#kphbandungselatan – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Tue, 31 Oct 2017 03:55:46 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png #kphbandungselatan – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Pelelangan Umum Pembangunan dan Pengelolaan Kawasan Edu-Agroforest Resort di WW Wisata Ranca Upas KPH Bandung Selatan Divisi Regional Jawa Barat dan Banten https://stg.eppid.perhutani.id/pelelangan-umum-pembangunan-dan-pengelolaan-kawasan-edu-agroforest-resort-di-ww-wisata-ranca-upas-kph-bandung-selatan-divisi-regional-jawa-barat-dan-banten/ Tue, 31 Oct 2017 03:55:46 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=50480

]]>
Dirut Perhutani Siapkan Lokasi Perhutanan Sosial di Bandung Selatan https://stg.eppid.perhutani.id/dirut-perhutani-siapkan-lokasi-perhutanan-sosial-di-bandung-selatan/ Wed, 19 Jul 2017 14:10:47 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=48403

Dok.Kom-PHT/ Kanpus ©2017


JAKARTA, PERHUTANI (19/7/2017) | Direktur Utama Perum Perhutani, Denaldy M Mauna dampingi Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar melakukan kunjungan kerja ke lokasi agroforestry tanaman kopi dan pinus sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dikelola Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Bukit Monteng di petak 54, RPH Mandalawangi, BKPH Ciparay, KPH Bandung Selatan, pada Selasa (18/7/2017).
Menurut Denaldy, kunjungan bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut dalam rangka menyiapkan lokasi Perhutanan Sosial seluas 1.888 Ha di kawasan hutan lindung Gunung Rakutak, Perhutani Bandung Selatan yang rencananya akan diberikan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) blok Gunung Rakutak oleh pemerintah kepada masyarakat.
Saat ini 808 orang  masyarakat dari desa Ibun, Neglasari, Nagrak, Dukuh, Cikawao, Sukarame, dan Mandalahaji Kecamatan Ibun dan Pacet telah menggarap lahan hutan tersebut.
Menurut Siti Nurbaya, untuk lokasi PHBM sudah bagus, diharapkan ke depan bisa tetap dilanjutkan sedangkan untuk IPHPS akan diarahkan ke lokasi blok Rakutak tersebut.
Data luasan perhutanan sosial di pulau Jawa mulai dari Banten, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur total luasan mencapai 1.127.073 Ha. (Kom-PHT/PR/2017-VI-32)
]]>
Pasar Murah Perhutani Untuk Warga Pasir Jambu Bandung Selatan https://stg.eppid.perhutani.id/pasar-murah-perhutani-untuk-warga-pasir-jambu-bandung-selatan/ Thu, 15 Jun 2017 12:45:41 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=47658

Dok.Kom-PHT/ Kanpus ©2017

BANDUNG SELATAN, PERHUTANI (15/6) | Perum Perhutani melalui Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan mengadakan kegiatan Pasar Murah Ramadhan 1438H di Desa Margamulya Kecamatan Pasir Jambu, Bandung, Rabu (14/6).

Sekitar 170 warga desa hutan Margamulya yang umumnya adalap para penyadap getah pinus antusias ke lokasi pasar murah untuk mendapatkan paket sembako yang berisi 10kg beras, 2 liter minyak goreng dan 2 kg gula pasir seharga Rp 150.000,- dan hanya dibeli seharga Rp 25.000,-.

Wakil Administratur KPH Bandung Selatan, Hendrawan menyatakan bahwa kegiatan pasar murah tersebut merupakan wujud kepedulian Perhutani membantu warga menjelang lebaran..

“Hasil penjualan paket sembako langsung kami sumbangkan ke Masjid Babul Falah Ciwidey, Desa Margamulya, Kecamatan Pasirjambu, Bandung,” kata Hendrawan.

Hadir Camat Pasir Jambu Purnama bersama warga dalam acara pasar murah yang meriah di tengah bulan puasa ramadhan tersebut.

“Saya mengajak seluruh masyarakat desa hutan Margamulya untuk berperan serta mendukung Perhutani dalam menjaga kelestarian hutan”, ungkap Purnama (Kom-PHT/Bds/Ifni)

Editor : Soe
Copyright ©2017

]]>
Rajamandala, Keindahan Terpendam https://stg.eppid.perhutani.id/rajamandala-keindahan-terpendam/ Mon, 21 Nov 2016 01:29:56 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=42584 img8-2PIKIRAN RAKYAT (19/11/2016) | Kawasan Rajamandala dan kawasan Sungai Citarum menjadi lokasi menyimpan keindahan alamnya yang merupakan unsur lokasi perkebunan, hutan, aliran air, dan telaganya. Kawasan yang kini menjadi lintasan ke Bendungan Saguling tersebut menyimpan potensi kebangkitan seperti zaman jayanya dahulu.
Adalah lokasi Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro serta Perkebunan Rajamandala yang masih menjadi daya tarik kawasan Rajamandala. Apalagi dengan lokasi yang cukup dekat dari Bandung, kawasan Rajamandala masih menjadi tempat bagi masyarakat untuk menikmati keindahan alam dengan suasana tenang serta sejuk.
Berdasarkan sejumlah catatan, keindahan kawasan Rajamandala juga sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda sampai tahun 1942 lalu. Sejumlah orang Eropa sering berjalan-jalan ke kawasan Rajamandala dengan menikmati Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro dengan lintasan asri di Perkebunan Rajamadala, lalu ke Cisameng, Gunung Guha, dan Cihea. Pesona kawasan Rajamandala dicatat orang Belanda, SA Reitsma dan VVH Hoogland, dalam bukunya, Gids van Bandoeng en Midden Priangan, diterbitkan tahun 1927 yang arsipnya disimpan dalam Colonial Architecture Town Planning yang diinisiasi Technische Universiteit Delft, Belanda. Mereka mengisahkan kenangannya, di mana orang-orang Eropa dari Bandung yang menuju Rajamandala untuk menikmati kawasan Sanghiang Tikoro merupakan sebutan warga pribumi orang-orang Sunda yang artinya adalah “tenggorokan” Sungai Citarum.
Disebutkan, pada masa-masa itu, para pelancong yang berasal dari Bandung menuju ke kawasan Sanghiang Tikoro biasanya menggunakan angkutan kereta api dengan berhenti di Stasiun Rajamandala. Dari situ, para pelancong menggunakan angkutan sado dengan menempuh waktu selama setengah jam lalu ke selatan melintasi Jalan Raya Rajamandala Bandung-Cianjur.
Perjalanan terus melewati Perkebunan Rajamandala yang saat itu mengusahakan komoditas karet dan teh. Tepian Perkebunan Rajamandala juga sering menjadi tempat pangulinan serta tempat janjian berkumpul orang-orang yang akan berlibur menuju Sanghiang Tikoro.
Disebutkan, ada pula para pelancong dari Bandung yang menggunakan mobil dengan melintasi Jalan Raya Cipatat Bandung-Cianjur. Memasuki KM 36 dari Bandung di kawasan Rajamandala, berbelok ke kiri menuju Perkebunan Rajamandala.
Dari Perkebunan Rajamandala, perjalanan kemudian melintasi Desa Cisameng yang merupakan sumber belerang dengan dilintasi Sungai Cisameng. Orang-orang Eropa mengetahui, belerang di desa tersebut memiliki manfaat untuk pengobatan, apalagi memunculkan sumber mata air panas yang suhunya sampai 50 s.d 100 derajat Celsius.
Mereka menceritakan, orang-orang Eropa menikmati air panas di Desa Cisameng, umumnya melihat adanya saluran air panas melalui pipa terbuat dari bambu yang dialirkan di antara batu-batu besar. Air hangat tersebut dialirkan ke kamar mandi kecil yang alas maupun temboknya dibuat dari susunan batu-batu kecil. Begitu pula orang-orang pribumi, memanfaatkan aliran air hangat dari pipa bambu tersebut untuk mencuci dan berendam menyembuhkan penyakit.
Di antara kawasan tersebut, katanya, orang-orang Eropa sering asyik keluar masuk gua yang berada di lokasi itu. Kawasan alam .yang berdaya tarik berada di sekitaran Sanghiang Tikoro dan Desa
Cisameng yang dinilai lengkap dengan suasana alam perkebunan, mata air, dan sumber air panas.
Disebutkan pula, pada masa itu pinggiran Sungai Cisameng berikut suasana perkampungan yang dikelilingi pegunungan, merupakan tempat mengasyikkan bagi orang-orang Eropa yang berwisata dengan berjalan-jalan menaiki kuda. Rute berjalan-jalan menggunakan kuda rata-rata 20 menit, kemudian tujuan akhir adalah kembali ke Perkebunan Rajamandala untuk kemudian pulang ke Bandung.
Kini di tahun 2016, kawasan Sanghiang Tikoro dan Sanghiang Heuleut berada pada wilayah Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan, sedangkan Perkebunan Rajamandala adalah bagian Kebun Panglejar dengan dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII. Perkebunan Rajamandala yang kini mengusahakan tanaman karet seluruhnya, sebelumnya sempat melekat dengan ikon pengusahaan tanaman kakao.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan Cjurrota Ayun, Yono Sutrisno yang kesehariannya berada di lingkungan Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro, menyebutkan, alam indah kawasan tersebut diketahui dunia, walau belum kembali menggebyar sebagai kawasan wisata. Setiap hari Sabtu dan Minggu biasanya puluhan orang sering bermain-main ke Sanghiang Heuleut, misalnya asal Eropa, Korea, Jepang, serta sejumlah pelancong lokal asal Bandung dan sekitarnya.
Pada hari Sabtu dan Minggu, katanya, cukup lancar menempuh perjalanan memasuki gerbang kawasan Waduk Saguling dari Jalan Raya Rajamandala. Walaupun di pertigaan ada pasar tradisional, hari pasar bukanlah hari Sabtu dan Minggu, tetapi Senin, Rabu, dan Jumat.
Asper Rajamandala Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan Perum Perhutani, Harry Soedjana mengatakan, kawasan tersebut dianggap sebagai keindahan alam yang terpendam, tetapi belum sepenuhnya dikelola secara bisnis. Lokasi Sanghiang Heuleut berada di atas kawasan Sanghiang Tikoro, dalam suasana musim kemarau airnya berwama hijau indah sehingga seringkali kedua lokasi itu mirip Grand Canyon di Pangandaran.
 
Sumber : Pikiran Rakyat, hal. 22
Tanggal : 19 November 2016

]]>
Kopi, Komoditas Kebanggaan RI di Tingkat Global https://stg.eppid.perhutani.id/kopi-komoditas-kebanggaan-ri-tingkat-global/ Wed, 17 Aug 2016 16:44:13 +0000 http://perhutani.co.id/?p=39503 MEDANBISNISDAILY.COM, JAKARTA (16/8/2016) | Komoditas kopi merupakan salah satu yang layak menjadi kebanggaan Republik Indonesia (RI) di tingkat global karena telah lama dikenal bahwa produk kopi asal nusantara memiliki kualitas tingkat tinggi.

“Kopi Indonesia berkelas internasional dan semestinya bisa lebih dibanggakan masyarakat Indonesia,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron di Jakarta, Senin (15/8).

Politisi Partai Demokrat itu juga mengemukakan, berdasarkan data yang dihimpun Komisi IV DPR, penghasil terbesar dari komoditas tersebut terletak di area Perhutani.

Apalagi, di Indonesia juga dikenal memiliki sekitar dua juta petani kopi dan merupakan salah satu penyumbang komoditas pertama sektor pertanian.
Namun, ada sejumlah permasalahan yang ditemui terkait pengembangan kopi antara lain adalah tingkat konsumsi yang terus meningkat namun produksinya menurun.

Untuk itu, Herman menginginkan adanya peta jalan yang tepat dalam menjabarkan rencana strategis ke depannya dalam menyosialisasikan kopi nusantara.

Sebelumnya, Duta Besar RI untuk Malaysia Herman Prayitno menyatakan, penyelenggaraan festival kopi Indonesia di luar negeri memberikan dampak positif tidak saja pada sektor perdagangan produk tersebut, namun turut mendorong peningkatan pariwisata daerah-daerah penghasil perkebunan.

“Memperkenalkan aneka produk kopi Indonesia ke mancanegara tentu diharapkan ekspornya dapat meningkat. Bahkan turut pula mempromosikan sektor pariwisata di Tanah Air kepada masyarakat dunia,” kata Herman saat membuka “Indonesia Coffee Festival” di Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (12/8).

Disampaikannya, “Indonesia Coffee Festival” yang pertama ini adalah usaha untuk memperkenalkan kopi Indonesia yang beragam kepada masyarakat Malaysia dan korps diplomatik.

Kopi Gayo dari Provinsi Aceh, Kopi Malabar dari Jawa Barat, Kopi Bali dan Kopi Toraja dari Sulawesi, serta Kopi Flores dari Nusa Tenggara Timur merupakan kopi yang diperkenalkan kepada para tamu dan pengunjung yang hadir dalam dua hari kegiatan Indonesia Coffee Festival tahun ini.

Menurut dia, melalui festival ini, masyarakat dunia tidak saja disuguhkan aneka produk kopi terbaik yang diproduksi dari sejumlah daerah dari bagian barat hingga bagian timur Indonesia.

Tapi juga dikenalkan lokasi perkebunan kopi terbaik di Tanah Air. Apalagi nantinya para penikmat kopi Indonesia dapat melakukan perjalanan wisata ke sentra produsen kopi di Tanah Air. (ant)

Tanggal : 16 Agustus 2016
Sumber : Medanbisnisdaily.com

]]>
Wihh… Kopi Wanoja Kabupaten Bandung Menasional https://stg.eppid.perhutani.id/wihh-kopi-wanoja-kabupaten-bandung-menasional/ Fri, 12 Aug 2016 03:41:31 +0000 http://perhutani.co.id/?p=39382 POJOKSATU.ID, BANDUNG (10/8/2016) | Walaupun hanya menyabet juara kedua, namun Eti mengaku sangat bangga. Pasalnya peserta yang turut serta dalam ajang tersebut berjumlah ratusan yakni 280 peserta dari seluruh Indonesia.

“Dari Jawa Barat saja pesertanya ada 49. Alhamdulillah bisa menjadi juara,” tutur eti, Selasa (9/8/2016) di Soreang.

Eti mengatakan, kopi Arabika yang dikembangkan kelompoknya ini, dari mulai penanaman hingga pengolahan dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga hasilnya pun sangat memuaskan. Jenis atau varietas kopi arabika yang banyak dikembangkan oleh kelompoknya itu cukup banyak. Namun yang paling dominan adalah jenis Steng, Sigararuntang dan Lini S. Saat ini, kata dia, luas lahan pertanian kopi di kelompoknya itu kurang lebih 65 hektare. Terdiri dari lahan milik pribadi, lahan milik Perhutani yang dikerjasamkan dengan masyarakat petani. Jumlah anggota kelompok tani Wanoja itu sendiri, kata dia, yakni sebanyak 60 orang.

Keberhasilan kopi kelompok tani Wanoja, tidak terlepas dari pengolahan yang sangat selektif. Hal tersebut dilakukan, supaya kopi yang dihasilkan mempunyai kualitas terbaik.

“Olahan yang kami lakukan adalah honey, dry proses dan wet proses. Nah sisa dari pemilihan specialty ini baru kami jual ke pengepul kopi curah,” ujarnya.

Dengan mendapat kopi berkualitas, kelompok tani wanoja tidak kesulitan dalam pemasaran. Bahkan, pembeli banyak yang datang hanya untuk membeli kopi olahan dari kelompok tani tersebut.

Namun, karena yang dikejar adalah kualitas, kuantitas yang dihasilkan juga tidak terlalu banyak. Menurut Eti, dari 65 hektare lahan, hanya menghasilkan 50 ton kopi saja setiap tahunnya.

“Alhamdulilah produksi kopi kami cepat diserap pasar bahkan sampai ke Dublin Irlandia dan beberapa negara lainnya untuk diikutsertakan dalam beberapa pameran,” katanya.

Eti melanjutkan, kelompok tani yang dipimpinnya itu, mulai membudidayakan tanaman kopi sejak 2012 lalu. Kelompok ini fokus pada pengembangan budi daya, sehingga tidak turut membeli atau mengumpulkan biji kopi dari kelompok tani lainnya.

“Misi kami ingin mensejahterakan para petani. Selain itu, bertujuan untuk menghijaukan kembali lahan-lahan kritis dan juga lahan yang sebelumnya banyak ditanami sayuran penyebab erosi. Kini perlahan-lahan para petani sayuran mulai beralaih ke tanaman kopi yang memang selain sebagai tanaman konservasi juga cukup menguntungkan secara ekonomi,” terangnya.

Dengan misi dan ketekunan yang dilaloni oleh Eti dan kelompok taninya itu, maka perkembangan usaha kopi mereka ini tergolong pesat. Dalam tiga tahun pertama saja, biji kopi dari kelompok tani Wanoja ini dengan mudah mendapatkan tempat dihati para penikmat kopi. Padahal biasanya, dari tahun pertama memulai usaha pertanian kopi itu, rata-rata kelompok tani bisa eksis dan dikatakan stabil setelah 10 tahun.

“Sedangkan cita-cita kami yang belum tercapai adalah ingin mendirikan beberapa kedai atau tempat minum kopi. Dengan tujuan untuk lebih memasyarakatkan kopi lokal asal Kabupaten Bandung dan Jabar. Selain itu, untuk mengedukasi masyarakat juga, kami punya keinginan membuat wisata kebun, agar masyarakat mengetahui proses dari kopi itu seperti apa. Mulai dari penamanan, pengolahan hingga penyajian nya,”katanya. (mld)

Tanggal : 10 Agustus 2016
Sumber : Pojoksatu.id

]]>
Kopi Ibun Juarai Kontes Kopi Specialty Indonesia 2015 https://stg.eppid.perhutani.id/kopi-ibun-juarai-kontes-kopi-specialty-indonesia-2015/ Thu, 11 Aug 2016 04:41:55 +0000 http://perhutani.co.id/?p=39384 INILAHKORAN.COM, SOREANG (9/8/2016) | Kopi asal Kabupaten Bandung semakin menunjukkan geliatnya di kancah nasional bahkan internasional.

Salah satunya kopi jenis arabika yang dikembangkan oleh kelompok tani Wanoja di Kampung Sangkan Desa Laksana Kecamatan Ibun berhasil menyabet juara kedua kontes kopi specialty Indonesia 2015 lalu.

Pada ajang Kontes Kopi Specialty Indonesia 2015 itu, kopi arabika yang dikembangkan oleh kelompok tani pimpinan Eti Sumiati, mendapatkan nilai sebesar 87,16.

Juri yang berasal dari Puslit Kakao dan juga beberapa orang juri dari dalam dan luar negeri menjatuhkan pilihannya kepada kopi hasil olahan Kelompok Tani Wanoja sebagai juara kedua.

Sedangkan juara pertama diraih oleh kopi Manggarai Flores dan juara ketiga diraih oleh kopi asal Gunung Raung Jawa Timur. Penilaian oleh juri ini, di antaranya adalah dari rasa manis, keasaman, rempah-rempah dan lainnya.

“Alhamdulilah dalam kontes itu kami berhasil menyisihkan peserta lainnya yang berjumlah 279 dari seluruh Indonesia. Dari Jabar saja yang turut jadi peserta sebanyak 49 peserta, itu ada dari Garut, Sumedang dan lainnya. Hasil penilaian juri dari Puslit Kakao dan juga ada orang asing seperti dari Jerman dan beberap negara lainnya itu memilih kami sebagai juara keduanya,”kata Eti, di sela acara Hari Krida Pertanian yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, di Soreang,Selasa (9/8/16).

Dikatakan Eti, kopi arabika yang dikembangkan kelompoknya ini, dari mulai penanaman hingga pengolahan dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga, hasilnya pun sangat memuaskan.

Jenis atau varietas kopi arabika yang banyak dikembangkan oleh kelompoknya itu cukup banyak. Namun yang paling dominan adalah jenis ateng, sigararuntang dan lini S.

Saat ini, kata dia, luas lahan pertanian kopi di kelompoknya itu kurang lebih 65 hektare. Terdiri dari lahan milik pribadi, lahan milik Perhutani yang dikerjasamakan dengan masyarakat petani. Jumlah anggota kelompok tani Wanoja itu sendiri, kata dia, yakni sebanyak 60 orang.

“Memang dalam pengolahannya kami sangat selektif. Karena mengejar kualitas specialty bukan biji kopi curah. Olahan yang kami lakukan adalah honey, dry proses dan wet proses. Nah sisa dari pemilihan specialty ini baru kami jual ke pengepul kopi curah,”ujarnya.

Kualitas kopi specialty dari Kelompok Tani Wanoja ini telah diakui para penikmat kopi di tanah air dan mancanegara. Ia mengaku tak pernah merasa kesulitan dalam memasarkan kopi hasil olahan mereka.

Biasanya, para pembeli baik itu pengepul maupun dari berbagai tempat minum kopi datang langsung kepada kelompok tani ini.

“Karena kami fokus pada kopi specialty, sehingga produksinya tidak terlalu banyak. Dari luas lahan 65 hektare itu, produksi per tahun yah sekitar 50 ton. Alhamdulilah, produksi kopi kami cepat diserap pasar, bahkan sampai ke Dublin Irlandia dan beberapa negara lainnya untuk diikutsertakan dalam beberapa pameran,”katanya.

Eti melanjutkan, kelompok tani yang dipimpinnya itu, mulai membudidayakan tanaman kopi sejak 2012 lalu. Kelompok ini fokus pada pengembangan budi daya, sehingga tidak turut membeli atau mengumpulkan biji kopi dari kelompok tani lainnya.

“Misi kami ingin mensejahterakan para petani. Selain itu, bertujuan untuk menghijaukan kembali lahan-lahan kritis dan juga lahan yang sebelumnya banyak ditanami sayuran penyebab erosi. Kini perlahan-lahan para petani sayuran mulai beralaih ke tanaman kopi yang memang selain sebagai tanaman konservasi juga cukup menguntungkan secara ekonomi,”ujarnya.

Dengan misi dan ketekunan yang dilakoni oleh Eti dan kelompok taninya itu, maka perkembangan usaha kopi mereka tergolong pesat. Dalam tiga tahun pertama saja, biji kopi dari kelompok tani Wanoja ini dengan mudah mendapatkan tempat di hati para penikmat kopi.

Padahal biasanya, dari tahun pertama memulai usaha pertanian kopi rata-rata kelompok tani bisa eksis dan dikatakan stabil setelah 10 tahun.

“Karena kami punya misi dan fokus menjalankannya, Alhamdulilah perkembangan pertanian maupun usahanya juga bisa berkembang dengan cepat,”katanya.

Eti melanjutkan, dalam rangkan pengembangan kelompok taninya itu, saat ini pihaknya juga tengah menunggu bantuan bibit kopi dari Pemerintah Provinsi Jabar.

Pemerintah Provinsi Jabar berencana memberikan bantuan bibit kopi sebanyak 100 ribu pohon. Bantuan untuk kelompok taninya ini, diperkirakan sekitar 50% nya.

“Sedangkan cita-cita kami yang belum tercapai adalah ingin mendirikan beberapa kedai atau tempat minum kopi. Dengan tujuan untuk lebih memasyarakatkan kopi lokal asal Kabupaten Bandung dan Jabar. Selain itu, untuk mengedukasi masyarakat juga, kami punya keinginan membuat wisata kebun, agar masyarakat mengetahui proses dari kopi itu seperti apa. Mulai dari penanaman, pengolahan hingga penyajian nya,”katanya. [ito]

Tanggal : 9 Agustus 2016
Sumber : Inilahkoran.com

]]>
Klasik Beans Melambungkan Kopi sekaligus Melestarikan Hutan https://stg.eppid.perhutani.id/klasik-beans-melambungkan-kopi-sekaligus-melestarikan-hutan/ Wed, 20 Jul 2016 06:45:55 +0000 http://perhutani.co.id/?p=38860 SWA.CO.ID, BANDUNG (19/7/2016) | Para petani kopi di Jawa Barat, paling tidak yang tergabung dalam wadah koperasi Klasik Beans, tengah semringah. Hawa optimisme meruap dari hutan di sekitar Gunung Malabar, Ja-Bar. Dengan konsep agroforest yang diperkuat dengan penanaman puluhan varietas pohon kayu endemik Jawa dan pohon buah, kopi-kopi berjenis arabica yang ditanam menghasilkan kopi dengan kualitas tinggi.

Tak ayal, Klasik Beans mengepak sampai luar negeri. Whole Foods, Sweet Maria’s, Intellegencia & Four Barrels, adalah sebagian kecil dari pembeli kopi mereka. Klasik Beans mengekspor sekitar 90% dari kopi yang dihasilkan para petani yang tergabung dalam koperasi yang dibentuk formal pada 2011 itu. Volume produksi ekspor telah meningkat sebesar 100 kali menjadi 400 metrik ton sejak 2009. Sekarang bahkan permintaan kopi kepada Klasik Beans melebihi pasokan.

Adalah Eko Purnomowidi bersama delapan temannya yang menjadi pemantik keberhasilan para petani kopi di Ja-Bar. Mereka melakukan pendekatan kepada sejumlah petani dengan memberikan penyuluhan cara menanam dan merawat kopi hingga panen. Mereka juga mengajari petani konsep bertanam dengan agroforest sehingga kopi yang dihasilkan otomatis organik. “Kami membimbing petani memperbaiki rumahnya kopi. Rumah terbaik kopi adalah hutan. Jadi, kami perlu menerapkan konsep kebun agroforest, tidak ada pilihan lain. Dengan demikian, kopi ini otomatis organik. Di hutan tentunya tidak ada yang menyemprot pestisida. Dan, di hutan juga tidak ada hama penyakit, semua sehat,” papar Eko.

Konsep Klasik Beans mengajarkan kepada petani dan masyarakat umum bahwa kopi itu produk alami. “Kopi itu hidupnya di hutan bukan di kebun seperti kebun sayur,” katanya. Kopi harus ada pohon pelindungnya karena kopi arabica hanya butuh sinar matahari 40%. Untuk menanam pohon pelindungnya juga harus ada 16 varietas, tidak bisa hanya satu jenis. “Kalau cuma satu jenis, tidak akan saling mengisi, tingkat longsornya juga tinggi.” imbuhnya. Untuk menanam kopi, dibutuhkan waktu pembibitan selama delapan bulan. Waktu menanam bibit, mereka sudah menanam pohon pelindungnya juga sehingga dalam waktu 1,5-2 tahun kopi sudah berbuah dan pohon pelindungnya juga sudah mulai tinggi.

Cikal-bakal Klasik Beans berangkat dari keprihatinan Eko atas kondisi para petani kopi. Ia tergerak hatinya saat melihat petani di daerah Gunung Malabar membeli bibit kopi dengan harga yang mahal. Bibit 1 kg dibanderol Rp 250.000. “Ini pembodohan. Bibit kopi tidak perlu membeli, melainkan bisa berbagi dari petani kopi lain. Waktu itu saya melihat petani disuruh membeli dengan embel-embel sertifikat tidak jelas,” katanya.

Maka, bersama delapan temannya, pada 2008, Eko sepakat mengajarkan kepada para petani cara menanam dan mengolah kopi dengan baik sehingga menghasilkan kopi yang berkualitas. Menurutnya, delapan temannya adalah anak-anak gunung yang berpengalaman sebagai relawan bencana alam sehingga paham medan dan kondisi hutan. Bahkan, beberapa dari mereka adalah instruktur di SAR. Sementara Eko sendiri, selain anak gunung, juga memiliki pengalaman bekerja di perusahaan kopi di daerah Lintong, Sumatera, sejak tahun 2000. “Saya sempat memberikan penyuluhan mengenai kopi di Sumatera. Saya belajar otodidak, saya belajar dari pengalaman. Karena saya senang tanaman dan alam, jadi tidak begitu sulit. Saya juga suka baca-baca buku mengenai kopi,” tuturnya.

Klasik Beans awalnya dibangun semata untuk advokasi bagi para petani kopi. “Awalnya, kami tidak dagang. Kami hanya berpikir untuk mengajarkan membuat forestasi kepada petani,” ungkap Eko, yang tahun ini berusia 48 tahun. Mereka kemudian melakukan workshop untuk petani. “Hanya ada tiga petani yang mengikuti workshop ketikaitu,” katanya. Setelah itu, mereka mulai melakukan pembibitan yang memakan waktu hingga delapan bulan. Pada saat bersamaan, pemerintah tengah gencar mendukung petani untuk menanam kopi di dataran tinggi karena selama ini wilayah pegunungan dipakai untuk menanam sayur. “Ide ini saya akui sangat bagus karena kalau ditanami sayur, akan terjadi longsor,” ujarnya.

Yadi Mulyadi, yang juga penggagas Klasik Beans, menambahkan bahwa kegiatan advokasi mereka adalah mengenai penanaman, reboisasi, edukasi budaya kopi. “Anggotanya ya petani di sekitar hutan,” kata Yadi. Diakuinya, keberadaan mereka juga tidak serta-merta disambut dengan tangan terbuka. “Mereka pikir kami tahu apa tentang kopi,” tambahnya. Menurutnya, sebagai petani tradisional, mereka agak sulit diyakinkan supaya mau menerima cara-cara modern. Karena itu, Eko dan teman-teman mengawali dengan melakukan sendiri di tanah garapan yang disewa. “Mereka lihat hasilnya dan mau bergabung,” kata Yadi.

Hanya setahun setelah memulai dengan hanya beberapa puluh petani, kini sudah ada ribuan petani yang bergabung dalam koperasi Klasik Beans. Penghidupan petani pun mulai meningkat. Eko menjelaskan, peningkatannya tidak bisa dirata-ratakan karena setiap petani hasilnya berbeda. “Kira-kira bisa mencapai Rp 50-70 juta per tahun per petani,” katanya. Selain cara menanam kopi, mereka juga mengajarkan efisiensi dana, misalnya untuk pembuatan kompos. Menurut Eko, awalnya para petani membuat kompos di rumah lalu dibawa ke kebun. “Dalam setahun akan memakan uang banyak untuk biaya transportasi. Akhirnya, kami menyarankan untuk membuat kompos di kebun dengan cara berkelompok dengan petani lainnya.”

Menurut Yadi, sebelum mereka masuk, harga kopi hanya Rp 2.000/kg. Saat ini paling rendah Rp7.000/kg. Selain itu, para petani kini sudah mau mengurus lahannya. “Kami juga bertanggung jawab untuk membeli, kami punya pengolahan sendiri. Namun, kami tidak mengikat petani untuk menjualnya kepada kami,” katanya. Ia menandaskan, pihaknya dan para petani memiliki kewajiban yang sama, yakni menjaga lingkungan kopi tempat tumbuh. Sementara manfaat bagi petani, selain kehidupan yang menjadi lebih baik, juga memiliki lingkungan yang lebih baik. Contohnya, dulu, air di daerah tersebut tidak bisa diminum karena ada minyaknya sehingga para petani mengandalkan mata air di lembah-lembah. Selang tiga tahun, setelah adanya hutan pelindung untuk kopi, airnya menjadi bersih dan bisa diminum. “Karena, di wilayah tersebut ditanami pohon-pohon yang beragam. Keuntungan lain, petani menjadi sehat karena tidak menggunakan pestisida maupun pupuk kimia.”

Badiel Bads, salah satu petani yang tergabung dalam Klasik Beans, mengaku banyak hal yang didapat sejak bergabung empat tahun silam. “Kami diajari cara menanam kopi, membuat kompos hingga konservasinya. Kami juga diajari membuat kopi yang sehat dan merawat hutan, membuat jalur air. Kami diajari mulai dari menanam, panen, hingga mengolah kopinya,” papar Badiel yang sebelum terjun sebagai petani kopi membangun usaha jual-beli alat-alat kegiatan outdoor. Ia menambahkan, selama ini keuntungan yang diperoleh dari hasil panen kopi cukup stabil. “Harganya jauh dari tengkulak,” imbuhnya. Buah ceri kopi dihargai Rp 6.000-7.000/kg, sedangkan di tengkulak hanya Rp 2.000/kg. “Kebetulan saya mempunyai lahan satu hektare yang ditanami 1.000 pohon kopi,” katanya.

Selain Badiel, saat ini Klasik Beans memayungi seribuan petani di Ja-Bar. Mereka juga memberikan peyuluhan kepada petani kopi di Sumatera, Bali, Sulawesi. Namun, masih sebatas pilot project. “Jumlah anggota kami juga bertambah terus, namun ada juga yang dikeluarkan, “ kata Eko. Aturan main di Klasik Beans sangat ketat. Kalau ada anggota yang memakai pestisida dan pupuk kimia, tak ada kompromi: langsung dicoret dari keanggotaaan koperasi. Tahun ini, ada sekitar 30 petani yang dikeluarkan. “Kami ingin membuat kopi yang berkualitas, bukan minuman racun. Karena minuman ini akan diminum oleh orang, jadi harus bersih. Hutan sebagai rumah kopi juga harus bersih,” tambahnya.

Para petani kopi yang tergabung dalam Klasik Beans tidak melulu petani tulen, bahkan ada yang berprofesi dokter. “Kalau dia punya lahan dan ingin bergabung silakan, syaratnya ya tidak meracun, tidak pakai pupuk kimia dan merawat hutan. Jadi, kalau datang dengan pikiran mau kaya, jangan datang pada kami. Kami tidak hitung per uang yang diterima, kami lebih melihat hasil untuk alam sendiri, perbaikan-perbaikan hutan dan fungsinya,” Eko menjelaskan.

Menurut Eko, sampai saat ini ada ribuan hektare lahan di Ja-Bar yang dipakai untuk rumah kopi. Ada yang milik petani sendiri dan milik Perhutani. “Anggota kami yang merupakan masyarakat setempat di wilayah Perhutani tersebut yang menggarapnya itu,” katanya. Untuk para petani yang memiliki lahan sendiri juga dibatasi tidak boleh lebih dari 2 ha. Jenis kopi yang ditanam lebih banyak arabica, meski robusta juga ada. “Biji kopi arabica dari hutan ini membuat tenar nama Klasik Beans di antara para pembeli kopi khusus alias specialty coffee,” katanya.

Dengan total lahan ribuan ha itu, menurutnya, jumlah produksi sangat tergantung pada musim hujan dan kemarau. “Kami tidak memfokuskan kepada volume, karena fokus kami hanya mengurus kebun kami agar baik dan sustainable,” ujarnya. Ia menandaskan, produknya bukan produk masal, melainkan produk berkualitas. Selain itu, agak sulit juga menghitungnya karena anggota koperasi bebas menjual ke mana saja. “Prinsip kami forestasi saja, kami hanya memfasilitasi,” ungkapnya.

Penjualan langsung ditangani petani. “Pembeli datang dan berhubungan langsung,” kata Eko. Begitu pun buyer dari luar negeri. “Mereka datang dan mencoba kopinya,” imbuhnya. Sementara untuk memasarkan, mereka sering mengikuti pameran-pameran di luar negeri seperti di Prancis dan Amerika Serikat. “Kami tidak membawa nama Klasik Beans namun membawa nama kopi Indonesia,” katanya. Yadi menambahkan, pihaknya sudah mengekspor ke sejumlah negara di lima benua. “Penjualannya kepada orang yang sudah kenal, misalnya ada teman kami yang tinggal di sana, lalu tertarik pada kopi, dia akan menjadi distributor di negara tersebut,” tambahnya.

Eko menjelaskan, selama ini pembagian keuntungan kepada koperasi tidak ada. Para petani hanya membayar iuran. Iuran itu pun dipakai untuk keperluan bersama seperti membuat kompos. Adapun untuk Perhutani, petani membayar 15%, pembangunan desa 5% dari hasil panen. “Hasilnya juga disetorkan langsung dari masing-masing petani kepada Perhutani,” katanya.

Selama hampir sewindu menjalankan Klasik Beans, kendalanya lebih pada sosialisasi dan penyuluhan. “Lokasinya jauh-jauh. Untuk menyampaikan ide, setidaknya harus sering bertemu langsung. Mungkin ini yang menjadi kesulitan bagi kami,” kata Eko. Selama ini, mereka bersembilan secara bergiliran memberikan penyuluhan. Paling tidak seminggu sekali melakukan pertemuan dengan para petani.

Target mereka sendiri lebih pada keberadaan hutan dataran tinggi di Indonesia tetap terjaga kelestariannya. “Itu komitmen kami,” Eko menandaskan. Selain itu, mereka ingin merangkul anak muda untuk mau masuk pertanian. “Supaya tanah-tanah ini tidak dimiliki oleh perusahaan-perusahaan,” katanya.

Karena itu, dalam waktu dekat, mereka akan membuat sekolah alam di Bandung. “Untuk mengajarkan mengenai alam kepada anak-anak serta budaya-budaya yang ada Indonesia,” katanya. Konsepnya, sekolah-sekolah umum akan datang ke sekolah alam mereka, kemudian diajari menanam padi atau budidaya lainnya. “Tujuan kami, menitipkan Tanah Air kepada anak-anak muda yang kelak menjadi generasi penerus kami,” kata Eko.(*)

Tanggal : 19 Juli 2016
Sumber : Swa.co.id

]]>
Curug Astronaut, Surga Tersembunyi di Subang https://stg.eppid.perhutani.id/curug-astronaut-surga-tersembunyi-subang/ Tue, 05 Jul 2016 07:07:23 +0000 http://perhutani.co.id/?p=38664 PIKIRAN-RAKYAT.COM, SUBANG (3/7/2016) | CURUG Cileat punya julukan lain yaitu Curug ATSTRONAUT. Curug ini terletak di Kabupaten Subang, Kecamatan Cisalak, Desa Cibogo. Curug ATSTRONAUT merupakan salah satu dari sekian banyak destinasi wisata yang dikelola Perum Perhutani di Kabupaten Subang.Penamaan Astronaut mencermimkan fenomena jatuhan air terjun. Astronaut merupakan kependekan dari Air Terjun SejutaTetesan Rinai dan Oksigen Natural Untuk Terapi.

Curug Astronaut yang berada di kawasan hutan Perum Perhutani, RPH Bukanagara, BKPH Cisalak KPH Bandung Utara. Tiket masuk ke curug yang pengelolaanya dilakukan bersama warga desa hutan tersebut adalah Rp 7.000/orang.

Curug Astronaut mempunyai ketinggian sekira 100 meter dan berada di kawasan Gunung Canggak. Tumpahan airnya mencetak satu kubangan atau kolam yang cukup besar sehingga pengunjung bias bermain air dan beredam di dalamnya. Curug Astronaut terdiri atas dua air terjun yang berdampingan menempel di atas tebing batu. Curug yang satu, debit airnya tidak begitu besar sedangkan curug yang satunya lagi jatuhan airnya deras dan besar.

Dalam perjalanan menuju Curug Astronaut, ada tiga curug yang bakal ditemui. Ketiganya adalah Curug Citorok yang punya tinggi sekitar 70 meter, Curug Cimuncang 1 dengan ketinggian kira-kira 80 meter, serta Curug Cimuncang 2 dengan ketinggian sekira 90 meter.

Curug Astronaut berjarak sekitar 37 km dari Kota Subang ke arah Selatan dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Sementara dari Kota Bandung, tempat ini berjarak sekitar 62 km ke arah Utara.

Dari Kota Subang, arahkan kendaraan menuju jalan Cagak. Selanjutnya dari jalan Cagak ambil lintasan ke Tanjung Siang, Rancakalong. Sesampainya di Desa Gardu Sayang, terdapat belokan yang ditandai plang kecil tanda menuju Curug Astronaut. Dari belokan tersebut, teruskan pearjalanan menuju ke Kantor Kelurahan Desa Mayang. Jarak dari Gardu Sayang ke Desa Mayang sekitar 5 km.

Dari Desa Mayang, perjalanan dilanjutkan ke Desa terakhir yaitu Desa Cibago dengan jarak sekitar 2 km. Di desa inilah tempat pemberhentian terakhir bagi yang membawa kendaraan bermotor.

Karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk dilewati kendaraan bermotor, perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki.

Jika ingin menggunakan kendaraan umum dari terminal kota Subang, bisa memakai menumpang minibus dengan trayek Subang-Tanjung Siang kemudian turun di Gardu Sayang untuk selanjutnya naik ojek ke Desa Cibago.

Panorama yang masih begitu asri dengan pemandangan sawah dan hutan alam, serta trek yang lumayan panjang menjadi nilai lebih untuk para pecinta kegiatan di alam bebas. Selain menyuguhkan hal tadi, banyak titik perhentian yang menyodorkan panorama epik.

Paduan tebing dan air terjun yang menawan menjadi pemandangan yang akan menyapa begitu tiba di Curug Astronaut. Perjalanan menantang saat menuju Curug Astronaut akan terbayar oleh hembusan anginnya yang bersatu dengan percikan air. Jika cuaca sedang bagus, sekilas percikan air tersebut tampak berkilauan. Tak hanya itu sensasi lain bias dirasakan saat pengunjung menghirup oksigen yang bersih dan menyegarkan serasa tengah menjalani terapi oksigen.***

Tanggal : 3 Juli 2016
Sumber : pikiran-rakyat.com

]]>
Kopi Gunung Puntang Diekspor ke Maroko https://stg.eppid.perhutani.id/kopi-gunung-puntang-diekspor-maroko/ Fri, 24 Jun 2016 08:14:09 +0000 http://perhutani.co.id/?p=38283 REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG (22/6/2016) | Nama Gunung Puntang kini makin moncer di kancah mancanegara. Bukan karena alamnya, melainkan karena kopi. Betapa tidak, Kopi Gunung Puntang menjadi populer setelah menjuarai ajang Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo 2016, di Atlanta, AS, April 2016 lalu.
Setelah populer berkat tangan dingin Ayi Sutedja itu, giliran koperasi masyarakat yang membawa harum Kopi Gunung Puntang ke tanah Afrika. Melalui kekompakan anggota Koperasi Puntang Insan Sejahtera dan PT Nusa Amandhiya, kopi itu diekspor perdana ke Maroko pada Selasa (21/6) kemarin.
Ketua Koperasi Puntang Insan Sejahtera (PIS) Iwan Pursada Bakti menjelaskan, ekspor perdana ke Maroko tersebut mengirim sebanyak 19,20 ton beras biji kopi, atau kopi dalam bentuk green bean. Kopi yang diekspor tidak hanya berjenis arabika yang memang sudah menjadi ciri khas kopi Bandung Selatan. Namun, juga terdapat kopi robusta.
“Berat robusta (green been) yang dikirim sebanyak 3 ton, dan sisanya adalah arabika,” ujar dia, Selasa (21/6) kemarin di Pasirhuni, Cimaung, Kabupaten Bandung.
Saat ini, Koperasi PIS memiliki 10 anggota. Seluruhnya petani kopi yang masing-masing memiliki lahan garapan kopi seluas dua hektare di hutan produksi Perhutani. “Total lahan kebunnya mencapai 20 hektare, dengan titik area yang menyebar. Usia tanaman kopinya sudah tujuh tahun, sudah tergolong produktif,” ujar dia.
Kopi kualitas ekspor itu diperoleh dari hasil pertanian beberapa kelompok tani setempat yang menanam kopi di kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Kopi arabika koperasi tersebut dipenuhi dari Gunung Tilu dan Gunung Puntang yang termasuk dalam sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Untuk robusta sendiri, di kawasan Gunung Puntang memang tergolong sedikit. Lantaran kopi jenis ini kurang begitu cocok jika ditanam di kawasan Gunung Puntang yang berada di dataran tinggi.
Meski begitu, ada tempat lain di Bandung Selatan yang dianggap memiliki kopi robusta berkualitas, yakni di Gunung Tilu, Pangalengan. “Gunung Tilu di Pangalengan juga memiliki kopi robusta yang termasuk golongan terbaik,” kata dia.
Iwan mengakui, kopi robusta dari Gunung Tilu memang masih minim. Sehingga, untuk memenuhi pasokan, koperasi tersebut mengambil dari daerah lain seperti Banjar, Kuningan, Subang dan Ciamis.
Kopi yang diekspor Koperasi PIS berada di kelas reguler. Pemilihan ekspor di kelas reguler ini berbeda dari kebiasaan di tanah air. Sebab, mayoritas kopi Indonesia yang diekspor adalah kelas specialty yang biasanya untuk memenuhi kebutuhan kafe-kafe.
Harga jualnya pun tinggi karena melalui proses pengolahan dan penyortiran yang ketat. Sedangkan kopi kelas reguler di tingkat dunia selama ini dikuasai Brasil. Dari Indonesia, jarang sekali. Namun, peluang di kopi kelas reguler di tingkat dunia juga cukup besar karena permintaannya lebih tinggi ketimbang kopi kelas specialty.
“Untuk di awal, kita main di reguler dulu. Tapi rencananya nanti kita juga akan ekspansi ke negara lain, seperti Australia dan negara-negara di Eropa, tentu setelah punya produk yang specialty,” tutur dia.
Terlebih, kopi kelas specialty sebagai kopi grade 1 adalah kopi yang telah melewati proses penyortiran yang ketat. Biji kopi yang memiliki retak, atau bentuknya yang tidak bagus, akan gagal dalam proses penyortiran kelas specialty.
Boleh dibilang, dari total biji kopi yang dihasilkan, hanya 10 persen yang termasuk specialty. “Kalau reguler bisa sampai berton-ton per bulan. Sedangkan specialty hanya kwintalan,” kata dia.
Tanggal  : 22 Juni 2016
Sumber  : Republika.co.id

]]>