tumpangsari – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id Perum Kehutanan Negara Tue, 10 Feb 2015 06:20:23 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.1 https://stg.eppid.perhutani.id/wp-content/uploads/2023/04/cropped-logo-pht-32x32.png tumpangsari – Perum Perhutani https://stg.eppid.perhutani.id 32 32 Hutan Rakyat Sebagai Penyumbang Pangan https://stg.eppid.perhutani.id/hutan-rakyat-sebagai-penyumbang-pangan/ Tue, 10 Feb 2015 06:20:23 +0000 http://perhutani.co.id/?p=18236 Sejumlah hutan rakyat di Jawa Barat, saat ini didorong untuk pengembangan agroforestri tanaman pangan. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat perdesaan. Komoditas pangan yang potensial diusahakan di antaranya padi gogo, jagung, dan kacang tanah.
Kepala Bidang Bina Usaba Produksi dan Usaha Kehutanan Dinas Kehutanan Jawa Barat, Suherman, di Bandung, Senin (9/2/105) mengatakan, saat ini hutan rakyat dengan pola agroforestri dengan kombinasi tanaman pangan, tengah dikembangkan di Kabupaten Ciamis. Apalagi, di daerah tersebut banyak masyarakat yang memiliki hutan rakyat, seperti tegakan albasia, jati, jabon, dll.
“Dengan cara itu, hutan rakyat di Jawa Barat dapat berperan ganda, baik sebagai pelestari lingkungan dan penyedia kayu-kayuan, kini bertambah dengan pemasok pangan. Pada sisi lain, hal ini memberikan nilai tambah dan suatu hutan rakyat masyarakat itu sendiri,” ujarnya.
Masyarakat di selatan Jawa Barat diketahui memiliki kultur menabung pangan dan pemelihara hutan rakyat, di mana sawah dan hutan rakyat hidup berdampingan. Namun, masih banyak hutan rakyat di selatan Jawa Barat belum dioptimalkan untuk memberikan nilai tambah bagi masyarakatnya.
Pola agroforestri dengan tanaman pangan di Jawa Barat sudah diawali di kawasan kehutanan negara Perum Perhutani. Banyak areal tegakan pohon kehutanan, misalnya pohonj ati muda dll ditumpangsarikan dengan tanaman padi atau kacang tanah.
Pola tersebut, kata Suherman, dicoba dikembangkan oleh Dinas Kehutanan Jawa Barat di kawasan hutan rakyat. Dengan cara itu, selain meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, juga mendorong masyarakat agar tidak terburu nafsu menebang pohon kayu-kayuan saat masih muda hanya sekadar untuk memperoleh pendapatan.
Untuk aneka produk hutan rakyat, khususnya yang sifatnya tanaman cepat tumbuh (fast growing species) seperti albasia dan jabon, menurut Suherman, kini tengah diarahkan pada usaha setengah jadi. Hal ini diharapkan akan sangat bermanfaat bagi masyarakat pemilik hutan rakyat di Jawa Barat dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Pada kesempatan itu, Suherman menambahkan, sejak awal tahun 2015 kebutuhan Jabon rneningkat dengan adanya permintaan dari sejumlah industri asal Korea yang membutuhkan aneka keperluan berbahan kayu jabon, misalnya lamitaning board, pensil, dll. dengan batang pohon minimal 15 cm.
Sementara itu, kawasan kehutanan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat-Banten mengisyaratkan akan meningkatkan kemampuan produksi dan bisnis dari komoditas kayu putih. Saat ini, areal terbesar tanaman kayu putih Perhutani Jawa Barat berada di Kesatuan Pemangkuan Hutan Indramayu.
Direktur Utama Perum Perhutani Mustoha Iskandar mengatakan, usaha kayu putih merupakan industri non-kayu yang selama ini kurang dimanfaatkan. Bisnis kayu putih sangat potensial sebagai salah satu andalan usaha sektor kehutanan negara di Jawa Barat.
Sumber  : Pikiran Rakyat
Tanggal  : 10 Pebruari 2015

]]>
Melatih Murid di Kantin Kejujuran https://stg.eppid.perhutani.id/melatih-murid-di-kantin-kejujuran/ Fri, 08 Nov 2013 01:54:30 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9888 Suara Merdeka, Semarang – Untuk memperingati Hari Pahlawan kita perlu mengenal pejuang-pejuang di masyarakat saat ini. Mereka berjuang di berbagai bidang, antara lain pendidikan dan gerakan antikorupsi. Pergulatan mereka disajikan dalam dua tulisan mulai hari ini, diawali kiprah para pejuang bidang pendidikan.

JAUH sebelum sekolah gratis ramai dibicarakan, sebuah sekolah di kawasan pecinan, Kota Semarang, sudah menerapkannya. Tidak hanya untuk etnis Tionghoa, sekolah gratis ini untuk semua golongan yang tidak mampu. Bangunan sekolah di Gang Lombok ini juga tak terlalu besar. Namun, di tempat ini ratusan anak tak mampu dari berbagai latar belakang menimba ilmu tanpa dipungut bayaran sepeser pun. Dana operasionalnya didapat dari para donatur.

Sekolah Kuncup Melati yang berdiri pada Minggu Wage 1 Januari 1950, memiliki sejarah cukup panjang. Paska peperangan di Kota Semarang, banyak pengungsi berdatangan dengan kondisi ekonomi yang terpuruk. Lembaga pendidikan saat itu masih jarang, kalau ada juga mahal dan langka. Seorang tokoh Kota Semarang Lie Ping Lien terenyuh menyaksikan banyaknya anak-anak tuna aksara, tidak mempunyai kesempatan bersekolah. Maka tercetuslah ide untuk sekadar memberikan pendidikan membaca, menulis dan berhitung.

Ide itu didukung oleh Ong Yong Wie, Tan Ngo Siang dan Be Sik Tjong dengan menggagas berdirinya tempat kursus. Bertempat di gedung Yayasan Kong Tik Soe Gang Lombok Nomor 60, dimulailah pendidikan Koersoes Pemberantasan Boeta Hoeroef. Materi pelajaran adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Mandarin serta pendidikan budi pekerti.

”Status kursus pun ditingkatkan pada 1952 dengan mendirikan Sekolah Taman Pendidikan Anak-anak Khong Kauw Hwee dengan kurikulum pelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Rakyat dan hanya memberikan pelajaran hingga kelas 4 setingkat Sekolah Rakyat,” tutur Kepala SD Kuncup Melati Agustin Indrawati Dharmawan, kemarin.

Pada 30 Maret 1954, mulai memberikan pendidikan keterampilan. Pada tahun ajaran 1979/1980, status sekolah kembali ditingkatkan menjadi Sekolah Dasar dan memberikan pendidikan hingga kelas 6. Alumni IKIP Negeri Semarang yang menjabat sebagai Kepala SD sejak 1 Juli 1989 itu juga mengisahkan, pendidikan gratis yang diberikan di sekolah itu dapat dilakukan karena bermodal sumbangan dan kerelaan hati para donatur.

Selain pelajaran umum, menurut Indrawati, para siswa di Sekolah Kuncup Melati juga dilatih kemandirian dan kejujuran untuk membentuk generasi yang berkarakter. Misalnya saat di kantin, para siswa mengambil sendiri yang dibutuhkan, membayar sendiri dan jika ada kembalian, juga diambil sendiri di tempat uang yang ada di kotak. Baginya, mengajar dengan hati akan membawa kepuasan batin yang tidak dapat di beli. Alhasil, ketika ketekunan dan kesabaran dalam memberikan pendidikan, prestasi para siswa pun ikut terangkat.

Wakafkan Tanah

Lain halnya dengan Sriwati (29). Dia tak pernah menyesali keputusannya mewakafkan tanah warisan untuk mendirikan gedung Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), untuk anak-anak tetangganya di Dusun Nglencong, Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.

Melihat anak-anak di dusun pelosok bersuka cita saat diantar orang tuanya setiap pagi, ia sudah bahagia. Gedung yang dibangun di atas tanah berkuran 12 m X 10 m menjadi buah kerja kerasnya bersama empat pendidik lainnya dalam mempertahankan Pos PAUD Pangudi Luhur.
Saat itu hanya ada empat anak di Pangudi Luhur. Di saat jumlah siswa mulai bertambah, nasib Pangudi Luhur goyah ketika Sumarno, pendiri, memutuskan mundur. Suwarti yang hanya lulusan program Kejar Paket C tak percaya bisa meneruskan Pangudi Luhur.

Apalagi empat pendidik lainnya juga hanya lulusan program yang sama. Namun karena dorongan warga yang merelakan rumahnya jadi tempat belajar anak-anak, ia pun bertekad mempertahankan pangudi luhur. Karena jumlah anak Pangudi Luhur terus bertambah, warga berinisiatif membangunkan gedung seadanya pada tahun 2010. Mereka menyumbang kayu glugu (batang pohon kelapa), anyaman bambu untuk dinding dan atap genting bekas. Meski berlantai tanah, anak-anak tetap riang belajar di Pangudi Luhur. Angin segar datang saat pemerintah desa mengusulkan pembangunan gedung PAUD melalui program PNPM Mandiri Pedesaan. Gedung lama pun dibongkar. “Belum ada sebulan kami menempati gedung baru ini,” jelasnya.

Saat ini sebanyak 34 anak yang belajar di Pangudi Luhur. Jangan tanyakan berapa mereka membayar SPP setiap bulannya. Ibu satu anak ini juga hanya tersenyum saat ditanya berapa honor mengajar yang diterimanya setiap bulan. Dua tahun terakhir, Pangudi Luhur mendapat kucuran BOP sebesar Rp 6 juta dan Rp Rp 7 juta. Untuk berhemat, pendidik mengurangi biaya harian seperti fotocopi bahan pengajaran. Sudarno (53), guru SDN 02 Hargosari, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri memilah jahe yang dipanen dari ladangnya, Kamis (7/11). Dia rela bertani empon-empon untuk menambah penghasilannya. (SM/Khalid Yogi)

Bertani Empon-empon

Menjadi guru di daerah terpencil butuh perjuangan keras. Selain menghadapi medan berat, guru dituntut mampu menangani siswa-siswa yang serba terbatas. Di sisi lain, mereka juga harus memutar otak untuk menghidupi diri dan keluarganya. Kondisi itu dirasakan Sudarno (53), guru SDN 02 Hargosari, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri. Selama lebih dari 30 tahun, pria yang tinggal di Dusun Sobo RT 3 RW 6 Desa Hargosari itu mengecap pahit getir menjadi guru di daerah terpencil. Sejak menjadi guru, tahun 1982, Sudarno belum pernah sekali pun pindah tugas ke tempat lain. Alhasil, dia pun akrab dengan alam pegunungan yang kini telah menjadi rumahnya.

Pertama bertugas, dia langsung ditempatkan di SDN 02 Hargosari yang saat itu masih SD Inpres. Setiap hari, dia berjalan kaki sejauh belasan kilometer dari tempat kos sampai sekolahnya. “Dulu masih jalan setapak. Setiap hari, saya jalan kaki ke sekolah selama tiga jam. Berangkat jam 04.00 sampai sekolah jam 07.00,” kenangnya.

Di kala hujan, jalan setapak yang dilalui sangat licin dan naik turun. Bahkan, dia terpaksa mengenakan sepatu sepak bola agar tidak terpeleset. Ketika turun pulang ke rumah, tangannya membawa tongkat agar tidak jatuh. “Kalau berangkat pakai sepatu sepak bola yang ada poolnya. Setelah sampai sekolah, sepatunya diganti,” ujarnya.

Pertama bekerja, dia hanya menerima gaji Rp 16.960 per bulan. Gaji terkuras hanya untuk membayar kos Rp 14.000 per bulan. Kondisi itu memaksa Sudarno mencari penghasilan tambahan. Sepulang mengajar, dia bekerja menyadap getah pinus di hutan Perhutani. Dia juga menanam janggelan dan empon-empon di tegalan. Hasil dari menyadap getah pinus dan bertani empon-empon itu ternyata seimbang dengan gaji guru selama sebulan.

Menjadi guru di daerah terpencil harus bisa menghadapi murid-murid yang penuh keterbatasan. Setelah beberapa tahun mengabdi, Sudarno menikah dan tinggal tidak jauh dari sekolahnya. Dia semakin betah, bahkan pernah menolak ketika ditawari pindah ke sekolah yang dekat perkotaan. Pada 2010 lalu, Sudarno diundang ke Istana Negara untuk mengikuti upacara Hari Kemerdekaan RI. “Saya tidak tahu. Tiba-tiba ada surat dari dinas. Saya diundang ikut upacara di Istana. Sangat senang dan bangga. Seumur-umur belum pernah lihat Istana,” ujarnya.

Pada 2012, pria itu kembali diundang ikut studi banding ke Australia. Perlu digarisbawahi program Anies Baswedan mengundang sarjana terbaik untuk mengajar di SD di daerah terpencil. Pemikiran inilah yang muncul dari Anies, penggagas Gerakan Indonesia Mengajar. Rektor Universitas Paramadina ini bertekad untuk mengajak seluruh komponen pemuda untuk peduli masalah pendidikan. (Saiful Annas, Muhammad Syukron,Khalid Yogi,Hartono Harimurti-80)

Suara Merdeka | 08 Nopember 2013 | Hal.1 & 11

]]>
Warga-Perhutani Sepakat Lereng Sumbing Ditanami Kopi https://stg.eppid.perhutani.id/warga-perhutani-sepakat-lereng-sumbing-ditanami-kopi/ Fri, 25 Oct 2013 01:24:49 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9701 Antara, Temanggung – Warga Desa Kemloko Kabupaten Temanggung bersama Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Kedu Utara menyepakati kerja sama pengelolaan lahan hutan dengan menanam tanaman kapi di kawasan hutan lereng Gunung Sumbing.

Perjanjian kerja sama tersebut ditandatangani oleh Administratur KPH Kedu Utara, Iwan Setiawan dengan Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sido Makmur Desa Kemloko, Mustar di Balai Desa Kemloko di Temanggung, Kamis.

Selama ini warga menuntut agar kawasan hutan lindung di lereng Gunung Sumbing seluas 141,1 hektare di Desa Kemloko, Kecamatan Tembarak tersebut bisa ditanami tanaman semusim seperti tembakau dan jagung.

Iwan Setiawan, mengatakan, pengelolaan hutan lindung telah diatur yakni tidak boleh untuk tanaman semusim dan pertanian intensif, melainkan untuk tanaman keras yang berfungsi menjaga kelestarian hutan.

“Perhutani tidak mengekang warga dalam pengelolaan hutan lindung, namun warga harus mematuhi aturan yang ada,” katanya.

Ia menuturkan, penanaman bibit mulai awal 2014 yang didahului dengan pembuatan lahan percontohan sekitar satu atau dua hektar. LMDH Sido Makmur juga telah studi banding ke sejumlah tempat dan mereka tertarik untuk menanam kopi.

Selain tembakau, katanya, Temanggung dikenal sebagai penghasil kopi dan telah diekspor ke sejumlah negara.

“Perhutani siap menampung hasil kopi rakyat seperti yang selama ini dilakukan, karena Perhutani mempunyai unit usaha pengelolaan kopi bubuk,” katanya.

Ketua LMDH Sido makmur yang juga Kepala Desa Kemloko, Mustar, mengatakan, berencana menanam kopi arabika berdasar analisa sangat cocok untuk kawasan lereng Sumbing. Lahan seluas 141,1 hektare akan dikelola warga di sembilan dusun Desa Kemloko, setiap keluarga diperkirakan mengelola lahan seperempat hektare.

“Kami utamakan untuk rumah tangga miskin sebagai pengelola hutan lindung,” katanya.

Jurnalis : Heru Suyitno | Editor : Achmad Zaenal M
Antara Jateng | 25 Oktober 2013 | 06.20 WIB

]]>
KPH Blora Kembangkan Agroforestry https://stg.eppid.perhutani.id/kph-blora-kembangkan-agroforestry/ Sun, 20 Oct 2013 01:30:42 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9651 Suara Merdeka Online, Blora – Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Blora mulai mengembangkan agroforestry dengan melakukan penanaman ketela pohon yang ada di lahan tegakan hutan yang ada.

Saat ini di lahan hutan KPH Blora sudah ada sekitar 250 hektar tanaman ketela yang ditanam oleh masyarakat yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) setempat.

“Selain ketela pohon, masyarakat bisa menanam tanaman produktif lainnya dilahan hutan asalkan tidak menyalahi aturan yang ada,” ungkap Administratur KPH Blora Joko Sunarto.

Menurutnya, saat ini masyarakat lebih banyak menanam ketela pohon, tetapi saat panen mereka terkendala dengan harga yang sangat rendah, sebab harga ketela saat ini ditentukan oleh tengkulak dan petani mau tidak mau harus menjual ketelanya kepada tengkulak.

Tanaman ketela dikembangkan di lahan perhutani sebenarnya tidaklah diperbolehkan sebab ketela bisa menganggu pertumbuhan tanaman inti milik Perhutani khususnya Jati.

Namun lanjutnya ketela boleh dikembangkan pada tahun pertama sampai ketiga saja dilahan yang ada. Sebab tahun pertama sampai ketiga belum mengannggu pertumbuhan tanaman jati. Termasuk juga dengan tanaman palawija lainnya.

“Setelah tahun ketiga, petani kami larang menanam ketela lagi, bahkan saat penanaman ketela harus dilakukan pemupukan,” jelasnya

Tanaman ketela merupakan salah satu bentuk menumbuhkan agroforestry yang ada di hutan, termasuk juga mengembangkan tanaman lainnya yang bisa ditanam, agar hutan bisa dimanfaatkan untuk agrobisnis bagi petani, selain kayu jati yang menjadi produk utama Perhutani.

Tanaman yang bisa dikembangkan seperti nanas, jambu mete, atau duren dan itu bisa ditanam di lokasi tanaman pagar atau tanama sela yang selama ini ada.

Pasalnya selama ini untuk tanam sela atau pagar biasanya mahoni atau secang yang tidak produktif.

“Kalau LMDH bisa mengusulkan tanaman itu tentu akan lebih memberikan nilai ekonomi yang baik sekaligus hutan sebagai agroforesty yang menjanjikan,” tegas Joko Sunarto.

Jurnalis : Sugie Rusyono
Suara Merdeka Online | 20 Oktober 2013 | 08.20 WIB

]]>
Sistem Tumpangsari Tarik Minat Petani Hutan https://stg.eppid.perhutani.id/sistem-tumpangsari-tarik-minat-petani-hutan-2/ Fri, 18 Oct 2013 05:07:46 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9640 Suara Merdeka Online, Blora – Ketergantungan masyarakat desa hutan terhadap kawasan hutan hingga kini masih tinggi. Pasalnya mereka sudah terbiasa dengan pola hidup di kawasan hutan baik dalam kegiatan pertanian melalui pola tanam tumpangsari atau bekerja pada sektor pengelolaan hutan lain yang dilakukan oleh Perhutani.

Pihak Perhutani pun memberikan kesempatan luas kepada para petani untuk menggarap lahan hutan selama penggarapan itu tidak mengganggu tanaman asli wilayah hutan, yakni pohon jati.

Asper/Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (KBKPH) Selogender Perhutani KPH Randublatung Kabupaten Blora, Ence Sunarya, mengatakan Perhutani mengizinkan masyarakat desa hutan melakukan kegiatan tumpangsari di kawasan hutan negara.

Dia mencontohkan kegiatan tumpangsari itu antara lain dilakukan di petak 85a dan 85c. Di Petak 85 yang mempunyai luas total 21 hektar ditanami jati dengan varietas Jati Plus Perhutani (JPP) di tahun 2012. Kini ketinggian rata-rata pohon jati itu mencapai empat meter dengan jarak tanam tiga kali dua meter.

Ence Sunarya yang didampingi Humas Perhutani Randublatung menjelaskan keterlibatan petani hutan pada petak ini dengan cara memanfaatkan ruang antar larikan tanaman pokok untuk ditanami jenis palawija jagung.

Menurutnya adanya sistim tumpangsari tersebut bisa memberikan keuntungan ganda. Di sisi lain petani bisa memperoleh hasil tanaman palawija, sementara di sisi lain Perhutani juga diuntungkan karena tanaman jati muda bisa terhindar dari kerusakan baik dari ancaman kebakaran maupun pengembalaan liar yang kadang timbul di kawasan hutan.

“Dan yang tak kalah penting adalah kami selaku petugas selalu melakukan komunikasi yang intensif dengan para petani hutan. Sehingga apa kemauan mereka dalam melakukan aktivitas di kawasan bisa langsung kami respon. Sepanjang tidak menyalahi aturan, kemauan itu bisa kami akomodir dengan baik. Ini untuk kepentingan petani hutan sendiri dan Perhutani. Sehingga sama-sama memperoleh keuntungan,” ujarnya Jumat (18/10).

Lebih lanjut Ence Sunarya menjelaskan bidang tanaman merupakan sektor primadona bagi masyarakat sekitar hutan. Menurutnya Perhutani melibatkan masyarakat secara langsung untuk menggarap kawasan hutan antara lain dengan ditanami tanaman palawija dengan sistem tanam tumpangsari hutan.

Di tahun 2012, Perhutani Randublatung melakukan penanaman kawasan hutan seluas 464,3 hektar dengan jenis tanaman kehutanan JPP. Tanaman tumpangsari antara lain dilakukan di Resort Pemangkuan hutan (RPH) Kepoh, BKPH Selogender.
( Abdul Muiz / CN33 / SMNetwork )

Suara Merdeka Online | 18 Oktober 2013 | 11.40 WIB

]]>
Perhutani Bangun Pabrik Umbi Porang https://stg.eppid.perhutani.id/perhutani-bangun-pabrik-umbi-porang/ Thu, 10 Oct 2013 01:40:43 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9516 Koran Jakarta, JAKARTA – Perum Perhutani akan membangun pabrik pengolahan umbi porang di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan investasi sekitar 50 miliar rupiah. Saat ini, Perhutani telah mengembangkan tanaman porang di lahan hutan 3.000 hektare.

“Tahun depan (2014) pembangunan pabrik tepung porang diharapkan sudah rampung sehingga pada tahun berikutnya (2015) mulai beroperasi dengan kapasitas produksi mencapai 30.000 ton tepung porang per tahun,” kata Direktur Utama, Bambang Sukmananto, di Jakarta, Rabu.

Porang dengan bahasa Latin Amorphophalus oncophyllus ini merupakan tanaman umbi-umbian yang memiliki berbagai kegunaan sebagai bahan makanan seperti mi, tahu, campuran makanan shirataki dan konyiku, juga untuk bahan baku industri lem, campuran bahan kertas, pengganti media tumbuh mikroba, dan pengganti solusa dalam kaca film.

Selain itu juga sebagai isolator listrik, campuran dalam alat-alat pesawat terbang, bahan parasut, bahan obat, penjernih air, pengikat formula tablet, pengental sirup, bahkan dijadikan bahan untuk kesehatan tubuh.

“Untuk tahap awal hasil produksi perdana pabrik tepung porang Blora ini akan diekspor ke Jepang dan sejumlah negara lainnya di Asia,” ujarnya. Sesuai dengan jenis tanamannya, porang sangat cocok dikembangkan di bawah hutan jati dan selama ini sudah dapat tumbuh dengan bagus di hutan jati milik Perhutani. Ant/E-11

Koran Jakarta | 10 Oktober 2013 | Hal. 11

]]>
Mentan Minta Lahan Hutan untuk Tanam Pangan https://stg.eppid.perhutani.id/mentan-minta-lahan-hutan-untuk-tanam-pangan/ Sat, 05 Oct 2013 01:37:01 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9405 Pikiran Rakyat Online, SOLO – Pemanfaatan lahan hutan untuk mendukung produksi pangan yang selama ini kurang efektif, kembali diangkat Menteri Pertanian (Mentan) Suswono untuk tanaman palawija. Mentan menjalin kerjasama dengan Perum Perhutani untuk memperluas lahan hutan yang dapat ditanami palawija, khususnya kedelai.

“Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong perluasan lahan pertanian, bekerjasama dengan Perum Perhutani. Perluasan lahan pertanian tersebut untuk mendorong peningkatan produktivitas pangan pokok,” ujar Mentan Suswono kepada wartawan, di sela pencanangan “Diversifikasi Pangan Lokal Sehat” di Taman Balekambang Solo, Jum’at (4/10).

Menurut Mentan, Perum Perhutani saat ini menguasai sekitar 2 juta hektar lahan di Jawa. “Jika seperempat saja atau sekitar 600 ribu hektar diantaranya digunakan untuk menanam makanan pokok, maka peran Perhutani sangat luar biasa dalam produktivitas pangan pokok,” jelasnya.

Secara teknis, pemanfaatan lahan lahan milik Perum Perhutani berbeda dengan konsep tumpangsari di lahan hutan yang berdekatan dengan permukiman. Lahan Perhutani yang terbuka setelah penebangan dan sebelum mulai ditanami kembali, dalam satu atau dua musim digunakan untuk tanaman pangan.

Cara tersebut, sambung Suswono, merupakan alternatif selain sistem tumpang sari, yakni menanam tanaman pangan seperti kedelai di sela-sela tanaman pokok milik Perhutani. Sistem tumpangsari di lahan Perhutani tersebut, yang berhasil di antaranya Banyuwangi, Jawa Timur, dengan hasil 1,7 ton kedelai per hektar.

“Pemanfaatan lahan semacam itu untuk pertanian penting, karena di Indonesia setiap tahun terjadi penyusutan lahan pertanian hampir 100.000 hektar. Sedangkan pembukaan lahan baru yang potensial hanya sekitar 40.000 hektar,” ujarnya.(A-103/A-107).***

Pikiran Rakyat Online | 04 Oktober 2013 | 18.47 WIB

]]>
Genjot produksi kedelai, Mentan minta lahan Perhutani digunakan https://stg.eppid.perhutani.id/genjot-produksi-kedelai-mentan-minta-lahan-perhutani-digunakan/ Sat, 05 Oct 2013 01:33:17 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9402 Merdeka Online, SOLO – Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong pemerintah daerah memanfaatkan lahan Perum Perusahaan Hutan Indonesia (Perhutani) untuk menanam kedelai. Jika hal itu bisa diwujudkan, produksi kedelai nasional akan bisa ditingkatkan.

Menteri Pertanian, Suswono, mengatakan tujuan dari upaya ini agar kinerja impor kedelai sedikit demi sedikit bisa dikurangi jumlahnya.

“Lahan Perhutani itu sekitar 2 juta hektar di Jawa. Kalau bisa sekitar 600 ribu hektar saja digunakan untuk menanam makanan pokok, maka peran Perhutani sangat luar biasa dalam produktivitas pangan pokok,” jelasnya disela-sela Pencanangan Diversifikasi Pangan Lokal Sehat di Taman Balekambang Solo, Jawa Tengah, Jumat (4/10).

Menurut Suswono, pemanfaatan lahan Perhutani untuk menanam kedelai pernah dilakukan di Jawa Timur, dengan cara tumpangsari.

“Kedelai ditanam pada lahan yang pepohonannya masih kecil atau di bawah tedakan pohon jati. Cara itu bisa menghasilkan 1,7 ton kedelai per hektare,” paparnya.

Suswono menuturkan, cara-cara seperti itu perlu dilakukan untuk mensiasati masalah keterbatasan lahan. Dengan begitu produksi kedelai bisa dipacu tanpa harus mengganggu produksi beras nasional.
[bmo]

Jurnalis : Arie Sunaryo
Merdeka Online | 04 Oktober 2013 | 15.19 WIB

]]>
Kementan Gandeng Perhutani Perluas Lahan https://stg.eppid.perhutani.id/kementan-gandeng-perhutani-perluas-lahan/ Sat, 05 Oct 2013 01:22:43 +0000 http://perhutani.co.id/?p=9398 Suara Karya, Solo – Kementerian Pertanian (Kementan) bekerja sama dengan Perum Perhutani mendorong perluasan lahan pertanian untuk meningkatkan produktivitas pangan pokok. Menteri Pertanian Suswono mengatakan, Perhutani menguasai sekitar 2 juta hektare (ha) lahan di Jawa, jika seperempatnya atau sekitar 600.000 ha diantaranya digunakan untuk menanam makanan pokok, maka peran Perhutani sangat luar biasa dalam produktivitas pangan pokok.

Penggunaan lahan Perhutani tersebut bisa dilakukan setelah Perhutani melakukan penebangan dan sebelum memulai penanaman kembali. “Satu atau dua musim tanam, sudah cukup,” kata Suswono di sela-sela Pencanangan Diversifikasi Pangan Lokal Sehat di Taman Balekambang Solo, Jawa Tengah, Jumat (4/10).

Selain itu, kata dia, juga bisa menggunakan sistem tumpang sari, yaitu tanaman seperti kedelai ditanam di sela-sela tanaman pokok milik Perhutani. Menurut dia, sistem tersebut sudah dilaksanakan di Banyuwangi, Jawa Timur dan sudah menghasilkan 1,7 ton kedelai per hektare di atas lahan milik Perhutani.

“Pemanfaatan lahan untuk pertanian penting, karena setiap tahun ada penyusutan lahan pertanian di Indonesia mencapai 100.000 hektare. Sedangkan potensi pembukaan lahan baru hanya 40.000 hektare,” ujarnya.

Sementara untuk lahan baku persawahan mencapai 8 juta hektare dengan luas produksi 13,4 juta hingga 14 juta hektare. Dibandingkan dengan Thailand, luas produksi Indonesia lebih besar namun dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai empat kali lipatnya, maka produktivitas padi Indonesia masih di bawah Thailand.

Untuk itu, dia mengingatkan peningkatan produktivitas padi sangat penting. Namun diversifikasi makanan juga sangat penting. Menanam gandum dan tanaman penghasil karbohidrat lainnya perlu dilakukan tapi tanpa mengurangi lahan persawahan tanaman padi. “Saat ini mulai diproduksi beras mutiara yang berasal dari jagung dan singkong. Beras saat ini masih mencukupi, tetapi suatu saat nanti pasti akan sulit didapat, untuk itu perlu diversifikasi makanan selain beras,” katanya.

Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Tengah Heru Sudjatmoko mengatakan, saat ini Provinsi Jawa Tengah terus menggenjot produk tanaman jagung serta umbi-umbian, di samping padi. “Hal ini untuk mendukung daulat pangan serta mengurangi ketergantungan terhadap beras,” ujarnya.

Tiga kabupaten di Jawa Tengah yakni Kebumen, Wonogiri dan Temanggung menjadi daerah percontohan pengembangan beras mutiara, yakni makanan pengganti beras yang berasal dari campuran jagung dan tepung singkong.

Jurnalis : Endang Gunawan
Suara Karya | 05 Oktober 2013 | Hal.5

]]>
Hak Paten Carica dan Purwaceng Dieng https://stg.eppid.perhutani.id/hak-paten-carica-dan-purwaceng-dieng/ Tue, 16 Jul 2013 01:03:06 +0000 http://perhutani.co.id/?p=8261 WONOSOBO – Tanaman purwaceng dan carica khas Dieng, kini telah mendapatkan hak paten atau pengakuan resmi dari Kementerian Hukum dan HAM RI, sebagai tanaman dan buah asli Dieng. Sertifikat hak paten tersebut diberikan kepada Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Carica dan Purwaceng.
Sertifikat pengakuan atau hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM RI, oleh penemu dan perintis usaha pengolahan carica, Toto Sudiarto selanjutnya diserahkan kepada Bupati Wonosobo Drs HA Kholiq Arif MSi, di halaman pendopo kabupaten, Senin kemarin.Trisila Juwantoro (CV Yuasa Food) menyebut, setelah ada hak paten terhadap carica dan purwaceng, maka perlu pendampingan dari instansi terkait kepada petani. Hal itu agar mereka bisa menghasilkan buah yang sesuai standar untuk diolah. Karena selamaini petani menanam carica secara tradisional. Sehingga ketika tanaman terserang hama, kualitas menurun, petani tidak bisa apa-apa.
Pelaku usaha carica dan purwaceng, Indri dan Uswatun Khasanah menyebut perlunya lahan yang lebih luas untuk budi daya tanaman carica maupun purwaceng. Bahkan diusulkan agar pengolahan serta penanaman carica d muatan lokal di sekolah. Hal itu dimaksudkan agar generasi penerus mampu mempertahankan/mengembangkan kelangsungan industri carica. Selama ini pelajar justru belajar carica dari luar. Pada hal di daerahnya sendiri, sumber ilmunya tersedia.
Bupati H Kholiq Arif mengatakan, saat ini Perhutani memiliki lahan seluas 1.800 hektar di dataran tinggi Dieng yang bisa ditanami. Budidaya tanaman carica disebutnya sinergis terhadap upaya alih fungsi tanaman kentang di kawasan tersebut. Pengembangan carica relatif menunjang pelestarian lahan di dataran tinggi Dieng. (Sudarman/CN39/SMNetwork )
Suaramerdeka.com | 16 Juli 2013 | 05:26

]]>