PKBL Action – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Mon, 15 Sep 2014 01:05:03 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png PKBL Action – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Serba Cantik Dari Tasik https://stg.eppid.perhutani.id/serba-cantik-dari-tasik/ Mon, 15 Sep 2014 01:05:03 +0000 http://perhutani.co.id/?p=13918 10-PKBL-Serba cantik tasik

Dok.Kom-PHT @2014

Tasik identic dengan border. Sulaman pada ujung kebaya, mukena, taplak meja dan semua bahan kain itu tidak asing bagi perempuan Indonesia. Kreativitas warga Tasik ternyata lebih dari itu. Kita bisa menemukan anyaman bamboo, rotan, pandan, dan sebagainya di sudut-sudut kota sampai pinggiran dan pelosok.

Sebut saja di Rajapolah Tasikmalaya ada Nia Yuliani. Sarjana Pertanian ini adalah contoh wirausahawan yang sukses mengelola kerajinan Tasik dari nol.

Dimulai tahun 1991, Nia dan Dadan suaminya, hanya coba coba-coba berdagang barang kerajinan. Awalnya ia membuat sendiri untuk buah tangan (handycraft). Karena ulet dan selalu mempertahankan kualitas barang, maka toko Nia selalu diserbu pelanggan. Perajin lain tak mau ketinggalan. Tokonya menjadi incaran perajin untuk menitipkan barang-barang kerajinan handycraft. Tentu saja, kualitas menjadi persyaratan penting bagi calon pemasok toko Nia.

Handycraft di toko Nia tidak saja diminati turis domestic tetapi juga turis asing. Ia bahkan pernah ekspor tas dan sandal daun pandan ke Jepang dan Prancis. Baru- baru ini juga ekspor alat music angklung ke Australia.

Dibantu tiga karyawan, dengan upah minimal Rp. 1.250.000. Nia bekerjasama dengan 40 orang perajin handycraft di Tasikmalaya. Mereka pemasok barang ke “Yukka handycraft” toko milik Nia. Bermacam barang kerajinan kini tersedia. Tas anyaman, sandal, tempat tisu, dan peralatan rumah tangga berbagai model tersedia. Harga handycraft dipatok mulai Rp. 3.000 sampai Rp. 120.000. Penghasilan bersih tokonya belum termasuk cabang di Garut dan Cirebon mencapai minimal Rp. 20 juta per bulan.

Memberikan manfaat kepada orang lain adalah keinginan Nia dari dulu. Minimail ia bisa menjadi wadah pengrajin desanya dalam memasarkan produk. Selain ada nilai tambah barang kerajinan buatan local, ada lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.

Ditanya resep suksesnya, perempuan dua putri ini tersipu buka rahasia. “Ini kontribusi Perhutani. Saya Mitra Binaan Perhutani Tasikmalaya. Saya dapat pinjaman murah meriah PKBL tahun 2009, Rp. 7 juta. Setelah lunas dapat pinjaman lagi Rp. 10 juta. Sudah lunas tahun 2012. Terakhir saya pinjaman agak besar, Rp. 25 juta. Ini masih jalan sampai 2015. PKBL Itu enak, tidak repot ngurus macam-macam. Modalnya kepercayaan saja. Memang saya layak dipercaya, makanya dapat beberapa kali”.

Sebelum mendapat PKBL, Nia mengaku usahanya belum berkembang seperti sekarang. Pinjaman Perhutani digunakan untuk pengembangan usaha. Ia mumbuka cabng di Asia Plaza Tasikmalaya, Asia Toserba Garut, dan Asia Toserba Cirebon. Karena permintaan mengalir terus, Nia mengaku ingin melebarkan sayap ke Sumedang dan kota lain apabila memungkinkan, tetapi hitung-hitungan musti matang.

Nia berharap melalui PKBL bisa ikut pelatihn-pelatihan praktis dan pameran-pameran untuk menambah pengalamannya berwirausaha. Syukur-syukur suatu saat bisa bertemu Bapak/Ibu Presiden, duh senangnya ya bisa memamerkan yang serba cantik dari Tasik,” demikian Nia menutup perjumpaan.

Penulis  : Soesi Sastro

Sumber : PKBL Action No. 23 Tahun II Agustus 2014

]]>
Gurame Sang Guru https://stg.eppid.perhutani.id/gurame-sang-guru/ Fri, 18 Jul 2014 04:04:43 +0000 http://perhutani.co.id/?p=13200 8-Gurame3-web

Dok.Kom.PHT@2014

Nazir duduk di tepi kolam ikannya. Hari sudah sore. Sinar matahari tampak indah menembus hutan sengon di kejauhan. Seorang lelaki datang menghampiri lalu duduk di sebelahnya. Mereka berbincang rencana panen ikan. Juga persiapan mengangkut ikan ke pasar esok hari sebelum siang beranjak pergi. Lelaki itu adalah pedagang ikan langganannya. Siapa Nazir?

Tak banyak guru menggunakan waktu senggang untuk bertani ataupun berternak. Ribet, bau amis, berbecek-becek, dan butuh ketekunan. Tak lebih bergengsi dibandingkan buka toko kelontong atau counter hape. Nazir berani beda. Guru sekolah dasar SD di daerah Gua Jatijajar, Kebumen, ini menggeluti budidaya ikan gurame (Osphronemus goramy) sejak 1995.

Awalnya hanya untuk mencukupi konsumsi keluarga kini semua berubah. Sejak bergabung dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Mulya Jati binaan Perhutani Kedu Selatan, Nazir banyak belajar kewirausahaan. Ia dipercaya sebagai ketua kelompok yang punya 150 orang anggota itu. Hutan memang sumber pangan dan pakan ternak bagi kelompoknya. Tak cukup kegiatan itu. Ia mengajak 10 anggotanya mengembangkan kolam ikan seluas 200 m2. Selain ingin meningkatkan pendapatan, ia melihat banyak tumbuhan liar bawah tegakan hutan bisa jadi pakan ikan.

Mulailah Nazir mengais modal. Sebuah proposal sederhana yang ditulis seadanya. Program Kemitraan dan Bina Lingkungan besutan BUMN menjadi pilihannya. Tahun 2008, Perhutani KPH Kedu Selatan meluluskan pinjaman Rp. 10 juta kepada kelompok, LMDH Mulya Jati. Ia mengaku, uang tersebut dibelikan bibit gurame 300 kg untuk ditebar dikolam.

Ikan gurame dipilih karena harga lebih baik disbanding budidaya lele didaerahnya. Daun talas-talasan yang tumbuh liar di hutan-hutan Perhutani bisa dimanfaatkan untuk campuran pellet pakan ikan. Harga pakan jadi murah meriah. Sebuah teknologi sederhana ala LMDH Mulya Jati. Pernah diiming-iming budidaya ikan lainnya, ia tak tergoda. Meski membesarkan gurame hasilnya baru bisa dipanen setiap 5 sampai 6 bulan sekali.

Setiap kali panen, Nazir mengaku bisa memperoleh 450 kg ikan gurame. Pemasarannya tidak repot. Pedagang ikan dari Cilacap, Kebumen, dan Banyumas datang sendiri ke kolamnya. Hasil bersih minimal mencapai Rp 5 juta setiap panen. Nilai yang lumayan sebagai usaha sampingan. Selain itu ia dan keluarganya bisa mendapatkan gizi gratis.

Risiko usaha selalu saja ada. Bila musim hujan tiba, gurame bisa terjangkit penyakit kulit. Ia dan anggotanya rajin membersihkan lumpur di kolam. Menabur kapur kapur untuk keseimbangan PH air. Kolam harus menghasilkan makanan alami ikan. Biasanya 15 hari setelah isi air, plankton-plankton muncul. Baru benih gurame dimasukkan ke kolam.

Lelaki dua putra itu snagat ingin menambah jumlah kolam-kolam ikan untuk kelompok di desanya. Bukan bermiliar modal yang dibutuhkan, bukan pidato yang berbusa-busa, tetapi perhatian nyata seperti PKBL dirasa baik untuk rakyat desa hutan sepertinya. Pinjaman yang terbayar dengan senyum kemenangan usaha kelompoknya. Pikiran cerdas.

Itulah Nazir. Lelaki yang memberikan pengetahuan dan pengalaman praktisnya pada anggota kelompok selepas mengajar disekolah. Ia betah berlama-lama di tepi kolam. Berkeliling, tangannya melambai-lambai menebar pakan ikan. Menikmati loncatan-loncatan indah gurame. Ikhlas, tekun melakukan usaha. Bahkan, ia merasakan alam semesta telah memberikan segala kebaikan ketika ia mengurus ikan-ikan guramenya.

Sumber: PKBL Action, No. 21 Tahun II Juni 2014.

]]>
Arjuna, Wayang Golek Yang Jadi Primadona. https://stg.eppid.perhutani.id/arjuna-wayang-golek-yang-jadi-primadona/ Thu, 08 May 2014 08:26:25 +0000 http://perhutani.co.id/?p=12587 4-PKBL-Wayang golek-KPH SMD 4Jatinangor, saat ini dikenal sebagai salah satu kawasan pendidikan di Jawa Barat. Pencitraan ini merupakan dampak langsung dari keberadaan beberapa institusi antara lain Universitas Padjajaran, Institut Pemerintahan Dalam Negeri dan Institut Teknologi Bandung. Jatinangor juga terletak pada koordinat 107o 45’ 8,5” – 107o 48’ 11,0” BT dan 6o 53’ 43,3” – 6o 57’ 41,0” LS. Selain itu, daerah jatinangor ini terkenal dengan kerajinan tangannya. Wayang golek adalah salah satunya.
Siapa yang tidak mengenal wayang ? Wayang adalah bentuk teater rakyat sangat popular, terutama di pulau Jawa dan Bali. Orang awam sering menghubungkan antara kata “wayang” dengan “bayang”, karena dilihat dari pertunjukan wayang kulit yang memakai layar dimana muncul bayangan dan membuat penonton terpukau. Lain di Jawa Timur, lain pula di Jawa Barat, di daerah ini selain wayang kulit, dikenal juga dengan wayang golek. Golek, kata tersebut merujuk pada dua makna, sebagai kata kerja bermakna mencari, selain itu pada kata benda istilah golek bermakna sebagai boneka kayu.

Enjang Darajat, lelaki berusia 44 tahun ini, mulanya bekerja sebagai pedagang kelontongan dibantu istrinya. Selain berjualan kelontongan, ia pun juga membantu sang kakak sepupu, Bapak Herman (Alm.) membuat wayang golek untuk dipasarkan ke daerah Jawa Barat. Setelah dirasa keahlainnya dalam membuat wayang golek mampu memperoleh hasil, maka Enjang beralih menjadi pembuat wayang golek. Dengan berbekal modal Rp. 100.000,- , ia membeli bahan baku untuk membuat wayang golek dimulai dari kayu Albizia chinensis  atau yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai kayu sengon, kain batik, kain beludru, kuas untuk mengecat dan lain sebagainya. Dari modal itu ia mampu menghasilkan sebanyak 5 buah wayang golek seharga Rp. 25.000,- dan dipasarkan didesa sekitarnya.

Cara pembuatannya pun tergolong mudah. Pertama, kayu albizia dipotong sesuai ukuran dan pesanan. Kayu yang sudah dipotong kemudian dikupas dan di bentuk sesuai pola yang diinginkan. Wayang golek setengah jadi itu di raut agar tampak lebih halus. Apabila kayu wayang golek masih terasa basah, maka dijemur di panas matahari selama 24 jam atau seharian. Wayang golek yang kering kemudian diberi sentuhan akhir atau finishing dengan memakai cat kayu untu memprcantik tampilan dan dipakaikan baju bervariasi tergantung pesanan.

Hasil penjualan yang ada kembali dipergunakan untuk membeli bahan selanjutnya. Demikian terus menerus dan hingga pada tahun 1996, Enjang mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang. Dari situ ia berkenalan dengan salah satu BUMN Kehutanan yang kebetulan sedang sama-sama mengikuti pameran tersebut, Perum Perhutani.

Saat berkenalan, Enjang ditawarkan untuk menjadi mitra binaan, tetapi saat itu dalam hati Enjang masih bergolak antara menerima tawaran ataukah menolaknya.

Akhirnya keputusan pun diambil. Akhir tahun 2001 Enjang mulai mengajukan pinjaman lunak Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) sebesar 2 juta rupiah dan baru dicairkan awal tahun 2002. Menurutnya, dana sebesar itu sudah cukup untuk membiayai usahanya sementara waktu.

Alhasil keinginannya itu tercapai. Prosesnya pencairan dana pinjaman itu cepat dan mudah dengan jangka waktu pengembalian 3 tahun.
Setelah mendapat pinjaman, Enjang pun mulai melebarkan sayap. Produknya tidak hanya wayang golek saja, melainkan patung, rebana (alat musik yang biasa dipakai untuk qasidah), hingga plakat.

Namun kejadian pahit pun pernah dirasakan oleh Enjang. Pada tahun 2005, setelah salah satu artis internasional, Anggun C. Sasmi tertarik pada produk wayang golek dan kemudian berkunjung ke rumahnya. Selang beberapa hari kemudian Enjang merasakan suatu perasaan tidak tenang, pikirannya terbang entah kemana ia pun tidak sadar. Hal itu berlangsung hingga tahun 2009.

Untungnya, walaupun Enjang masih punya stok produk kerajinan yang dipakai untuk membiayai hidup sekeluarga selama beberapa bulan, satu persatu peralatan rumah tangganya dijual juga demi membiayai pengobatan. Berbagai cara pun ditempuhnya. Pengobatan medis hingga alternative dijalani demi mengharapkan kesembuhan. Berkat doa dari keluarga, akhirnya kesadaran Enjang pun pulih kembali.

Usaha kerajinan ini dimulai dari awal lagi. Ia semakin rajin mengikuti pameran-pameran untuk kembali memasarkan produknya. Saat ini bahan baku yang dibelinya sudah mencapai 3 hingga 4   per bulannya. Harganya pun sudah meningkat tajam dibandingkan saat ia mulai usaha dulu.

Harganya pun beragam. Dimulai dari wayang golek yang seharga Rp. 50 ribu hingga Rp. 500 ribu / unit. Rebana berkisar Rp. 250 ribu hingga Rp.  750 ribu /set. Patung kayu, berkisar Rp. 50 ribu hingga Rp. 3 juta /unit. Dan terakhir, plakat berkisar antara Rp. 125 ribu hingga Rp. 350 ribu/unit. Omsetnya pun tak main-main. Keuntungan bersih sudah menembus angka Rp. 120 juta hingga Rp. 200 juta pertahunnya.

Tak hanya di sekitar Jawa Barat, pemasaran Produk pun sudah dilakukan hampir ke seluruh wilayah Indonesia seperti Jawa tengah dan Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan bali. Mancanegara pun berhasil digenggamnya. Produk Rebana yang mulai populer di Turki, sebagian besar buatan Enjang. Patung-patung buatan Enjang pun sudah sampai di Malaysia. Negara lain seperti Singapura dan Jepang pun tak luput dari genggamannya.

Selain produknya dipasarkan sendiri, usaha yang digeluti oleh ayah dari 3 anak ini terus berkembang karena rajin mengikut pameran sebagai mitra binaan Perum Perhutani. Baginya, ditawarkan untuk mengikuti pameran sama saja Perum Perhutani membantu memasarkan produk-produknya. Dari semua produk tersebut tetap saja, wayang golek Arjuna menjadi primadona yang paling dicari.

Keberhasilan Enjang merupakan daya tarik bagi perbankan. Selain mengambil dana pinjaman lunak PKBL, ia pun meminjam di salah satu Bank BUMN. Baginya hanya BUMN yang dipercaya dan merupakan satu-satunya harapan bagi pengembangan bisnisnya.  Harapannya tak muluk-muluk. Enjang ingin wayang goleknya tetap melenggang, baik nasional maupun internasional.
PKBL Action No. 20, Tahun II Mei 2014

]]>
Hutan Jati dan Inspirasi Paini https://stg.eppid.perhutani.id/hutan-jati-dan-inspirasi-paini/ Tue, 04 Mar 2014 05:26:24 +0000 http://perhutani.co.id/?p=11929 1-Inspirasi PAINI

Dok. Korkom/ @2013

Matahari menyengat, udara kering.  Sebuah wajah siang desa Jono Kecamatan Temayang, desa pinggiran hutan jati Perhutani di Bojonegoro.  Paini adalah bagian dari desa hutan, perempuan paruh baya itu lahir dan dibesarkan di antara kokohnya tanaman jati disana. Hutan sumber pangan, sumber air dan sumber penghidupan bagi warga desa. 

Sebagai ibu rumahtangga dengan satu anak laki-laki, Paini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani di sawah dan tegalan.  Kadang  ia bekerja di hutan untuk menambah penghasilan suaminya yang kondektur bis.  Tentu saja ia ingin hidupnya berubah. Sorot matanya yang tajam mengatakan itu ketika saya bertemu di salah satu stand pamerannya di Gedung Sarinah Thamrin lantai empat belas.

Hidup tak semudah cerita putri raja. Mimpi Paini bukanlah mimpi Cinderela.  Perempuan lulusan Sekolah Dasar ini berani ikut kursus membatik yang diselenggarakan Pemda Bojonegoro. Meski kursusnya gratis, ternyata hanya 20 orang yang ikut pada 2009 itu dan umumnya mereka sudah berumur alias sudah tua-tua.  Anak-anak muda desa lebih memilih bekerja di kota sebagai buruh pabrik, meninggalkan kegiatan sawah dan hutan yang dianggap tak sexi karena penghasilan kurang tinggi.

Dari peserta kursus Ia sendirian yang nekad, berbekal sembilan motif batik Bojonegoro yang di launching awal 2010 yaitu motif daun jati, gastrol,  daun tembakau, pari sumilak, kayangan api, jagung mijimas, mliwis mukti dan wayang thengulan. Menurutnya, motif batik Bojonegoro diinspirasi dari kokohnya hutan jati. Sebut saja daun jati, pari sumilak, jagung wijimas, semua ada di dalam hutan dan dekat dengan kehidupan masyarakat Jono.  Ketika Paini mulai membatik, orang-orang desa mengoloknya “mbatik enthuk opo” (membatik dapat apa; red).

Paini termasuk beruntung ketika Perhutani Bojonegoro memberikan pinjaman dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan  (PKBL) senilai empat puluh juta rupiah. Uang itu ia gunakan membeli bahan seperti kain, pewarna, malam dan peralatan lainnya. Untuk seorang Paini, program PKBL bagaikan dewa penolong. Bagaimana tidak, prosesnya kilat, modalnya kepercayaan, niat baik, kerja yang sungguh keras dan kejujuran berusaha.  Petugas PKBL tidak mempersulitnya, tidak berbelit administrasinya.  Satu lagi yang disukai Paini, ikut PKBL itu gratis dipromosikan kemana-mana tanpa harus bercapek-capek ria.

Kerja kerasnya mulai berbuah manis. Pesanannya mengalir seperti derasnya air sungai Bengawan Solo yang melintas kota Bojonegoro.  Selain pesanan untuk seragam sekolah, seragam kantor, pesanan khusus dari Jakarta, Surabaya, Semarang dan Madiun antri.  Produksi batiknya bervariasi dari bahan katun primisima hingga sutera tergantung pesanan. Harga juga bervariasi mulai Rp. 75.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,-. Dengan bantuan 20 orang karyawan, Paini bisa mendapatkan keuntungan bersih rata-rata Rp. 6 juta sampai Rp 10 juta sebulan.  Sebuah nilai yang cukup besar untuk ukuran penghasilan perempuan di desa Jono saat ini.

Suksesnya tidak bisa dibandingkan dengan suksesnya juragan batik Solo, Jogja, Pekalongan atau Madura yang telah berkibar dan punya nama. Keberhasilan kecilnya mulai diikuti oleh warga desa lain, para perempuan dan laki-laki. Sukses perempuan seperti Paini adalah sukses sebuah kebangkitan masyarakat, dari kegiatan yang tadinya tidak ada menjadi ada. Mimpi dan inspirasi memang penting tetapi lebih penting lagi adalah memfasilitasi terwujudnya mimpi Paini-Paini lain di negeri ini.

Hari semakin sore, suara gesekan ranting dan daun di hutan adalah irama alam yang tak asing lagi. Guguran daun jati berserak di dalam hutan dalam kesendirian. Dan kini bayangan daun-daun jati dan jagung berjatuhan di lembaran kain sutera beraroma malam batik.  Perlahan hidup keluarga Paini berubah, dan ia bisa saja menjawab olokan orang-orang desa bahwa ternyata “mbatik enthuk opo-opo” (membatik dapat apa-apa).

Optimisme Paini layak didukung dengan kesungguhan.  Sebagai perempuan, Paini telah menunggu apa yang seharusnya dia tunggu, dan bila tak ada lagi yang patut ditunggu, pastilah dia akan pergi ke suatu tempat dimana masih ada harapan**)

Penulis  :  Soesi Sastro

]]>