Semarang – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Tue, 03 Feb 2015 11:25:33 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png Semarang – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Jateng Park Segera Dibangun https://stg.eppid.perhutani.id/jateng-park-segera-dibangun/ Tue, 03 Feb 2015 11:25:33 +0000 http://perhutani.co.id/?p=18071 SEMARANG — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersedia merevisi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 31 Tahun 2012 terkait dengan pembangunan Jateng Park. Revisi disepakati selambat-lambatnya Februari 2015. Sekretaris Daerah Jawa Tengah Sri Puryono menyampaikan, dengan revisi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 31 Tahun 2012, hambatan pembangunan Jateng Park bisa teratasi.
Pembangunan lembaga konservasi di kawasan hutan yang selama ini tak diperbolehkan, akhirnya disetujui. Kesepakatan tersebut tercapai pada rapat kordinasi rencana pengembangan Wana Wisata Penggaron atau Jateng Park di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akhir pekan lalu.
Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Soni Partono berjanji, revisi selesai akhir Februari. “Revisi ini penting sebagai pintu pembuka pembangunan Jateng Park di kawasan Hutan Penggaron Kabupaten Semarang seluas 500 ha,” ujar Sri Puryono.
Menurutnya, jika semua proses berjalan lancar, diharapkan awal 2016 pembangunan Jateng Park sudah dimulai. Sebelum rakor, pada hari yang sama dilakukan penandatanganan MoU antara gubernur Jateng, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sonny Partono, Dirut Perum Perhutani Mustoha Iskandar, dan Bupati Semarang Mundjrin.
“Tujuan MoU, mewujudkan pengembangan wana wisata Penggaron, guna mendukung konservasi sumber daya alam dan pariwisata di Jateng. Ruang lingkupnya meliputi penyusunan master plan, permanfaatan kawasan hutan, penentuan investor, dan pengaturan mekanisme investasi serta bagi hasil,” jelasnya.
Desain
Kesepakatan bersama akan ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja sama yang sifatnya lebih operasional dan mengikat, termasuk menyangkut hak dan kewajiban para pihak. “Perjanjian kerja sama kita proyeksikan pada Februari,” imbuhnya. Dalam rakor juga dihasilkan desain pengembangan Jateng Park.
Selain itu disepakati pula perjanjian kerja sama operasional pada Februari, pembuatan masterplan Februari-April, pemilihan dan penentuan investor pada Mei-Juli, penyusunan mekanisme investasi pada Agustus- September, penyusunan studi kelayakan Mei-September, penyusunan dokumen amdal, RKL dan RPL pada September- Desember, kemudian awal 2016 dimulai pembangunan fisik.
Sejauh ini Pemprov Jateng siap melaksanakan saran dari DPRD Jateng untuk membentuk perusda sebagai payung hukum. “Termasuk keinginan anggota DPRD Jateng agar Pemprov sebagai pemilik saham terbesar di atas 50 persen. Hal ini merupakan dukungan luar biasa. Kami siap menindaklanjuti,” tuturnya.
Sumber  : Suara Merdeka
Tanggal  : 3 Pebruari 2015

]]>
Dengan SVLK, Bisnis Kayu Indonesia Menggeliat https://stg.eppid.perhutani.id/dengan-svlk-bisnis-kayu-indonesia-menggeliat/ Wed, 21 Jan 2015 02:55:00 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17775 Semarang, GATRAnews – Pemerintah Indonesia telah menandatangani kerjasama dengan Uni Eropa terkait Voluntary Partnership Agreement (VPA) pada 30 September 2013. Dimana dalam perjanjian ini kedua belah pihak menyepakati peraturan tentang ekspor dari perusahaan produsen di Tanah Air yang harus bersetifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Maksud dari bersertifikasi dalam hal ini adalah, setiap produk hutan yang diekpor ke Eropa harus menggunakan bahan yang legal dengan surat lengkap dari penjual itu sendiri.
Oleh karena itu, semua pengumpul kayu di Indonesia harus mematuhi peraturan yang sudah diberlakukan tersebut. Contohnya saja para pengumpul kayu di hutan rakyat Wilayah Dadapayamn, Suruh, Kabupaten Semarang. Mereka dengan antusias telah mempratekkan skema peraturan itu.
“Kita urus di kelurahan, kecamatan, dan Perhutani. Nanti kita dapat surat keterangan asal usul (SKAU),” ungkap Sutrisno seorang pengumpul kayu dari wilayah tersebut.
Menurut pria 52 tahun ini, dalam setiap mengurus surat kelengkapan tersebut, dirinya harus mengeluarkan kocek Rp 250.000. “Di sini semua patuh, tidak ada yang berani langgar prosesnya,” tambahnya singkat.
Lebih lanjut Sutrisno menambahkan, hasil hutan dari wilayahnya itu, biasanya dikirim di wilayah Jepara dan Yogyakarta. Sedangkan untuk UKM yang membeli kayu dari Sutrisno adalah CV Max di Yogyakarta.
Pada saat yang sama, pemilik CV Max, Hondi menjelaskan kualitas kayu dari Dadapayam sangat bagus, oleh karena itu dirinya tidak ragu untuk terus bekerjasama dengan para pengumpul kayu dari wilayah tersebut.
“Kayu yang dicari itu berumur 30 tahunan, tidak ada yang cacat, dan seratnya bagus. Dulu kita ambil kayu campur dari Perhutani dan kayu kampung. Sejak 2010, 100% dari sini,” tuturnya.
Sekedar informasi, CV Max adalah salah satu UKM binaan program SWITCH ASIA. Program dari Uni Eropa ini diterapkan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan melalui WWF Indonesia, WWF UK, serta Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) untuk mensosialisasikan tentang legalitas kayu.
Sumber  : gatra.com
Tanggal  : 21 Januari 2015

]]>
Curhat Pengumpul Kayu Di Hutan Rakyat Soal Legalitas Kayu https://stg.eppid.perhutani.id/curhat-pengumpul-kayu-di-hutan-rakyat-soal-legalitas-kayu/ Tue, 20 Jan 2015 02:49:36 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17773 Pemerintah telah menandatangani kesepakatan dengan Uni Eropa agar produk hutan yang diekspor sudah memiliki legalitas kayu. Para pengumpul kayu di hutan pun mengikuti mekanisme yang berlaku dengan patuh.
Sutrisno (52) adalah salah seorang pengumpul kayu di hutan rakyat yang terletak di Desa Dadapayam, Suruh, Kabupaten Semarang. Ia bertransaksi dengan petani di hutan tersebut untuk ‘membeli’ pohon yang selanjutnya ditebang.
Hutan rakyat adalah hutan di atas tanah milik rakyat sehingga itu merupakan milik pribadi. Sutrisno sudah bekerja sebagai pengumpul kayu sejak tahun 1999.
Sutrisno memahami bahwa kayu-kayu yang ia tebang harus memiliki dokumen yang jelas. Itu merupakan salah satu tahapan mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diinisiasi oleh pemerintah.
“Kita urus di kelurahan, kecamatan, dan Perhutani. Nanti kita dapat surat keterangan asal usul (SKAU),” ujar Sutrisno, Selasa (21/1/2015).
Surat itu diurus setiap Sutrisno akan menjual kayu tebangannya ke industri. Pria yang sebelumnya berprofesi sebagai sopir ini merogoh kocek sekitar Rp 250.000 setiap mengurus surat legalitas kayunya itu.
“Di sini semua patuh, tidak ada yang berani langgar prosesnya,” ucapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh pengumpul kayu lainnya, Sobari (65). Mulai memilih kayu di Desa Dadapayam sejak tahun 1977, Sobari mengungkapkan bahwa saat ini mengurus legalitas kayu makin mudah.
“Makin ke sini makin ringkas. Jadi ya semua mengurus,” ujar Sobari.
Kayu dari hutan rakyat di Desa Dadapayam mayoritas dikirim ke Jepara dan Yogyakarta. Salah satu UKM yang membeli kayu dari Sutrisno adalah CV Max di Yogyakarta. Faktor kayu yang telah berizin serta kualitas menjadi alasan kayu-kayu itu menjadi pilihan.
“Kayu yang dicari itu berumur 30 tahunan, tidak ada yang cacat, dan seratnya bagus. Dulu kita ambil kayu campur dari Perhutani dan kayu kampung. Sejak 2010, 100 persen dari sini,” ungkap pemilik CV Max, Hondi.
CV Max adalah salah satu UKM binaan program SWITCH ASIA. Program dari Uni Eropa ini diimplementasikan di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan oleh WWF Indonesia, WWF UK, serta Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO) untuk mensosialisasikan tentang legalitas kayu.
Pemerintah dan Uni Eropa telah menandatangani perjanjian Voluntary Partnership Agreement (VPA) pada 30 September 2013 silam untuk menyepakati skema ekspor perusahaan produsen dari Indonesia yang telah bersertifikat SVLK.
Dengan demikian, produk hutan yang diekspor ke Eropa harus memakai kayu legal.
Sumber  : detik.com
Tanggal  : 20 Januari 2015

]]>