Tumpang Sari – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Wed, 09 Nov 2016 08:12:58 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png Tumpang Sari – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Kopi Tumpang Sari dari Tlahab https://stg.eppid.perhutani.id/kopi-tumpang-sari-tlahab/ Wed, 09 Nov 2016 08:12:58 +0000 http://www.perhutani.co.id/?p=42383 logoKOMPAS, JAKARTA (9/11/2016) | Warga Desa Tlahab, Temanggung, Jawa Tengah, memanen berton-ton kopi di tengah hamparan tanaman tembakau. Inilah contoh proyek tumpang sari dan konservasi lahan yang berhasil. Di belakang kesuksesan itu, ada seseorang bernama Tuhar (49) adalah Ketua Kelompok Tani Daya Sindoro di Jl. Desa Tlahab. Saat ditemui di rumahnya di desa itu, awal Oktober lalu, ia sibuk menemani warga yang menyangrai biji kopi dengan mesin milik kelompok tani yang ditempatkan di rumahnya. Berkarung-karung kopi memenuhi teras rumah.

“Buat saya, menanam kopi itu bagian dari ibadah,” kata Tuhar. “Ibadah” yang dimaksud itu adalah amal kebaikan yang dia kerjakan untuk sesama dan lingkungan sekitar.

Kopi yang diolah itu merupakan produksi warga Desa Tlahab yang dikembangkan dengan pola tanam tumpang sari. Tuhar bersama para penyuluh dinas pertanian Kabupaten Temanggung merintis penanaman kopi dan tembakau di satu lahan. Cara ini kemudian dikenal dengan pola Tlahab.

Pemandangan desa ini segar oleh pola tanam itu. Pohon kopi tumbuh subur dengan daun berwarna hijautua. Tanaman setinggi 1-2 meter itu berderet berpola, selajur, berselang-seling dengan tembakau berdaur hijau muda.

Pola tumpang sari diterapkan dengan penanaman terencana. Caranya, tembakau ditanam dengan jarak 4-6 meter. Di antara jarak itu kemudian ditanami kopi dan beragam jenis sayuran. Agar semua tanaman dapat tumbuh leluasa, di antara deretan tanaman itu diberi jarak lagi sepanjang 1-2 meter.

Dengan menerapkan pola ini, tidak ada jeda panen atau paceklik., Setiap bulan, selalu saja ada tanaman yang memberikan hasil dan pendapatan bagi petani

“Petani tidak lagi menggantungkan nasib pada hasil panen tembakau yang belum tentu bagus dan harganya belum tentu tinggi,” ujarnya.

Saat bersamaan, pohon kopi sebagai tegakan juga bisa membantu menahan erosi yang menggerus lahan pertanian. Pola Tlahab kini populer. Banyak petani dari sejumlah daerah berkunjung, melihat, dan mempelajari teknik itu.

Berawal dari iseng

Tuhar mulai bertani kopi sejak tahun 2000l Saat itu. Desa Tlahab mendapatkan 50.000 bibit kopi gratis dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Program Pemberdayaan Masyarakat Usaha Tani Partisipatif itu sekaligus sebagai bagian dari usaha konservasi dan pencegahan erosi di areal lahan tembakau. –

Pada mulanya, banyak petani yang enggan mengikuti program itu, bah-kan membuang bantuan bibit kopi Namun, iseng-iseng, Tuhar mencoba menanam 500 bibit “Waktu itu, saya bahkan tidak yakin, apakah tanaman kopi bisa tumbuh atau tidak.”

Bibit kopi ia tanam di antara tembakau. Jarak itu bervariasi, sesuai dengan luasan lahan. Selain Tuhar, ternya ta ada juga sejumlah petani lain yang juga mencoba menanam kopi.

Tak berselang lama. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah datang lagi membagikan 150XXX bibit kopi gratis di desa itu. Pada tahap kedua ini, Tuhar memperoleh LOOO bibit kopi

Pada 2004 sampai 2005, tanaman kopi warga, termasuk Tuhar, mulai dipanea Banyak warga terkejut tetapi juga senang. Ternyata, kopi mereka bisa tumbuh baik di tengah kebun tembakau, bahkan bisa berbuah dan dipanen.

Hasil panen kopi awal itu dijual dengan sistem tebasan, yakni diborong saat kopi masih berwarna hijau. Tidak heran, nilai jualnya rendah, hanya Rp L500-Rp 2XKK) per kilogram. Satu pohon kopi menghasilkan sekitar 1 kilogram biji kopi

Menjual kopi

Tahun 2008, Tuhar membentuk Kelompok Tani Daya Sindoro dengan 45 anggota petani Tujuan awalnya, bagaimana cara menjual kopi dengan harga yang baik.

Tahun 2010, jalan mulai terbuka. Ketika itu, ada Sekolah Lapangan

Pengendalian Hama Terpadu di Desa Tlahab yang mengajari petani tata cara budidaya kopi secara benar. Tuhar lantas menyemangati petani, terutama anggota Daya Sindoro, untuk membibitkan kopi secara mandiri.

Mereka menghasilkan sekitar 200.000 bibit kopi Sebanyak 30.000 bibit di antaranya diberikan gratis kepada Lembaga Masyarakat Desa dan Hutan. Bibit itu lantas ditanam di kawasan hutan seluas 25 hektar milik Perhutani

Dari 170.000 bibit sisanya, 100.000 bibit diberikan kepada petani yang berminat menanam kopi Sebanyak 70000 bibit lagi dijual. Hasil penjualan itu disimpan sebagai dana kas kelompok.

Produksi kopi Desa Tlahab berangsur dikenal. Tahun 2010. sejumlah pedagang dan eksportir mulai datang membeli kopi dari desa ini Melalui perantaraan sejumlah eksportir. Kelompok Tani Daya Sindoro mengekspor kopi ke Jerman dan Korea Selatan. Ekspor biji kopi mentah ke Korea Selatan bahkan berlangsung hingga tiga kali berturut-turut dari tahun 2012 hingga 2014. Total, alda 14 ton biji kopi yang telah diekspor ke “Negeri Ginseng” itu.

Kontes kopi

Kiprah Kelompok Tani Daya Sindoro di Desa Tlahab menarik perhatian pemerintah pusat Kementerian Pertanian memberikan delapanunit mesin. Ada juga bantuan mesin wasting (panggang) rancangan Institut Pertanian Bogor.

Namun, mesin itu belum disertai standar operasional. Tuhar mengetahui teknik operasional mesin tersebut setelah mencoba-coba selama dua hari dua malam dengan menghabiskan 70 kilogram biji kopi hasil panennya.

Lebih lanjut Tuhar mendalami cara membuat kopi bubuk. Semua itu dilakukan secara otodidak serta banyak bertanya dan berkunjung ke sejumlah kafe di Semarang dan Yogyakarta. Setelah uji coba dan belajar dari sana-sini dia pun menguasai teknik menyangrai dan membuat bubuk kopi secara benar.

Tuhar lantas merintis usaha pembuatan kopi bubuk. Ia keluarkan tiga merek kopi dengan cita rasa berbeda Lebih dari itu, ia memberanikan diri mengikuti lomba Tahun 2014, kopi arabika milik petani ini menyabet gelar juara III dalam Kontes Kopi Specialti Indonesia tingkat nasional untuk kategori kopi arabika

Prestasi itu menyentak banyak orang yang selama ini tidak mengetahui bahwa Kabupaten Temanggung juga memproduksi kopi “Seusai kontes, sejumlah petani dari kelompok tani asal Bondowoso datang ke Desa Tlahab. Mereka ingin membuktikan, apakah kopi benar-benar ditanam di Temanggung atau tidak,” ujarnya sembari terbahak.

Pada Februari 2016, kopi produksi Tuhar dipamerkan dalam pameran Speciality Coffee Association of America di Atlanta, Amerika Serikat Ajang ini kian memopulerkan Desa Tlahab sebagai penghasil kopi

Semangat Tuhar “menular” kepada banyak warga. Dari sekitar 200 hektar lahan pertanian di Desa Tlahab, sekitar 70 persen kini ditanami kopi Semuanya menggunakan pola tumpang sari dengan rata-rata LOOO tanaman kopi per 1 hektar. Sekarang, total tanaman kopi di desa ini mencapai 150.000 pohon. Produktivitasnya mencapai 5 kilogram green bean per pohon.

Gerakan menanam kopi juga terbukti membantu konservasi lahan pertanian. Saat bersamaan, muncul altematif komoditas andalan selain tembakau. Kini, petani Desa Tlahab tidak lagi terialu bergantung pada hasil panen tembakau yang selama ini tidak menentu. Maklum, kualitas dan harga tembakau tu run-naik. bergantung pada cuaca serta pasar.

“Kami berharap petani dapat bebas paceklik sepanjang tahun,” ujar Tuhar.

Sumber : Kompas
Tanggal : 9 November 2016

]]>
Lem Pesawat Dari Tanaman Tumpang Sari Perhutani Banyuwangi Barat https://stg.eppid.perhutani.id/lem-pesawat-tanaman-tumpang-sari-perhutani-banyuwangi-barat/ Mon, 26 Oct 2015 08:33:11 +0000 http://perhutani.co.id/?p=29162 Dok. Kom-PHT/BWB @2015

Dok. Kom-PHT/BWB @2015

BANYUWANGI BARAT, PERHUTANI (26/10) | Tak banyak yang tahu, hasil tanaman tumpang sari di hutan yang dikelola Perhutani Banyuwangi Barat memiliki potensi yang membanggakan. Porang, tanaman sejenis umbi-umbian yang ditanam di bawah tegakan hutan pinus ini ternyata bisa menjadi lem untuk pembuatan pesawat terbang. Selain bahan lem untuk pembuatan pesawat terbang, porang juga bisa dijadikan bahan kosmetik dan obat obatan.

Administratur Perhutani Banyuwangi Barat, Prihono Mardi menyatakan bahwa  klasifikasi hutan berdasarkan tumbuhan ekonomisnya ditentukan berdasarkan sifat dan kultur tanah di daerah aliran sungai (DAS). Selain kayu dan getah, Perhutani Banyuwangi Barat mengembangkan wisata hutan khususnya ketahanan pangan, dari hasil pertanian tumpangsari produksinya mencapai Rp. 7 milyar lebih. (Kom-PHT/Bwb/Rudi)

Editor  :  A. Irfan S.

Copyright ©2015

]]>
Delapan Ton Bibit Jagung Untuk LMDH https://stg.eppid.perhutani.id/delapan-ton-bibit-jagung-lmdh/ Tue, 20 Oct 2015 08:35:33 +0000 http://perhutani.co.id/?p=29166 Dok. Kom-PHT/KBH @2015

Dok. Kom-PHT/KBH @2015

KEBONHARJO, PERHUTANI   (20/10) | Dua puluh tujuh lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) wilayah kabupaten Blora dan Rembang mendapatkan bantuan delapan ton bibit jagung dari Perhutani Kebonharjo bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Rembang. Agar bantuan ini tepat pada sasaran sosialisasi mekanisme penyaluran bantuan bibit jagung dan teknik budidaya tanaman jagung pun diadakan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang di Gedung Kesambi Kebonharjo.

“Perhutani punya lahan hutan sekitar 544 ha yang digunakan para pesanggem (petani hutan) untuk menanam jagung. Tidak ada pungutan terkait penyaluran bibit jagung ini. Petani hutan juga kedepannya akan memperoleh bantuan pupuk dari pemerintah” ungkap Wakil Administratur Perhutani Kebonharjo Asep Ruskandar.

Sementara itu dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Rembang, Sukaryo K menegaskan bahwa penerimaan bibit jagung dari pemerintah hendaknya dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP) untuk pertanggungjawabannya. Sukaryo berharap Kelompok Tani Hutan (KTH) dapat memanfaatkan bantuan ini dengan baik untuk peningkatan taraf hidup karena harga jagung selama ini relative stabil sehingga petani sangat diuntungkan. (Kom-PHT/Kbh)

Editor  :  A. Irfan S.

Copyright ©2015

]]>
Perhutani Siapkan 267 Ha Untuk Tumpang Sari Padi https://stg.eppid.perhutani.id/perhutani-siapkan-267-ha-untuk-tumpang-sari-padi/ Wed, 27 May 2015 00:38:32 +0000 http://perhutani.co.id/?p=21457 Investor Daily – Perum Perhutani telah menyiapkan areal hutan untuk lahan penanaman tumpang sari seluas 267 ribu hektare (ha) dengan kluster adaptif di wilayah Jawa dan Banten.

Itu dilakukan untuk mendukung program ketahanan pangan nasional. Produktivitas lahan tumpang sari yang ditanami tanaman padi bisa mencapai 100 ribu ton per tahun. Direktur Utama Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan, apabila di masa lalu jarak tanam hanya 3 kali 3 meter, ke depan akan memakai jarak tanam jauh lebih lebar supaya dapat bercocok tanam lebih lama.

“Kalau dulu jarak tanam cuma 3 kali 3, ke depan kami pakai jarak tanam 6 kali 2 meter atau 8 kali 2 meter. Petani bisa bercocok tanam dalam jangka waktu yang lama,” kata Mustoha pada acara Temu Wicara di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, Selasa (26/5). Mustoha menuturkan, tahun ini Perum Perhutani sudah menyiapkan fasilitas seperti pupuk bersubsidi yang dibagikan untuk semua petani tanpa pandang bulu, baik petani yang menggarap lahan sendiri maupun lahan negara.

Kemudian pemberian bibit unggul dari pemerintah. “Dulu itu yang dapat pupuk hanya petani di luar kawasan hutan, yang tergabung dalam kelompok tani saja, karena memang peraturannya hanya petani yang menggarap lahannya sendiri yang mendapat pupuk, bukan petani yang menggarap lahan negara, tapi kebijakan pemerintahan Jokowi sekarang pemberian pupuk bersubsidi untuk semua petani,” ujar dia.

Dari 5.386 jumlah desa hutan di Jawa hingga 2014 terdapat 5.278 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang bekerja sama dengan Perhutani dan mengelola hutan pengakuan desa seluas 2.216.225 ha. Melalui sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) tenaga kerja masyarakat desa hutan yang terserap mencapai 6,3 juta orang dengan total pendapatan sebesar Rp 2.705,71 miliar.

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM) Kehutanan Tachrir Fathoni menjelaskan, pembagian hasil dari tumpang sari antara 60:40 sampai 70:30. Proposisinya masyarakat dapat untung lebih banyak antara 60-70%. Model tumpang sari dianggap lebih menguntungkan petani karena dapat bercocok tanam lebih lama dan sinar matahari yang masuk juga lebih banyak untuk tanaman.

“Lahan 267 ribu ha untuk tumpang sari disiapkan di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Banten. Tahun ini ditargetkan selesai,” kata dia. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyiasati masalah yang terjadi di lapangan dengan merespon pengaduan dari publik dan media.

Sebab, masyarakat yang tahu lingkungannya sehingga diperlukan kerja sama dengan masyarakat. “Cara menyiasatinya dengan merespon catatan-catatan dari publik, pengaduan preventif dan juga dari media. Cara penyelesaiannya beragam, jadi memang kita harus saling kerja sama dengan masyarakat,” kata dia.

Menteri Siti mengatakan pola-pola dialogis menjadi penting, dia mengusulkan Unit Pelaksana Teknis untuk lebih terbuka kepada masyarakat dengan cara dialogis. Dengan adanya teknologi yang modern, masyarakat dapat membimbing pemerintah kepada birokrasi responsif, birokrasi yang menuntun untuk lebih baik.

“Adanya sms, email, masyarakat menjadi pembimbing kita untuk birokrasi responsif, kita sudah harus berorientasi jauh kedepan. Birokrasi yang menuntun kita untuk lebih baik. Makanya, dibuka ruang seluas-luasnya untuk masyarakat,” jelas Siti.

(m02)

Sumber : Investor Daily, hal. 7
Tanggal : 27 Mei 2015

]]>
Pertanian Tumpang Sari Dikembangkan Di Hutan https://stg.eppid.perhutani.id/pertanian-tumpang-sari-dikembangkan-di-hutan/ Sat, 17 Jan 2015 03:50:50 +0000 http://perhutani.co.id/?p=17678 YOGYAKARTA, KOMPAS — Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Perum Perhutani dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengembangkan pertanian tumpang sari di area hutan produksi. Sistem pertanian itu diharapkan meningkatkan produksi pangan di Indonesia tanpa merusak kelestarian hutan.
“Luas lahan pertanian di Indonesia tak cukup memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Perlu terobosan pengembangan pertanian,” kata Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Mohammad Na’iem seusai workshop Rencana Aksi Pelaksanaan Integrated Farming System di Kawasan Hutan, Jumat (16/1), di Yogyakarta.
Na’iem menjelaskan, saat ini luas lahan produksi pangan di Indonesia adalah 15,35 juta hektar. Padahal, luas lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan 242 juta penduduk Indonesia adalah 24,2 juta hektar. “Ada kekurangan lahan 8,85 juta hektar. Susah dipenuhi jika tidak mengembangkan pertanian di kawasan hutan,” kata Na’iem.
Oleh karena itu, sejak 2009, UGM mengembangkan sistem pertanian terpadu di sejumlah hutan produksi di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dikelola Perum Perhutani. Pengembangan dilakukan dengan sistem tumpang sari, yakni menanam tanaman pertanian di sela-sela pohon jati yang ditanam Perhutani. “Saat Perhutani mulai menanam bibit jati, kami mulai menanam tanaman pertanian,” ujarnya.
Pada sistem itu sejumlah jenis tanaman pertanian ditanam bergantian. “Saat awal hingga pohon jati berusia tiga tahun, tanaman padi bisa ditanam. Sesudah itu harus diganti tanaman empon-empon, misalnya jahe dan kapulaga, karena padi tidak tumbuh kalau sinar matahari terhalang tajuk jati,” tutur Na’iem.
157 hektar
Tahun 2014, UGM bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Perhutani mengembangkan sistem pertanian terpadu di kawasan hutan seluas 157 hektar. Itu berlokasi di tiga kabupaten di Jawa Tengah, yakni Blora, Pati, dan Banyumas. Untuk tahap awal, jenis tanaman yang dikembangkan adalah padi.
“Saat uji coba, panen padi yang kami kembangkan mencapai 6,5 ton hingga 12 ton per hektar per tahun. Hasil itu cukup baik jika dibandingkan dengan hasil panen di sawah biasa,” tuturnya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo siap mendukung pengembangan pertanian tumpang sari di kawasan hutan itu. Ganjar telah meminta Perum Perhutani memetakan kawasan hutan produksi di Jawa Tengah yang bisa menjadi areal pengembangan sistem pertanian itu. “Masyarakat sekitar hutan juga diajak dalam program itu agar kesejahteraannya meningkat,” ujarnya. (HRS)
Sumber  : Kompas
Tanggal : 17 Januari 2015

]]>
Jabungan Hasilkan Temulawak 600 Ton/ Tahun https://stg.eppid.perhutani.id/jabungan-hasilkan-temulawak-600-ton-tahun/ Wed, 11 Dec 2013 01:14:40 +0000 http://perhutani.co.id/?p=10274 Penerima Piagam Ketahanan Pangan

Suara Merdeka, Semarang – POTENSI temulawak dan kunyit di Kelurahan Jabungan, Kecamatan Banyumanik cukup besar dan berkualitas. Dalam kurun waktu satu tahun, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Manikmoyo, Kelurahan Jabungan mampu menghasilkan 600 ton temulawak dan 300 ton kunyit.

Seratusan orang yang tergabung dalam gapoktan itu secara turun-temurun menggantungkan hidupnya dengan menanam tanaman rempah dan obat-obatan tersebut.

Berdasarkan data Kecamatan Banyuma­nik, areal tanaman temulawak di Jabung­an seluas 17 hektare, sedangkan luasan kunyit 15 hek­tare. Sejumlah universitas di Indonesia per­nah mengakui kualitas temula­wak dan kunyit di kelurahan tersebut bagus.

Berkat eksistensinya, Gapoktan Manik­moyo pernah mendapatkan piagam keta­han­an pangan dan tali asih Rp 17 juta dari Menteri Pertanian (Mentan) Suswono di Jakarta, tepatnya 15 Desember 2009.

Ketua Gapoktan Manikmoyo, Jabungan, Sumono (70) menyatakan, lahan yang digunakan untuk menanam ini bervariasi, ada milik petani sendiri, Perum Perhutani Unit I Jateng, dan seorang pengusaha asal Bukitsari, Semarang. “Tanaman temulawak dan kunyit ini ditanam turun-temurun oleh masyarakat Jabungan, sejak zaman Kemerdekaan RI. Hasil panen temulawak pada 2012 lalu mencapai 600 ton, sedangkan kunyit 300 ton,” tandasnya.

Dalam kondisi basah, temulawak dijual Rp 2.500/ kilogram, sedangkan kunyit Rp 3.000/ kilogram. Menurut dia, hasil panen itu bisa dijual lebih mahal apabila dikemas dalam bentuk simplisia atau telah dikeringkan dan dipotong tipis-tipis. Simplisia temulawak dijual Rp 6.000/ kilogramnya, sedangkan simplisia kunyit Rp 12.500/ kilogram.

“Untuk simplisia temulawak dan kunyit, masyarakat Jabungan banyak menjualnya ke pabrik jamu di Solo dan Cilacap,” ungkapnya.

Di sisi lain, kedua simplisia ini ada yang dipasok ke Asosiasi Ngudi Waras Sejahtera Semarang untuk dibuat produk jadi berupa jamu seduh instan. “Jamu seduh ini dipasarkan di Jateng, Jatim dan sejumlah provinsi di Kalimantan,” tandasnya.

Penyuluh pertanian Kecamatan Banyumanik, Mudjiyono menyatakan, Gapoktan Manikmoyo juga pernah meraih piagam ketahanan pangan di era Gubernur Bibit Waluyo. Meski potensi sudah tergarap sejak lama, namun Manikmoyo baru tersentuh pembinaan dari pemerintah Kota Semarang pada tahun 2000.

“Pernah ada pembinaan melalui Sekolah Lapang (SL), petani diberikan pengetahuan baru, dari mulai menanam, merawat, memanen, dan pascapanen. Hasilnya luar biasa, produksi temulawak berkisar 20 ton per hektare sebelum ada SL, selanjutnya meningkat setelah ada bimbingan yaitu jadi antara 35 hingga 40 ton per hektare,” katanya.

Lurah Jabungan Edris mengaku bangga dengan hasil kerja keras masyarakatnya. Keberhasilan di bidang ketahanan pangan ini mampu mengangkat Jabungan di tingkat nasional.

Berbekal prestasi tersebut, produksi tanaman rempah dan obat di Jabungan kini sering dilirik sejumlah masyarakat luar daerah maupun provinsi. Tak jarang pula, Jabungan menjadi lokasi studi banding bagi pemerintah daerah seperti Boyolali, Riau, dan Kalimantan Barat. (Royce Wijaya SP-39)

Jurnalis : Royce Wijaya SP
Suara Merdeka | 11 Desember 2013 | Hal.21&31

]]>
Mutiara Terpendam Kabupaten Tegal https://stg.eppid.perhutani.id/mutiara-terpendam-kabupaten-tegal/ Wed, 09 Oct 2013 01:19:29 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9443 Jawa Pos, Tegal – Satu lagi mutiara terpendam yang dimiliki bumi Kabupaten Tegal bakal menjadi aset nasional. Dari produk kapulaga yang merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), Dirjen Kehutanan pusat positif menerbitkan SK menunjuk Kabupaten Tegal sebagai sentra secara nasional. Lalu ?

KINI produk Kapulaga tengah gencar-gencarnya dikembangkan di empat kecamatan, masingmasing Jatinegara, Bojong, Bumijawa, dan Balapulang. Dari keempat kecamatan tersebut, total lahan yang dikembangkan untuk sentra tanaman campuran jamu itu sekitar 364, 8 meter.

Kepala Dinas Tanbunhut Ir Khofifah MM didampingi Kasi Perhutanan Sosial Ir Ambar Kustifah menyatakan budidaya kapulaga ini sebelumnya telah didukung pemkab lewat terbitnya surat keputusan Bupati Tegal nomor 360/1286/2012 tentang penetapan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), yakni kapulaga. Dan dari empat kecamatan tersebut Jatinegara rupanya telah menjadikan kapulaga sebagai komoditas primadona.

“Pola pemasaran kapulaga saat ini masih mengacu pada dua cara. Disatu sisi masih secara tradisional dengan menjualnya kepasar, dan disisi lain dipasok pada pengrajin jamu simping. Jadi pola penjualan belum bombastis. Disinilah perlu adanya membentuk lembaga untuk menunjang terwujudnya sentra kapulaga, sekaligus menjadikan Kabupaten Tegal sebagai sentra kapulaga nasional,” terangnya.

Dari kalkulasi dilapangan terkuak untuk perkiraan tanam pertahunnya mampu menghasilkan panenan sekitar 830,9 ton. Dimana untuk harga basah kapulaga saat ini mencapai Rp 7.000 perkilogramnya. Sementara untuk produk kering mencapai RP 35.000 hingga Rp 40.000 perkilogramnya. Setidaknya bila dihitung untuk produk kapulaga basah didapat nilai ekonomi sebesar Rp 5, 8 milliar pertahunnya.

“Ini adalah suatu nilai yang layak untuk dikembangkan menjadi sentra ekonomi rakyat,” tuturnya.

Diakuinya untuk mewujudkan sentra kapulaga, perlu dibentuk kelembagaan yang tepat. Sebut saja Asosiasi Petani Kapulaga yang didalamnya beranggotakan petani kapulaga diempat kecamatan tersebut. Sentra ini nantinya bakal diinisiasi oleh Dinas Tanbunhut bareng Balai Pengelolaan DAS Pemali Jratun Semarang sebagai kepanjangan tangan Kementiran Kehutanan.

Terkait persiapan pembuatan kelembagaan sentra kapulaga di Kecamatan Jatinegara, selain melibatkan steakholder seperti pihak Perhutani dan mitra usaha tani, juga melibatkan pabrikan jamu simping, dan kelompok tani.

Pengembangan sentra kapulaga di Kabupaten Tegal bukanlah tanpa pertimbangan. Selain kapulaga sudah dikenal masyarakat khususnya di Kecamatan Jatinegara, kapulaga juga merupakan komoditas tanaman bahan baku jamu (herbal) yang mudah dibudidayakan, serta sangat cocok ditanam dibawah tegakan hutan rakyat. Sehingga bersinergi dengan program pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Tegal.

“Disini perlu dilaksanakan pendampingan secara terfokus dengan pembiayaan dari APBD II tahun 2014. Sesuai dengan seruan Gubernur Jawa Tengah tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Provisi Sumber daya Hutan (DBH PSDH) yang berasal dari kawasan hutan Perum perhutani Unit I Jawa Tengah, yang telah disalurkan ke masing-masing daerah dapat dipergunakan untuk mendukung kegiatan kehutanan secara umum dan secara khusus mendukung optimalisasi penerimaan PSDH,” cetusnya.

Radar Tegal | 09 Oktober 2013 | Hal. 13

]]>
Krisis Kedelai Terjadi Akibat Berkurangnya Lahan Pertanian https://stg.eppid.perhutani.id/krisis-kedelai-terjadi-akibat-berkurangnya-lahan-pertanian/ Thu, 12 Sep 2013 00:23:42 +0000 http://perhutani.co.id/?p=8955 Jurnas.com, Yogyakarta | Krisis kedelai di tanah air terjadi karena banyak berkurangnya areal lahan pertanian. Tingginya import kedelai terjadi karena produksi kedelai dalam negeri tak bisa memasok kebutuhan permintaan kedelai untuk berbagai produk olahan dalam jumlah yang besar. Pemerintah bisa memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan yang dimiliki oleh Perhutani dan lahan pertanian di luar Jawa untuk penanaman kedelai varietas unggul di daerah.

Prof Dr Didik Indradewa, Dip. Agr.St., pakar agronomi dari Fakultas Pertanian UGM menyatakan kebutuhan kedelai impor cukup besar karena perajin tempe banyak memilih kedelai impor dengan alasan harga yang murah dan ketersediaan pasokan ada setiap waktu.

“Berbeda dengan kedelai lokal yang hanya tersedia di musim tertentu. Perajin tempe kita banyak anggap kedelai impor lebih bagus dari kedelai lokal, karena ukuran lebih besar,” kata Didik Indradewa dalam bincang-bincang dengan wartawan di Fortakgama UGM, Rabu (11/9).

Dijelaskan, kedelai lokal rata-rata punya ukuran 15 gram per 100 butir sementara kedelai impor ukuran bia 18 gram per 100 butir dengan warna putih dan kandungan protein yang tinggi yaitu 35 persen. Kedelai lokal jarang diminati, karena minimnya sosialisasi dan penggunaan kedelai lokal yang unggul kepada masyarakat.

Didik optimis, Indonesia bisa lakukan swasembada kedelai, apalagi dalam catatan ada sejumlah varietas kedelai lokal yang memiliki ukuran besar seperti Burangrang, Bromo dan Argomulyo yang bisa mencapai 100 gram per butir. Kalau terkait dengan kandungan protein, ada varietas yang bisa terdapat kandungan protein hingga 45 persen.

“Minimnya peminat varietas kedelai lokal, membuat pembenihan juga tak banyak dilakukan. Butuh sosialisasi intensif kepada petani agar mendapatkan kedelai varietas unggul untuk ditanam di lahan. Kalau lebih banyak petani menanam kedelai, krisis kedelai tak terjadi lagi,” katanya.

Di tahun 1992, Indonesia disebutkan pernah mampu hasilkan hingga 1,6 juta ton. Angka tersebut terus menurun karena areal lahan pertanian yang berkurang. Produksi kedelai hanya 800 ton per tahun. Jika krisis kedelai tak teratasi, petani enggan menanam kedelai karena produktivitas yang rendah, kondisi impor kedelai akan terus terjadi.

“Petani harus didorong agar mau tanam kedelai. Mereka harus diberi bibit dan pengetahuan teknologi pertanian agar ada peningkatan produktivitas. Sudah banyak hasil lembaga penelitian dikembangkan oleh perguruan tinggi, ada sejumlah varietas kedelai unggul yang bisa mencapai hasil 3-4 ton per hektar. Kini rata-rata produksinya 1,3 ton per hektar,” katanya.

Perluasan lahan pertanian, disebutkan syarat mutlak untuk peningkatan produksi pertanian. Tidak hanya untuk kedelai saja, tapi juga komoditas utama lain seperti padi. Indonesia saat ini disebutkan masih kekurangan beras untuk kebutuhan pasokan cadangan pangan yang mencapai 200 ribu ton.

“Kita itu setidaknya butuh perluasan lahan pertanian, agar bisa melakukan swasembada pangan. Baik untuk komoditas kedelai, jagung maupun padi agar bisa mencukupi beras nasional,” kata Didik.

Jurnas. com | 12 September 2013 | 08.40 WIB

]]>