-ala-lmdh-wono-salam/ Tue, 05 Apr 2016 04:09:15 +0000 http://perhutani.co.id/?p=35409 webKerja sama dan gotong royong adalah budaya kita sejak zaman dulu. Itu adalah warisan leluhur. Tetapi, saat ini terkesan seolah-olah pola kerja sama, musyawarah, dan gotong royong itu kian sulit ditemukan di masyarakat kita. Maka, pola kerja sama pengelolaan hewan ternak yang dilakukan LMDH Wono Salam patut ditepuktangani. Seperti apa kerja sama peternakan ala LMDH yang berada di bawah koordinasi KPH Madiun itu?

Namanya Djumali. Lelaki paruh baya yang lahir di Madiun, 17 Desember 1949 itu sudah dua periode mengetuai LMDH Wono Salam. LMDH Wono Salam sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 2003. Tetapi, yang menarik dari LMDH Wono Salam ini adalah Koperasi dan Unit Peternakan yang mereka kelola sejak 2012. Jenis hewan yang mereka ternakkan adalah sapi dan kambing. Apanya yang menarik?

Djumali menuturkan, anggota LMDH Wono Salam berjumlah 103 orang. Untuk peternakan, hewan ternak mereka tidak dikumpulkan di satu tempat, atau dalam satu rumah atau satu area tertentu. Namun, masing-masing hewan ternak itu dipegang atau diperlihara oleh masing-masing anggota LMDH. Hewan-hewan ternak tersebut hanya dikumpulkan di satu tempat ketika ada acara penyuntikan vaksin atau pemberian vitamin. Selanjutnya, hewan-hewan ternak tersebut dikembalikan lagi kepada masing-masing peternaknya.

“LMDH Wono Salam ini anggotanya ada 103 orang, namun belum semua memiliki kambing dan sapi. Pemeliharaan hewan ternak itu akan di-rolling setelah membuahkan hasil,” kata Djumali.

Nah, inilah yang menarik. Pola pemeliharan hewan ternak yang mereka pilih adalah dengan kerja sama serta gotong royong. Semangat kebersamaan membuat mereka melakukan perputaran pemeliharaan hewan ternak di antara anggota LMDH setelah sang hewan ternak memberikan hasil. Sehingga, diharapkan semua anggota LMDH akan merasakan pemeliharaan hewan ternak tersebut.

LMDH ini punya koperasi yang memiliki pengerusan tersendiri. Nama koperasinya sama dengan LMDH. Kebetulan saat ini yang menjadi ketua adalah anak pertama Djumali. Oya, Djumali sendiri punya 6 anak, 2 orang putra dan 4 orang putri.

“Usaha ternak dan koperasi LMDH ini sudah berjalan 3 tahun, sejak sekitar tahun 2012. Bahkan sebenarnya sudah ada dari tahun 2003, namun waktu itu belum berbadan hukum. Di dalam mengelola ternak yang dilepas ke masing-masing Anggota LMDH ini kami memiliki sub unit dan pengurus tersendiri yang bertugas untuk mengontrol ke masing-masing anggota. Jadi, kalau ada hewan yang sakit, segera bisa dilaporkan dan nanti akan dilanjutkan ke mantri yang biasa memeriksa hewan di sini. Sehingga, hewan ternak yang sakit itu bisa segera ditangani dan diobati,” tutur suami dari Katira ini pula.

Digandeng Perhutani

Setelah dua tahun LMDH Wono Salam berdiri, Djumali dan rekan-rekannya merasa perlu untuk mengembangkan organisasi mereka ke arah yang lebih serius. Mereka berpikir untuk membentuk koperasi. Koperasi itu akan memberikan peluang bagi pengembangan usaha mereka menjadi kian besar.

Maka, mereka pun perlu tambahan modal. Juga pembinaan agar usaha mereka kian terarah. Pilihan pun jatuh kepada Perum Perhutani.

“Setelah 2 tahun berdirinya LMDH ini, kami mengajukan pinjaman kepada Perhutani. Lalu kami pun menerima pinjaman dari Perhutani. LMDH ini sudah 3 kali menerima pinjaman dari perhutani. Pinjaman pertama, kami mendapatkan 7,5 juta rupiah. Untuk yang kedua, kami mendapatkan 15 juta rupiah. Dan yang terakhir ini 20 juta rupiah. Tahun ini, kami akan mengajukan lagi pinjaman dana sekitar 50 juta rupiah, namun masih dalam peroses pengajuan,” kata Djumali.

Djumali mengisahkan, dana dari hasil pinjaman yang pertama tersebut sebagian dialokasikan ke pupuk bokashi dan sebagian lagi untuk usaha koperasi. Untuk alat pembuat pupuk bokashi, mereka mendapatkan bantuan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Madiun.

Sesungguhnya, pupuk bokashi merupakan awal mula usaha yang mereka rintis. Ini adalah jenis usaha mereka yang pertama. Namun, mereka mengalami kesulitan dalam hal pemasarannya. Sebab, menurut Djumali, harga jual pupuk bokashi ternyata tak menutup biaya produksi.

“Untuk pupuk bokashi ini, sebenarnya kalau kami sesuaikan secara kaku dengan formula yang kami buat, tidak menutup modal dengan harga di pasaran. Sementara pemerintah, dalam hal ini Pupuk Gresik yang memproduksi pupuk organik, bisa menjual pupuk organik itu dengan harga di bawah kita, karena mereka mendapatkan subsidi dari pemerintah. Seandainya subsidi itu beralih kepada kita sebagai rakyat kecil, mungkin pupuk bokashi ini akan terus berjalan sesuai dengan yang kami harapkan,” ujarnya.

Kesulitan memasarkan pupuk bokashi dengan harga yang pantas agar dapat menutup biaya produksi itulah yang membuat usaha tersebut mandek di tengah jalan. Tak putus asa, LMDH Wono Salam lalu mencoba usaha lain, yaitu koperasi dan ternak. Pilihan itu lalu dijalani bersama.

“Awal mulanya memang kami diberikan pembinaan oleh Perhutani untuk pupuk bokashi.  Waktu itu, pemasaran pupuk bokashi ini memang untuk Perhutani. Sebab, di sini kan terdapat tempat persemaian bibit. Seluruh wilayah se-KPH Madiun menggunakan pupuk bokashi produksi LMDH ini, bahkan sampai ke Ponorogo. Jadi, sebenarnya usaha pupuk bokashi ini tidak berhenti total, tetapi hanya untuk konsumsi di sekitar kita saja,” kata Djumali pula.

Rolling Usai Melahirkan

Menurut Djumali, koperasi LMDH Wono Salam ini untuk sementara masih dalam bentuk simpan-pinjam. Sedangkan peternakan, pola perputaran pengelolaan hewan ternak yang mereka jalankan telah berlangsung dengan baik.

“Untuk kambing, semula kita tidak membeli dalam jumlah banyak. Dulu kita beli 5 ekor, sekarang sudah sekitar 14 ekor. Yang sapi juga sama. Kebetulan belum lama ini baru saja lahir,” ujarnya.

LMDH mereka mengadakan perkumpulan di setiap satu bulan sekali. Tukar menukar informasi dan sumbang saran penyelesaian kesulitan dalam pengelolaan ternak mereka lakukan di pertemuan itu. Di dalam pertemuan tersebut, mereka secara rutin menghadirkan Asper dan Mantri untuk memberikan pembinaan kepada seluruh Anggota koperasi. Dari rangkaian pertemuan bulanan itulah mereka selalu menerima informasi terkait PKBL.

“Nah, dari perkumpulan bulanan itu, kami selalu mendapat informasi tentang PKBL ini. Sebab, Asper ataupun Mantri sering memberikan berita-berita terbaru,” ucapnya.

Khusus untuk peternakan, mereka sudah menerapkan aturan yang menarik. Jika pengurus LMDH memberikan sapi atau kambing kepada anggotanya untuk diperlihara, maka hewan ternak tersebut akan dibawa oleh anggota yang bersangkutan ke rumahnya untuk dirawat.

Tetapi, jika nanti kalau hewan tersebut hamil dan melahirkan, maka pengurus LMDH nanti akan mengambil kembali. Kepada anggota yang telah memelihara hewan tersebut, diharuskan untuk memilih, apakah mau mengambil anaknya yang baru dilahirkan itu atau induknya, untuk tetap mereka pelihara. Jika sang anggota yang telah memelihar hewan tersebut memilih untuk mengambil anaknya, maka pengurus LMDH akan mengambil induknya untuk kemudian akan mereka rolling atau putar ke anggota yang lain.

“Tetapi anggota yang sebelumnya memelihara hewan tersebut harus membayar uang kas dulu sebesar 25% dari harga jual hewan tersebut. Banyaknya 25% ini merupakan hasil musyawarah anggota dan selalu mengikuti harga pasar. Jadi kalau harga pasaran seekor sapi itu kisarannya 8 juta rupiah, berarti mereka harus bayar uang kas sekitar 2 juta rupiah. Seandainya 25% ini tidak ada, maka modal kita tidak akan bertambah terus,” kata Djumali.

Menurut Djumali, sebelum ada dana PKBL, masyarakat setempat menjalankan usaha tanam tumpang sari di lahan Perhutani. Tanaman yang ditanam dengan pola tumpang sari itu misalnya kacang, jagung, kedelai, dan ketela pohon. Hasilnya cukup lumayan juga.

“Untuk hasil dari tanaman tumpang sari ini, saya tidak bisa menghitung secara pasti besarannya berapa, tetapi semenjak kami bermitra dengan Perhutani, ada perbedaan yang jelas kami rasakan. Kalau dulu masih ada anggota LMDH yang anak-anaknya masih bersekolah hanya sampai tingkat SD atau SMP karena terkendala biaya, sekarang sepertinya sudah tidak ada. Sudah selesai semua sekolahnya minimal sampai lulus SMA. Jadi untuk kebutuhan sehari-hari, makan dan lauk pauk, itu sudah bisa dicukupi dari hasil tumpang sari lahan perhutani tersebut,” ujarnya.

Djumali pun menyebut, pihaknya sangat berbahagia dengan adanya dana PKBL. Menurut dia, dana PKBL sangat membantu mereka mengembangkan usaha dan mengejar harapan.

“PKBL ini bagus, karena bunga pinjamannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan bank-bank konvensional. Namun, kekurangannya adalah waktu turunnya dana ini yang lumayan lama, tidak seperti di bank yang langsung cair. Hal ini menjadi kekurangan PKBL, karena terkadang kita butuh dana cepat agar bisa mengembangkan usaha kita,” ujarnya sambil tersenyum.

Toh masih ada harapan yang terselip dari sela bibirnya. Apa itu? Harapan kita ke depan, semua anggota LMDH ini masing-masing bisa memelihara ternak itu. Sehingga, sistem rolling sudah tidak diperlukan lagi. Jadi kalau sudah tidak ada rolling, akan semakin besar nilai tambahnya,” kata Djumali.

Sebuah harapan sederhana, sebenarnya. Semoga segera terwujud. Dan Djumali pun kembali tersenyum. DR

]]>
Sriyatin Dihatiku https://stg.eppid.perhutani.id/sriyatin-dihatiku/ Sat, 01 Nov 2014 08:49:15 +0000 http://perhutani.co.id/?p=15459 syiatin

Kom-PHT/Kanpus @2014

Sriyatin. Nama itu bagi pedagang ayam pasar Ngawi, penjual sayuran keliling, bahkan pemilik resto, tidak asing. Sebuah poster “Sriyatin Ayam Potong” ukuran lumayan panjang menurut teras sebuah rumah di Dusun Pancuran, Padas, Kabupaten Ngawi. Nyamiran, pria 34 tahun yang bertempat tinggal di RT 01 RW 04, Dusun Pancuran, Desa Pancing, Padas, Ngawi adalah pemiliknya.

Sebagai peternak ayam potong yang ulet dan ramah, ia merintis usaha sejak 2004. Sepuluh tahun lalu bersama sepuluh orang warga desa usaha kelas kampong itu dimulai. Bermodal awal Rp 2 juta, Nyamiran mulanya “nebeng” peternak lain dengan cara menitipkan 500 ekor ayamnya. Ketika beberapa peternak mulai ambruk dan gulung tikar, Nyamiran justru mampu bertahan dan semakin maju. Bahkan ia bisa mendirikan kandang di tanah milik keluarga seluas 1 ha.

Alasan menggeluti ternak ayam potong sederhana. Lebih cepat menghasilkan uang. Ayam petelur butuh enam bulan menghasilkan telur. Ayam potong hanya butuh 30 hari sampai 45 hari siap potong dan dijual. Bibit ayamnya dibeli dari Magetan. Pakannya jagung digiling dan dicampur dengan pur. Untuk 100 ekor ayam dibutuhkan enam sak atau 300 kg pakan. Tiga minggu sekali Nyamiran membeli sedikitnya 150 kg sak pakan ayam masing-masing berisi 50 kg seharga Rp 50 juta.

Harga ayam potong kini Rp15 – 22 ribu per kg. Dalam sehari, Nyamiran menerima pesanan ayam potong rata-rata dua sampai lima kuintal. Pada hari-hari besar atau musim hajatan pesanan mencapai delapan sampai sepuluh kuintal. Dalam satu tahun, sedikitnya Nyamiran panen ayam potong 20 kali dengan jumlah 2.000 ekor ayam sekali panen. Omzetnya mencapai Rp 180 juta. Apabila dirata-rata keuntungan bersihnya Rp 9 juta setiap kali pane. Dibantu dua orang pekerja tetap dengan upah Rp 1,2 juta per bulan. Ia juga mempekerjakan pekerja lepas dua sampai empat orang yang membantu pemotongan ayam dengan upah Rp 40 ribu per hari.

Info-info PKBL terbatas saat itu. Kebetulan saja ayah mertuanya adalah Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sehingga ia bisa mendapat informasi yang cukup. Pinjaman dari Perhutani Ngawi itu termasuk kecil untuk usaha ternak ayam, tetapi menurutnya sangat membantu. Mendirikan sebuah kandang saja diperlukan biaya Rp 20 – 30 juta. Namun tanpa bantuan PKBL maka usaha yang dibangun dari nol ini akan semakin kekurangan modal dan tidak mampuberkembang seperti sekarang.

Nyamiran mengakui bahwa PKBL sangat berperan membantu permodalannya sejak tahun 2007 sampai sekarang. Sebagai mitra Perhutani, ia memperoleh pinjaman awal sebesar Rp 5 juta, lunas 2010. Pinjaman kedua Rp 20 juta yang pelunasannya masih berjalan hingga akhir 2014. Mengaku pernah meminjam bank sebesar Rp 40 juta, ia harus menerima konsekuensi bunga angsuran per bulannya lebih berat dibandingkan pinjaman dari Perhutani Ngawi. Harapannya, dana PKBL dapat memberikan pinjaman lebih besar dari yang sekarang ini. Supaya peternak kecil di kampong-kampung terbantu semua dari BUMN.

Kini, Nyamiran punya lima kandang. Tiga dibangun sebelum mendapat PKBL, dua kandang setelah mendapat PKBL. Usahanya makin berkembang. Nama “Sriyatin Ayam Potong” setia digunakan untuk usaha. Terpampang di depan rumah. “Nama Sriyatin itu ada di hati saya. Dia mitra kerja sekaligus isteri saya”, demikian Nyamiran mengakhiri wawancara sambil menimbang ayam potong.

Oleh : Soesi Sastro

Sumber : Majalah PKBL Action, No. 25, Th II Oktober

]]>
Serba Cantik Dari Tasik https://stg.eppid.perhutani.id/serba-cantik-dari-tasik/ Mon, 15 Sep 2014 01:05:03 +0000 http://perhutani.co.id/?p=13918 10-PKBL-Serba cantik tasik

Dok.Kom-PHT @2014

Tasik identic dengan border. Sulaman pada ujung kebaya, mukena, taplak meja dan semua bahan kain itu tidak asing bagi perempuan Indonesia. Kreativitas warga Tasik ternyata lebih dari itu. Kita bisa menemukan anyaman bamboo, rotan, pandan, dan sebagainya di sudut-sudut kota sampai pinggiran dan pelosok.

Sebut saja di Rajapolah Tasikmalaya ada Nia Yuliani. Sarjana Pertanian ini adalah contoh wirausahawan yang sukses mengelola kerajinan Tasik dari nol.

Dimulai tahun 1991, Nia dan Dadan suaminya, hanya coba coba-coba berdagang barang kerajinan. Awalnya ia membuat sendiri untuk buah tangan (handycraft). Karena ulet dan selalu mempertahankan kualitas barang, maka toko Nia selalu diserbu pelanggan. Perajin lain tak mau ketinggalan. Tokonya menjadi incaran perajin untuk menitipkan barang-barang kerajinan handycraft. Tentu saja, kualitas menjadi persyaratan penting bagi calon pemasok toko Nia.

Handycraft di toko Nia tidak saja diminati turis domestic tetapi juga turis asing. Ia bahkan pernah ekspor tas dan sandal daun pandan ke Jepang dan Prancis. Baru- baru ini juga ekspor alat music angklung ke Australia.

Dibantu tiga karyawan, dengan upah minimal Rp. 1.250.000. Nia bekerjasama dengan 40 orang perajin handycraft di Tasikmalaya. Mereka pemasok barang ke “Yukka handycraft” toko milik Nia. Bermacam barang kerajinan kini tersedia. Tas anyaman, sandal, tempat tisu, dan peralatan rumah tangga berbagai model tersedia. Harga handycraft dipatok mulai Rp. 3.000 sampai Rp. 120.000. Penghasilan bersih tokonya belum termasuk cabang di Garut dan Cirebon mencapai minimal Rp. 20 juta per bulan.

Memberikan manfaat kepada orang lain adalah keinginan Nia dari dulu. Minimail ia bisa menjadi wadah pengrajin desanya dalam memasarkan produk. Selain ada nilai tambah barang kerajinan buatan local, ada lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Ditanya resep suksesnya, perempuan dua putri ini tersipu buka rahasia. “Ini kontribusi Perhutani. Saya Mitra Binaan Perhutani Tasikmalaya. Saya dapat pinjaman murah meriah PKBL tahun 2009, Rp. 7 juta. Setelah lunas dapat pinjaman lagi Rp. 10 juta. Sudah lunas tahun 2012. Terakhir saya pinjaman agak besar, Rp. 25 juta. Ini masih jalan sampai 2015. PKBL Itu enak, tidak repot ngurus macam-macam. Modalnya kepercayaan saja. Memang saya layak dipercaya, makanya dapat beberapa kali”.

Sebelum mendapat PKBL, Nia mengaku usahanya belum berkembang seperti sekarang. Pinjaman Perhutani digunakan untuk pengembangan usaha. Ia mumbuka cabng di Asia Plaza Tasikmalaya, Asia Toserba Garut, dan Asia Toserba Cirebon. Karena permintaan mengalir terus, Nia mengaku ingin melebarkan sayap ke Sumedang dan kota lain apabila memungkinkan, tetapi hitung-hitungan musti matang.

Nia berharap melalui PKBL bisa ikut pelatihn-pelatihan praktis dan pameran-pameran untuk menambah pengalamannya berwirausaha. Syukur-syukur suatu saat bisa bertemu Bapak/Ibu Presiden, duh senangnya ya bisa memamerkan yang serba cantik dari Tasik,” demikian Nia menutup perjumpaan.

Penulis  : Soesi Sastro

Sumber : PKBL Action No. 23 Tahun II Agustus 2014

]]>