rajamandala – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Sun, 26 Feb 2017 02:28:51 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png rajamandala – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Berkemah Sambil Menelusuri Sejarah di Cengkrong https://stg.eppid.perhutani.id/berkemah-sambil-menelusuri-sejarah-cengkrong/ Sun, 26 Feb 2017 02:28:51 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=45550 img7-2PIKIRAN RAKYAT (25/2/2017) | Di antara sejumlah daya tarik kawasan kehutanan di Rajamandala, yakni lokasi perkemahan Cengkrong yang juga berada di wilayah pengelolaan Perhutani BKPH Rajamandala, lokasinya sekitar 2 km dari arah gerbang perkebunan karet Rajamandala (bagian dari PTPN VIII Kebun Pangjelar). Kebetulan pula lokasi perkemahan Cengkrong jalur masuknya 200 meter dari tepian jalan areal perkebunan karet Rajamandala dan berbatasan dengan kebun karet

Dari sosoknya, lokasi perkemahan Cengkrong merupakan hutan produksi berupa tegakan pohon-pohon pinus. Dari penampakannya, lokasi Cengkrong memang masih sangat jarang dikunjungi orang, tetapi kesehariannya diurus oleh Pramuka Saka Wanabakti.

Menurut Acep. selalu ketua Saka Wanabakti di Cengkrong, sekitaran perkemahan Cengkrong sebenarnya juga terdapat beberapa curug. Yang diketahui dan tergolong dekat dikunjungi adalah Curug Kujang 15, Curug Poek, dan Curug Nyalangkadar.

Lain halnya dari aspek sejarah, kawasan Rajamandala, terutama kawasan hutan Cengkrong tercatat dahulunya pernah menjadi salah satu lokasi padepokan masa kerajaan Islam di zaman Prabu Tajimalela (abad ke-15). Di antara murid Prabu Tajimalela yang ada di sekitar hutan Cengkrong adalah padepokan Gagak Ngampar.

Acep pun menunjukkan sejumlah tunggul pohon jati yang dikatakan ditemukan di sekitar hutan Cengkrong dan diyakini sudah menjadi fosil. Sejauh ini belum diketahui umur pasti tunggul pohon jati itu, tetapi diyakini pula sudah sangat tua lebih dari 100 tahun.

Dikatakan Acep, semula tunggul kayu jati tersebutjumlahnya lumayan banyak di sekitar Cengkrong. Namun, kemudian banyak yang hilang pada tahun 2016, diketahui karena oleh banyak orang dijadikan batu akik saat perdagangannya marak di mana-mana.

Asper BKPH Rajamadala, Harry Soedjana mengatakan, dari suasananya, kawasan hutan Cengkrong, khususnya yang kini dijadikan tempat perkemahan, dari pengamatannya suasananya masih mirip seperti hutan Cikole di Lembang saat masih tahun-tahun 1980-1990. Lima hektare kawasan hutan Cengkrong yang kini dikembangkan untuk lokasi perkemahan.

Menurut dia, kawasan hutan Cengkrong dijadikan tempat perkemahan, sejak lokasi ini dijadikan Rakernas Pramuka yang dibuka Ketua Gerakan Pramuka Kwartir Daerah Jawa Barat Dede Yusuf, Februari 2016 lalu. Namun, karena potensinya tersebut, akhirnya lokasi bersangkutan diteruskan sebagai tempat perkemahan, dengan keseharian dikerjasamakan dengan Pramuka Saka Wanabakti.

Disebutkan, tegakan-tegakan hutan pinus di hutan Cengkrong sebenarnya masih disadap, getahnya dibawa untuk diolah ke Pabrik Gondorukem dan Terpentin Sindangwangi, Nagreg, Kabupaten Bandung. Namun, jika lokasi perkemahan di Cengkrong sudah ramai, kemungkinan penyadapan getahnya tak dilakukan lagi

“Di kawasan kehutanan Rajamandala sebenarma bukan sekadar menikmati keindahan dan keaslian kawasan hutan, sungai, aliran air, juga masih banyak curug yang keberadaannya belum begitu banyak diketahui publik dan masih sangat alami. Begitu pula bagi yang gemar ilmu pengetahuan, tampaknya kawasan ini menjadi tempat yang menarik,” ujar Harry Soediana.

Sumber: Pikiran Rakyat, hal. 23

Tanggal: 25 Februari 2017

]]>
Rajamandala Kawasan Banyak "Curug" https://stg.eppid.perhutani.id/rajamandala-kawasan-banyak-curug/ Sat, 25 Feb 2017 02:12:42 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=45547 img7-1PIKIRAN RAKYAT (25/2/2017) | Kawasan kehutanan, perkebunan, dan Sungai Citarum di wilayah selatan Kecamatan Rajamandala diketahui menjadi salah satu “benteng” kelestarian alam kawasan Bandung bagian barat. Sosoknya yang tergolong terjaga keasriannya, juga memiliki keindahan alam yang “terpendam” tetapi termasuk sangat indah.

Keindahan alam kawasan Rajamandala juga sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda sampai menjelang pendudukan Jepang dari pecahnya Perang Dunia II 1942. Dari sejumlah catatan, sejak menjelang abad ke-20 sampai awal tahun 1940, kawasan Rajamandala menjadi tujuan orang-orang Eropa baik melakukan penelitian maupun menikmati keindahan alamnya.

Di antara daya tarik utama kawasan Rajamandala adalah keberadaan sejumlah air terjun atau orang Sunda menyebutnya curug. Berbagai curug tersebut diketahui pula umumnya berasal dari aliran Sungai Citarum yang juga terdapat Sanghyang Tikoro, Sanghyang Heuleut, dan sejumlah mata air lainnya yang berada di antara kawasan kehutanan dan perkebunan setempat.

Salah seorang Eropa yang terkagum dengan keindahan kawasan Rajamandala yang banyak terdapat curug-nya adalah Karl von Scherzer asal Austria. Dalam buku yang ditulisnya, Narrative of The Circumnauigation of the Globe by the Austrian Frigate volume 2 terbitan Cambridge University Press, New York, Amerika, terbitan tahun 1862 dan dicetak ulang tahun 2013, disebut-sebut, pada 22 dan 23 Mei 1859 mengunjungi lalu berkelana di Sanghyang Tikoro. Sebelumnya, ia mengunjungi Curug Baong yang juga berada di sekitar Citarum, kawasan Rajamandala diketahui banyak curug.

Keterkenalan banyaknya curug di kawasan Sungai Citarum, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Heuleut pernah menjadi daya tarik tinggi bagi wisatawan orang-orang Eropa pada zaman kolonial. Keterkenalan kawasan Rajamandala dengan banyaknya curug di sekitarnya dicantumkan pada buku panduan wisata berjudul Bandoeng. Mountain City of Netherlands India yang disusun SA Re-itsma, diterbitkan G Kolf Co, Weltevre-den, Batavia tahun 1930-an.

Disebutkan, kawasan Rajamandala memiliki banyak air terjun, salah satunya yang dikenal adalah Curug Jompong. Promosi kawasan Rajamandala dan Sungai Citarum, bersama sejumlah kawasan wisata alam lainnya di Jawa Barat, saat itu bekerja sama dengan perusahaan kereta api negara Hindia Belanda, Staats Spoorwegen, untuk ke kawasan Rajamandala dengan mengoptimalkan fungsi Stasiun Rajamandala di lintas Bandung-Cianjur.

Setelah Perang Dunia II yang diikuti Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, tetapi kemudian terjadi pendudukan Belanda di Jawa Barat tahun 1948, keindahan alam kawasan Rajamandala pun tetap menjadi daya tarik. Informasi dari arsip Sinematek Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Jakarta), pada tahun 1948 dirilis film berjudul “Air Mata Mengalirdi Tjitaroem”.

Kini sudah hampir 90 tahun berselang, banyaknya curug di Rajamandala menjadi keindahan yang terpendam dan dinilai masih sangat alami. Sebagian curug mulai kembali diperkenalkan dan menjadi daya tarik wisata, terutama masyarakat yang sengaja bermain ke kawasan Rajamandala, termasuk ke Sanghyang Tikoro, Sanghyang Heuleut,maupun ke hutan kawasan perkemahan Cengkrong, Lokasi-lokasi tersebut umumnya berada di lingkungan Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan Bagian Rajamandala.

Pencinta alam sekaligus pimpinan Pramuka Saka Wanabakti Kabupaten Bandung Barat Acep Agus Janzani, mengatakan, di sekitar Rajamandala, khususnya kawasan kehutanan dan perkebunan banyak terdapat curug. Yang berada di sekitar kehutanan Rajamandala saja meliputi Cengkrong, Sanghyang Tikoro,dan Sanghyang Heuleut, ada Curug Halimun, Curug Cikondang, Curug Hawu, Curug Pangulaan, Curug Patrol Sanghyang Heuleut, Curug Cikahurupan, Curug Bedil, Curug Kujang 15, Curug Poek, Curug Nyalangkadar, dll.

Dikatakan, berbagai curug yang terdapat di kawasan kehutanan Rajamandala rata-rata sosoknya terdapat “kolam” di bawah air terjun bersangkutan. Oleh karena itu, untuk beberapa curug yang sudah dikenal membuat yang mengunjungi sering sekalian berenang.

Dari aspek Tatar Sunda, disebutkan Acep, diketahui kawasan Sanghyang Tikoro merupakan salah satu tempat diceritakan pada legenda Sangkuriang. Legenda sendiri diketahui hanya berupa cerita prosa rakyat yang merupakan cerita secara turun-temurun.

Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Qurota Ayun, Jejen mengatakan, banyaknya curug di kawasan Citarum serta aliran Sanghyang Tikoro dan Sanghyang Heuleut kembali diketahui masyarakat manakala dilakukan proyek pembangunan Waduk Saguling tahun 1980-an lalu. Namun, kini kembali menjadi daya tarik, terutama orang-orang Eropa, Korea, dan Jepang, begitu pula para wisatawan lokal kembali menjadi cukup banyak.

Menurut Jejen, biasanya orang-orang yang berwisata ke sejumlah curug yang agak dalam, dibantu pengamanan dengan disediakan perahu karet. Namun, beberapa curug yang tak disarankan digunakan untuk berenang, terutama saat musim hujan, soalnya memiliki kedalaman 5-6 meter, namun banyak pula yang kedalamannya hanya 1-2 meter. (KodarSolihat/”PR”)

Sumber: Pikiran Rakyat, hal. 23

Tanggal: 25 Februari 2017

]]>
Rajamandala, Keindahan Terpendam https://stg.eppid.perhutani.id/rajamandala-keindahan-terpendam/ Mon, 21 Nov 2016 01:29:56 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=42584 img8-2PIKIRAN RAKYAT (19/11/2016) | Kawasan Rajamandala dan kawasan Sungai Citarum menjadi lokasi menyimpan keindahan alamnya yang merupakan unsur lokasi perkebunan, hutan, aliran air, dan telaganya. Kawasan yang kini menjadi lintasan ke Bendungan Saguling tersebut menyimpan potensi kebangkitan seperti zaman jayanya dahulu.
Adalah lokasi Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro serta Perkebunan Rajamandala yang masih menjadi daya tarik kawasan Rajamandala. Apalagi dengan lokasi yang cukup dekat dari Bandung, kawasan Rajamandala masih menjadi tempat bagi masyarakat untuk menikmati keindahan alam dengan suasana tenang serta sejuk.
Berdasarkan sejumlah catatan, keindahan kawasan Rajamandala juga sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda sampai tahun 1942 lalu. Sejumlah orang Eropa sering berjalan-jalan ke kawasan Rajamandala dengan menikmati Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro dengan lintasan asri di Perkebunan Rajamadala, lalu ke Cisameng, Gunung Guha, dan Cihea. Pesona kawasan Rajamandala dicatat orang Belanda, SA Reitsma dan VVH Hoogland, dalam bukunya, Gids van Bandoeng en Midden Priangan, diterbitkan tahun 1927 yang arsipnya disimpan dalam Colonial Architecture Town Planning yang diinisiasi Technische Universiteit Delft, Belanda. Mereka mengisahkan kenangannya, di mana orang-orang Eropa dari Bandung yang menuju Rajamandala untuk menikmati kawasan Sanghiang Tikoro merupakan sebutan warga pribumi orang-orang Sunda yang artinya adalah “tenggorokan” Sungai Citarum.
Disebutkan, pada masa-masa itu, para pelancong yang berasal dari Bandung menuju ke kawasan Sanghiang Tikoro biasanya menggunakan angkutan kereta api dengan berhenti di Stasiun Rajamandala. Dari situ, para pelancong menggunakan angkutan sado dengan menempuh waktu selama setengah jam lalu ke selatan melintasi Jalan Raya Rajamandala Bandung-Cianjur.
Perjalanan terus melewati Perkebunan Rajamandala yang saat itu mengusahakan komoditas karet dan teh. Tepian Perkebunan Rajamandala juga sering menjadi tempat pangulinan serta tempat janjian berkumpul orang-orang yang akan berlibur menuju Sanghiang Tikoro.
Disebutkan, ada pula para pelancong dari Bandung yang menggunakan mobil dengan melintasi Jalan Raya Cipatat Bandung-Cianjur. Memasuki KM 36 dari Bandung di kawasan Rajamandala, berbelok ke kiri menuju Perkebunan Rajamandala.
Dari Perkebunan Rajamandala, perjalanan kemudian melintasi Desa Cisameng yang merupakan sumber belerang dengan dilintasi Sungai Cisameng. Orang-orang Eropa mengetahui, belerang di desa tersebut memiliki manfaat untuk pengobatan, apalagi memunculkan sumber mata air panas yang suhunya sampai 50 s.d 100 derajat Celsius.
Mereka menceritakan, orang-orang Eropa menikmati air panas di Desa Cisameng, umumnya melihat adanya saluran air panas melalui pipa terbuat dari bambu yang dialirkan di antara batu-batu besar. Air hangat tersebut dialirkan ke kamar mandi kecil yang alas maupun temboknya dibuat dari susunan batu-batu kecil. Begitu pula orang-orang pribumi, memanfaatkan aliran air hangat dari pipa bambu tersebut untuk mencuci dan berendam menyembuhkan penyakit.
Di antara kawasan tersebut, katanya, orang-orang Eropa sering asyik keluar masuk gua yang berada di lokasi itu. Kawasan alam .yang berdaya tarik berada di sekitaran Sanghiang Tikoro dan Desa
Cisameng yang dinilai lengkap dengan suasana alam perkebunan, mata air, dan sumber air panas.
Disebutkan pula, pada masa itu pinggiran Sungai Cisameng berikut suasana perkampungan yang dikelilingi pegunungan, merupakan tempat mengasyikkan bagi orang-orang Eropa yang berwisata dengan berjalan-jalan menaiki kuda. Rute berjalan-jalan menggunakan kuda rata-rata 20 menit, kemudian tujuan akhir adalah kembali ke Perkebunan Rajamandala untuk kemudian pulang ke Bandung.
Kini di tahun 2016, kawasan Sanghiang Tikoro dan Sanghiang Heuleut berada pada wilayah Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan, sedangkan Perkebunan Rajamandala adalah bagian Kebun Panglejar dengan dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII. Perkebunan Rajamandala yang kini mengusahakan tanaman karet seluruhnya, sebelumnya sempat melekat dengan ikon pengusahaan tanaman kakao.
Sekretaris Lembaga Masyarakat Desa Hutan Cjurrota Ayun, Yono Sutrisno yang kesehariannya berada di lingkungan Sanghiang Heuleut dan Sanghiang Tikoro, menyebutkan, alam indah kawasan tersebut diketahui dunia, walau belum kembali menggebyar sebagai kawasan wisata. Setiap hari Sabtu dan Minggu biasanya puluhan orang sering bermain-main ke Sanghiang Heuleut, misalnya asal Eropa, Korea, Jepang, serta sejumlah pelancong lokal asal Bandung dan sekitarnya.
Pada hari Sabtu dan Minggu, katanya, cukup lancar menempuh perjalanan memasuki gerbang kawasan Waduk Saguling dari Jalan Raya Rajamandala. Walaupun di pertigaan ada pasar tradisional, hari pasar bukanlah hari Sabtu dan Minggu, tetapi Senin, Rabu, dan Jumat.
Asper Rajamandala Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan Perum Perhutani, Harry Soedjana mengatakan, kawasan tersebut dianggap sebagai keindahan alam yang terpendam, tetapi belum sepenuhnya dikelola secara bisnis. Lokasi Sanghiang Heuleut berada di atas kawasan Sanghiang Tikoro, dalam suasana musim kemarau airnya berwama hijau indah sehingga seringkali kedua lokasi itu mirip Grand Canyon di Pangandaran.
 
Sumber : Pikiran Rakyat, hal. 22
Tanggal : 19 November 2016

]]>